Quantcast
Channel: Sunu Family
Viewing all 257 articles
Browse latest View live

[Share] Kesiapan Pemuda untuk Kemandirian Bangsa

$
0
0

Indonesia telah dikenal dunia dengan berbagai potensinya, tidak hanya dari aspek sumber daya alamnya, tetapi juga seluruh aspek yang menyangkut sumber daya manusianya. Akan tetapi, bangsa kita tidak boleh terlena dan merasa cukup dengan adanya potensi-potensi tersebut. Dalam era yang semakin mengglobal ini persaingan semakin ketat sehingga untuk dapat bertahan, tiap bangsa dituntut untuk terus bergerak membangun kemandiriannya, baik secara internal maupun eksternal.

Nasionalisme

Mulai akhir tahun 2015 ini, ASEAN Economic Community akan mulai diterapkan, yang berarti negara-negara ASEAN bersepakat untuk membuka masing-masing negara dan memberikan akses terbuka terhadap aliran barang (goods), jasa (services), investasi (investment), modal (capital) dan tenaga terampil (skilled labor). Di satu sisi hal ini menjadi tantangan yang sangat besar dan nyata bagi masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, hal ini juga dapat menjadi kesempatan bagi bangsa kita. Untuk itu, keunggulan komparatif yang telah dimiliki oleh Indonesia berupa sumber daya alam, energi dan tenaga kerja yang melimpah, tidak lagi cukup untuk meraih kemandirian bangsa.

Berdasarkan pendapat BJ Habibie (2008), keunggulan yang perlu ditingkatkan oleh bangsa ini adalah keunggulan kompetitif untuk memberi kemampuan dalam pengelolaan sumber daya yang sudah dimiliki Indonesia agar mampu bersaing dengan bangsa lainnya. Pemuda sebagai generasi penerus, dituntut untuk ikut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemandirian bangsa di tengah tantangan global tersebut. Tidak dapat dipungkiri, sejak awal perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia, pemuda Indonesia telah terbukti menjalankan peranan yang penting dan memberikan kontribusi yang besar. Dan peranan ini seyogyanya akan terus diberikan untuk membangun dan menjaga tanah air. Generasi muda dan ilmu pengetahuan dapat menjadi sumber kekuatan dalam pembentukan kemandirian bangsa tersebut.

Hal-hal yang bisa dilakukan oleh pemuda dalam mengoptimalkan potensi ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan dan kemandirian kolektif bangsa, antara lain:

  1. Pemetaan dan Pemahaman tentang Potensi Indonesia

Hal yang perlu dan penting dilakukan pertama kali adalah memetakan dan memahami potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Prof. Zuhal, Guru Besar Universitas Indonesia, dalam bukunya yang berjudul “Kekuatan Daya Saing Indonesia: Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan” (2008), menyebutkan beberapa modal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia:

  1. Modal Pengetahuan. Menggunakan pengetahuan untuk mencari terobosan teknologi bagi pembangunan ekonomi yang berdaya saing,
  2. Modal Manusia. Individu yang mampu berinisiatif dan berkreasi melakukan hal-hal baru dengan semangat kewiraswastaan,
  3. Modal Sosial. Kemampuan membangun kepercayaan, solidaritas sosial, infrastruktur pendidikan, kesehatan dan perekonomian rakyat,
  4. Modal Budaya. Kemampuan mengembangkan budaya sendiri, serta menyaring dan mengglokalisasikan budaya global,
  5. Modal Alam dan Lingkungan. Kemampuan menjaga kualitas lingkungan dan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan.

2. Pendidikan

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas adalah melalui pendidikan. Tiap individu memiliki ketertarikan dan passion keilmuan masing-masing. Dengan mendalami bidang yang kita pelajari secara serius, hal ini akan menciptakan profesionalitas dan keahlian. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa esensi pendidikan mencakup tiga aspek utama: memperluas ilmu dan pengetahuan (emphasizing knowledge), menumbuhkan kedewasaan berpikir (growing maturity), dan membentuk sikap untuk menjadi lebih baik dan bijak (developing good manners). Sehingga pendidikan di sini tidak hanya secara sempit diartikan sebagai menuntut ilmu di berbagai institusi formal dan bergelar, tetapi juga pendidikan non-formal yang bisa membantu proses dalam memperoleh serta menerapkan ilmu secara berkelanjutan, serta menjadikan sosok ilmuwan yang bijak dalam berpikir dan bertindak.

  1. Kemampuan Kepemimpinan (Leadership Skill)

Kemampuan kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan yang diperlukan dalam menerapkan dan menjalankan implementasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh. Kepemimpinan tidak selalu diartikan sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi atau kelembagaan, tetapi kemampuan dalam memimpin diri sendiri dan senantiasa menumbuhkan soft-skill tersebut. Beberapa kompetensi kepemimpinan yang perlu ditumbuhkembangkan masing-masing pribadi mencakup: kemampuan berkomunikasi (communication), pengambilan keputusan (decision making), pengelolaan tugas dan pekerjaan (managing work), adaptasi (adaptation), pengambilan aksi inisiatif (initiating action), memberikan dampak (impactful) serta kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas orang lain (develop and coach others).

  1. Kemampuan Bahasa Asing

Dalam dunia yang semakin mengglobal, penguasaan Bahasa asing menjadi penting. Tidak hanya dalam rangka berkomunikasi, tetapi juga dalam penyebaran ide serta pengetahuan kepada masyarakat dunia. Untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berdikari, kemampuan ini perlu dikembangkan agar masyarakat kita dapat bersaing secara global.  Setelah memiliki keahlian di bidang masing-masing, ditunjang dengan kemampuan kepemimpinan dan pemahaman grass-root, maka dengan penguasaan bahasa asing ini dapat mendorong tercapainya generasi dengan kompetensi kelas dunia (world-class competence).

Selain keempat hal tersebut di atas, diperlukan pula penerapan ilmu pengetahuan dan yang dipadu dengan teknologi, investasi, persepsi dan inovasi (BJ Habibie, 2008). Setelah melihat tantangan nyata dan kesempatan tersebut, kini saatnya generasi muda Indonesia perlu bergerak (tidak hanya lagi bersiap) melakukan aksi nyata. Dengan adanya pemuda yang senantiasa meningkatkan kemampuannya secara individu dalam penguasaan intelektual (ilmu pengetahuan dan teknologi), hal ini dapat mendorong tercapainya kemandirian bangsa secara kolektif, serta bangsa kita akan lebih siap dalam menghadapi persaingan global. *Tulisan ini dibuat dan diterbitkan dalam Buletin Akselerasi MITI Mahasiswa edisi Maret 2015



[Academic] The Role of the NGO and Government Organization in the Education Development in Indonesia’s Border Islands

$
0
0

Case Study of Gerakan Indonesia Mengajar and SM3T*

By: Retno Widyastuti
International Master’s Program in Asia Pacific Studies
National Chengchi University
Taipei, Taiwan

*This paper was presented in 2013 IGU Islands Conference in Penghu, Taiwan Oct 1-5, 2013

Abstract— Indonesia is an archipelagic state with more than 17,000 islands. Some of those islands are located in the border of Indonesia with the other countries, which has some sensitive issues with national sovereignty. It’s not only related to the security, but also economic, politics and social issues. To prevent the threat for sovereignty, one of the ways is by developing those areas to increase their national consciousness.

Education has been becoming important part of development process and education not only helps in upward mobility of a society, but it is also a vehicle for socio economic development of the country. To reach that goal, it needs participation from many levels. In this study, it will assess and analyze the role of NGO and government organization in the education development, especially to fulfill the lack number of teacher’s distribution in Indonesia’s remote and border islands, with the case study of Gerakan Indonesia Mengajar and SM3T. The method of this study is qualitative with analytical descriptive from secondary data and interviews.
Keywords-component; Border Islands, Education Development, Gerakan Indonesia Mengajar, National Consciousness, Teacher Distribution, SM3T

I. INTRODUCTION

Indonesia is an archipelagic state that has more than 17,000 islands, with more than 250 million citizens live (July 2013, estimation) [1]. These facts create challenges in Indonesian education, especially limited access for getting qualified primary education in remote areas, especially in the front line such as islands in border area of Indonesia.

Geo-politically, Indonesia located between two continents and two oceans, and border with nine countries. According to Ministry of Ocean and Fisheries of Republic of Indonesia [2], there are 92 islands that directly border by sea with nine countries, such as Malaysia (21 islands), Vietnam (2), the Philippines (12), Palau (7), Papua New Guinea (1), Australia (26), Timor Leste (5), India (11) and Singapore (4).

Most of the Indonesia border region is still left behind in terms of development in social, infrastructure, and economy. Most of the paradigm see that border region as an area that needs to be closely monitored due to the intruder, international illegal activity, etc. This view creates a development paradigm makes more emphasis on border security approach rather than social and economy approach. As a result, some areas in the border region still untouched by dynamics of Indonesia national development. The people in the border region is still remainly poor and many are oriented to the neighboring countries [2] in which can be very dangerous for national sovereignty. To prevent this situation, one of the ways is by development, not only physically (infrastructure, economy and trade) but also human development. Education has been becoming important part of development process and education not only helps in upward mobility of a society, but it is also a vehicle for socio economic development of the country.

In this paper, it will describe the role of government and also NGO, especially on developing primary education in Indonesia’s border region. As for the case study, it will describe about the role of recently well known NGO in Indonesia, named Gerakan Indonesia Mengajar and also SM3T, a newly program initiated by Ministry of National Education and Culture, Republic of Indonesia.

These two initiatives have similar pattern; recruiting university graduates to be a teacher in remote area for one year service. Their mission is to fulfill the lacking of number of teacher and also to be a new benchmark for escalating education’s quality in remote area. Their presence is also for developing the basic education for national consciousness in border islands.

II. EDUCATION IN INDONESIA

Started in 2005, the government of Indonesia tend to be more serious on developing the nation’s education. Based on the Government Regulations No. 25 about National Medium-Term Development Plan Medium-Term period 2004 – 2009, it mentioned that education is one of the main priorities in the national development agenda, namely the priority for increasing access to quality education.

Based on the 1945 Constitution of Republic of Indonesia Preamble paragraph IV, it mentioned the promise and mandate of independence; “…to establish a government of the State of Indonesia which shall protect the whole Indonesian people and their entire homeland of Indonesia, and in order to advance their general welfare, to promote the intellectual life of the nation, and to contribute to implementing order in a world founded upon independence, eternal peace and social justice…”.

Related to the education, it is already being mandated that our duty is to“promote the intellectual life of the nation”. From the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 in Article 31 Paragraph (1), mentioned shall be that every citizen is entitled to education, and (3) confirms that the Government establish and conduct a national education system that enhances faith and piety and noble character in the context of the intellectual life of the nation, in which governed by of Law.

National education aimed to improving intelligence, as well as dignity of the nation. National education also should be able to develop a sense of patriotism, strengthen the national sspirit, and a sense of social solidarity. Thus, it is appropriate for all education services to targeting all school-age children to get proper education, wherever they are.

Quantitatively, Indonesia has quite sufficient amount of teacher. However, the distribution and quality are generally still low. Throughout Indonesia, including Ministry of National Education (MoNE) and the Ministry of Religious Affairs (MoRA), as well as private institution, there are more than 167,000 primary schools, 34,000 junior secondary schools and 17,000 senior secondary schools spread across some 440 districts and municipalities. Some schools are extremely isolated from the capital city, and/or their district centre and their remote location that creates problems in terms of teacher employment and deployment [4].

This can be evidenced by the number of teachers that do not achieved education in university level and get teaching certification, especially for those who are live in remote areas in Indonesia. Only 17% of primary teachers hold the proposed new standard of S1 (bachelor degree) [4]. Based on Dirjen PMPTK, Ministry of Education and Culture (2009), teacher quality index indicators in Indonesia in avareage is still low (3,72 scale of 0-11) and around 54% of teachers in Indonesia need to upgrade their teaching qualification.

From World Bank’s data, it shows their survey finding about the uneven distribution number of teacher in Indonesia. The district data show that there are marked inequities in the deployment of teachers both across schools and districts. Some 68% of urban and 52% of rural primary schools have an excess of teachers, while 66% of remote schools have a deficit [4].

It also mentioned that the district data indicate that there are acute shortages of staff in the majority of remote schools, with 93% claiming that they had a deficit [4]. Most of the teachers are working as civil servants, where they urged to serve wherever they are posted. However, the policy is clearly not being consistently implemented. In fact, a lot of teacher is refused to teach in remote area. The resistance to postings in such areas due to lack of adequate housing; poor transport; domestic responsibilities; concerns about the isolation from family and friends; and the generally poor services and facilities in remote areas [4]. As a result of the deficits, some teachers have excessive workloads. These factors ultimately have an adverse impact the students.

Teachers are at the forefront line in improving the quality of education, where teachers will conduct direct interaction with students in the learning process at school. In other words, the overall quality of education begins with quality learning undertaken by teachers in the classroom. It is supposed to be one of focus of the education system that need to be improved in Indonesia. To achieved more advanced country, it needs quality education, and to reach quality education, it needs quality learning. To get quality learning, it starts from a qualified teacher.

III. REMOTE AND DISADVANTAGE AREAS

Unfortunately, there is no standard national definition of what constitutes a ‘remote location’ currently exists that allows for the quantitative analysis of the number of remote school in Indonesia. However, it can be clearly said that most of the islands in border area are still under-developed and become disadvantages area.

To know how to categorize a region become a developed or under-developed area, National Agency for Border Management of the Republic of Indonesia describe their approach in its grand design [3]. Disadvantaged areas are areas that the community district and the region is relatively less developed than other areas on a national scale. Determination using the approach developed areas 6 (six) basic criteria, namely: economy, society, human resources, infrastructure (infrastructure), local financial capacity (fiscal gap), accessibility, and regional characteristics (Ministry of Rural Development).

As for classification for an area as disadvantaged areas is based on [3]:

  1. Geographic. Generally geographically disadvantaged areas is relatively difficult to reach because they are too far inland hills / mountains, islands, coastal and isolated islands or because of other geomorphological factors that are difficult to reach by transportation and communications network.
  2. Natural Resources. Some disadvantaged areas do not have the potential of natural resources. The region might have vast natural resources, but the surrounding neighborhood is an area that can be protected or not exploited, and due to excessive use of natural resources.
  3. Human Resources. In general, people in disadvantaged areas have a lower education, knowledge, and skills are relatively low and the traditional institutions have not been developed.
  4. Infrastructure and Facilities. Limitations of communication infrastructure, transportation, water supply, irrigation, health, education, and other services that cause people in the disadvantaged areas find it difficult to carry out economic and social activities.
  5. Isolated area, Conflict and Disaster Prone. Physically disadvantaged areas is located in very isolated area, in addition to frequent an area experiencing social conflict or natural disasters such as earthquakes, droughts and floods, and could lead to the disruption of social and economic development activities.

From those criteria, most of frontline and outer – small islands in Indonesia can be categorized as disadvantage area. In 2010, there are 183 under-developed and disadvantaged districts in Indonesia [5]. Regarding the Ministry of Rural and Disadvantages Area Development, the Human Development Index (HDI) in these areas is only 66.98 (2013 estimation) [5].

Abubakar [2] also argued that these situations can create some threat that may be faced by small islands in outer and border line. These threats are illegal entry from foreigner fisherman, pirates, illegal fishing and trafficking; political, economy, social and cultural influence from foreign countries, occupation from the enemy, as well as natural disaster.

IV. CASE STUDY

The task of ensuring basic and primary education is not only government’s responsibility, it also requires voluntary and private sectors, as well as communities, to collaborate and contribute. Successful experiments and new approaches to education have emerged from Non-government organization (NGO), and also government organization (GO). In this part, it will describe two organizations (each represents NGO and GO) as case study.

A. Gerakan Indonesia Mengajar

Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), literally means “Indonesia Teaching Movement”, is a Non-Governmental Organization (NGO) that focused on developing primary education in remote areas in Indonesia. Ignited by the spirit of enlightening the nation, Anies Baswedan, PhD has initiated this movement. GIM officially launched in 2010 adopts the tradition of sharing and inspiring others. It sends the best university graduates to teach as Pengajar Muda (means “Young Teacher”) for one year in the primary schools located in some of Indonesia’s most remote areas [6].

GIM believes that education is a movement and not merely a program run by government, schools and teachers. Education is a movement to educate and enlighten the nation that has to involve everyone, as GIM believe that education is a duty of every educated individual. Thus, GIM commitment is to continually send and support hundreds of Pengajar Muda every year to serve in some of Indonesia’s remote villages.

In order to ensure that every school child in Indonesia obtains the best education, GIM equips the Pengajar Muda’s with training on leadership and pedagogy methods. Hence, apart from being a primary school teacher for one year, these Pengajar Mudas are actively involved in their community.

It is in line with GIM’s mission is to address the undersupply of primary school teachers in remote areas as well as to give valuable life experience to future leaders at a grass root level by living within these remote communities.

Since 2010, there are 293 university graduates that have been selected as Pengajar Muda. These talented young graduates have been serving schools in remote villages and striving to make an impact on the children and their villages. Living within the community for 1-year to teach in an elementary school, Pengajar Muda have become the drivers of change and windows of development for the schools and villages.

As potential future leaders who have global awareness and competence, the experience of living closely with the communities will also give Pengajar Muda the opportunity to gain grassroots understanding about Indonesia. It is GIM vision to have a network of future leaders in many sectors that have great capability, integrity and deep understanding of Indonesia.

Until June 2013, there are 293 Pengajar Muda has been serving 22,808 students in 147 villages in 17 districts, in 16 provinces in Indonesia. From these 17 districs, six of them are located in islands, such as in Bengkalis, Bawean Island – Gresik, Sangihe Islands, Rote Ndao, South Halmahera and West Maluku Tenggara, and four of them are located in Indonesia’s border area.

1) Bengkalis
Bengkalis is a district located in Riau Province, in which has sea border with Malaysia. It has 24 big and small islands. Some of these big islands are Rupat Island (1,524.84 km²) and Bengkalis Island (938.40 km²). Pengajar Muda are served in primary schools in three sub-districts in Bengkalis, such as; Rupat, North Rupat dan Bantan. Especially North Rupat and Rupat, it is located in Malacca Strait area.

2) Sangihe Islands
Sangihe Islands, North Sulawesi Province is a district located in the most northern part of Indonesia and it is border with the Philippines. Sangihe Islands consist of more than 90 small islands. The capital city of Sangihe Islands is Tahuna, located in the biggest island in this district. Tahuna can be reach from North Sulawesi’s capital city, Manado, by sea with duration 7 – 8 hours, or by air with duration 50 minutes. The islands that become Pengajar Muda’s service location only can be reaching by sea. From Tahuna to those small islands needs 3 to 10 hours. Because of this remote location, there is only limited electricity, as well as communication access (cellular signal). Most of the people in Sangihe Islands are working as sailor, and coconut farmer. They do trade to Manado, even to the Philliphines.

3) Rote Ndao
Rote Ndao, that is located in East Nusa Tenggara Province, is the most southern district in Indonesia. The access from Kupang, capital city of East Nusa Tenggara, to Lobalain (capital city of Rote Ndao) is by sea. Rote Ndao has 8 sub-districts, and it has sea border with Australia territory.

4) West Maluku Tenggara
West Maluku Tenggara is located in Maluku Province, can be accessed from Ambon, the capital city of Maluku to Saumlaki by air, with duration 2 hours flight. Saumlaki is the capital city of this district, and it is located in Yamdena Island. To go to Pengajar Muda’s service location, it takes another trip by sea around 2 – 12 hours. Some of islands only have limited transportation access, in which only twice a week. There are 10 sub-districts that spread in different islands.
Similar with Sangihe, in these islands, there is only limited electricity and communication access. Most of the people are working as sailor and sea weed’s farmer.

B. SM3T

SM3T abbreviated from Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (literally means; Bachelor Educate in the Frontier, Outermost and Disadvantaged Area), is a newly program runned by Ministry of National Education of Indonesia. This program is the part of Program Maju Bersama Mencerdaskan Bangsa or MBMI (means Program of Developed Together for Englightening the Nation).

Sumarna Surapranata, Director of Teachers and Education Personnel of Primary Education, Ministry of Education and Culture, writes that the Ministry of Education and Culture (Kemdikbud), working hard to meet the needs of teachers in the 3T area (abbreviation of Terdepan, Terluar dan Tertinggal) [7].

SM3T program is addressed to the Bachelor of Education who has not served as a teacher, to be assigned for one year at 3T area. SM-3T program is intended to help overcome the shortage of teachers, as well as preparing teacher candidates a strong professional, independent, and have a caring attitude toward others, and have a soul to educate the children of the nation, in order to move forward together to reach lofty ideals as mandated by the founder of the Indonesian nation.

The reason behind, is because some education problems regarding teacher especially in 3T areas, such as; shortridge, unbalanced distribution, under qualification, low competencies, and the mismatched between qualifications education in the field of teaching. Another problem in education is the dropout rate is still relatively high, while enrollment rates are still low [7].
This program is also as a preparation for these university graduates as a professional educator. Until 2013, there are more than 5,200 graduates that already deployed and teach in 34 districts in 9 provinces, such as; Aceh, East Nusa Tenggara, North Sulawesi, West Papua, Papua, Riau Islands Province, West Kalimantan, East Kalimantan and Maluku [9].

Some of service area that located in the frontier islands of Indonesia’s border are in Rote Ndao District in East Nusa Tenggara Province (sea border with Australia), Sangihe Islands District and Talaud Islands District in North Sulawesi (border with the Philliphines), Natuna Islands District and Anambas Islands Districts in Riau Islands Provinces (sea border with Vietnam, Singapore and Malaysia), Nunukan District in East Kalimantan Province (border with Malaysia), Biak Numfor District in Papua (border with Palau) and South West Maluku District in Maluku Province (border with Australia) [9].

V. THE ROLE OF NGO AND GO

Nowadays in Indonesia, there are a lot of NGO that has similar concern with GIM and SM3T, to create education as the movement. It involves not only government organizations and programs, but also Non-Government Organizations, which represents the societies and communities, to take a part in nation’s education, especially in remote and disadvantages area.
The most important role from these organizations is the presence of complimentary teacher in these 3T areas. The young teacher helps to decrease the uneven distribution of teacher, as well as to enhance education quality in primary level.

Based on the interview conducted by the writer, GIM has specific approach, named education behavioral entity approach. It means, the Pengajar Muda not only responsible to teach in the school, but they also stimulate the society to make social and educational change [8]. In GIM, the Pengajar Muda has central role as the direct partner of GIM on developing Pengajar Muda’s leadership capacity, as well as as the technical supporter and direct partner on pursuing GIM’s vision and mission in supporting social change in area. In other words, they are the ambassador of the movement.

Pengajar Muda has four tasks in GIM’s framework, they are; curricular, extra-curricular, society education, and advocation of education network. Pengajar Muda scope of working is class, school, village/ society (including parents), sub-district and districs.

Similar to Pengajar Muda, as for the young teacher in SM3T program, their responsibility is also not just taught in the classroom. They will also educate and think about what facilities and educational information required and needed for the students in the SM3T locations.

Some significant stories of changes from GIM’s and SM3T’s locations are;

1) Students

The presence of young teacher in remote areas and islands, become the window of information for the students about many activities and competition. Not only in district level, but also national, even international level. Some of the students in these under-developed area can be successfully shows their ability on competing with another students with better education facilities in urban/ major cities in Indonesia.

Diana Poae (12 years old), one of the students in Kawio Islands, Sangihe Islands District, become the runner up in International Kids Photo Contest conducted by National Geographic Contest. Some other students also winning the competition in various contests, such as; Panasonic Kid Witness News 2013, Kalbe Young Scientist Award, student from Bengkalis as the finalist of Olimpiade Sains Kuark, student from West Maluku Tenggara as the participant of Bobo’s National Children Conference, and many more.

Not only did that, to strengthen student’s consciousness about nationality and patriotism, the young teacher teach them how to sing national anthem, conducting national ceremony (in some places it conducted for the first time), and invite the students to do multi-cultural understanding not only theorytically, but also practically.

At first, most of the students did not know about how large and big their country is. What they know is only their own island. To solve this problems, the young teacher initiates a program named “Jejaring Anak Indonesia” (means Indonesian Children Network), that is a correspondence program to encourage students to write and share their experience to the other students in another schools in different islands or provinces. It is quite effective for the students to broaden their knowledge and experience about the concept of state, nation and multi-culture.

2) Teacher and Headmaster

Previously, as mentioned before, the presence of original teacher in 3T areas is remainly low because of some reasons. But since the coming of young teacher, it stimulate them to come to the school ontime, as well as they are motivated to increase their quality through workshop and training, initiated by young teachers.

The teachers and headmaster also join some competition to increase their ability and experience. One of them is Jonathan Karame, Headmaster of SDN Inpres Para, in Sangihe Islands Districts; he got Manado Post Award 2012 from the Governor of North Sulawesi Province.

3) Society

Inspired by the successful story of their children, many parents and society finally become more optimistic and aware with education development in their area. Some of the communities in villages, in together, are build a place to study for their children and also village library with their own money.

4) Stakeholder

Bureau of Education, Youth and Sport in Sangihe Islands initiated a movement named Sangihe Mengajar (means Sangihe Teach). There are 16 young graduates from North Sulawesi recruited as the teacher to teach in elementary and junior high school in this district.

VI. CLOSING

From this case study, it can be seen that the presence of young Indonesian graduates make the NGO and GO’s role in can be more signigicant. Not only solving the distribution problem of teacher in remote areas, it also helps the behavioral change of the society to be more aware and care about their education. Furthermore, these teachers, besides of taking a role as educators, they also empowered to strengthen the nation and state in the frame of the Republic of Indonesia.

Now, there are more and more NGOs and GOs that initiated similar movement on education, especially on inviting more people to be more aware and contribute their contribution for the education. The survey has established that the NGOs can and do play a strong role in assisting the State to complement the public education system and to improve its effectiveness [11].
Although it is still a long way and not an easy job to be done, as well as some problems (technically and socially) that facing this initiatives, the presence of both government and society is very important to reach State vision on enlightening nation through intellectual life and education. It also can escalate the people who live in small islands in frontline of Indonesian border to be more conscious about their nation and patriotism spirit. So that national threats related to foreign influence and border’s problem can be minimize.

REFERENCES

[1] The World Factbook; Indonesia, Central Intelligence Agency Website, July 2013. Retrieved from: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
[2] Abubakar, Mustafa. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006.
[3] BNPP, Grand Design; Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia tahun 2011 – 2025 (Grand Design; Management of Country’s Border Area and Border Regional in Indonesia, year 2011 – 2025). Badan Nasional Pengelola Perbatasan (National Authority for Border Management), Republic of Indonesia, 2011.
[4] The World Bank. Teacher Employment and Deployment in Indonesia; Opportunities for Equity, Efficiency and Quality Improvement, 2006. Retrieved from: http://ddp-ext.worldbank.org/EdStats/IDNstu08a.pdf
[5] Yoltuwu, Johozua M. Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal (Economic Growth in Disadvantage Area), Work Meeting Presentation, Ministry of Disadvantage Area Development, Republic of Indonesia, 7-9 March 2013.
[6] Gerakan Indonesia Mengajar Website. http://indonesiamengajar.org
[7] Dikbud E-Magazine, Edisi 03, IV, May 2013. Retrieved from: http://118.98.223.68/kemdikbud/majalah/e-Majalah_DIKBUD_Edisi_03-Mei-2013.pdf
[8] Personal Interview with officer of Gerakan Indonesia Mengajar office, on August 1st, 2013 at 2 – 3 pm.
[9] SM3T Website. http://sm-3t.dikti.go.id/
[10] Kusumo, Ayub Torry Satriyo. Optimalisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-pulau Terluar dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No.3 September 2010.p. 327 – 337.
[11] Jagannathan, Shanti. The Role of Non-Governmental Organization in Primary Education; A Study of Six NGOs in India. Retrieved from: http://bit.ly/142h4bR


[Share] Belajar: Tata Pemerintahan yang Baik

$
0
0

Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itu yang amat saya yakini. Sesuatu yang kita anggap sebagai hal biasa yang tak ada kaitannya, suatu ketika kita temukan hal lain yang melengkapi kepingan misteri tersebut.

Adalah suatu ketika saya mengikuti suatu interview seleksi CPNS tahun 2008. Sang interviewer bertanya pada saya, apa itu good governance. Secara teoritis, saya ingat tentang hal ini karena pernah diajarkan saat menuntut ilmu di bangku kuliah dulu. Namun jujur, secara praktiknya, saya tidak paham benar mengapa dan bagaimana good governance itu.

Sampai pada akhirnya, di penghujung tahun 2014 (in which 6 years after my interview happened), saya dihadapkan dengan pengalaman hidup yang “menuntut” saya untuk belajar secara langsung tentang praktik good governance atau tata pemerintahan yang baik (see more about: good governance)

Sumber: dari SINI

Sumber: dari SINI

Untuk mengisi waktu tenggang antara kelulusan saya dari Taiwan sampai keberangkatan lanjut studi S3 September 2015 nanti (semoga lancar dan rezeki, aamiin), saya memilih untuk menjalani waktu ini dengan bekerja secara freelance dan magang. Banyak yang bertanya mengapa magang? Tidak bekerja profesional sekalian?

Alasannya, pertama supaya saya bisa fokus untuk persiapan aplikasi untuk S3 nanti, kedua sambil menunggu (dan cari-cari) yang berani bertemu dengan bapak saya (*hard-code), ketiga tanpa menyia-nyiakan waktu, tetap mencari pengalaman + meningkatkan life-skill, dan yang terakhir juga supaya tetap bisa nabung untuk misi backpacking berikutnya. Selain itu, agak susah juga apabila menyambi hal-hal tersebut di atas sambil kerja yang “beneran”.

Kembali ke topik. Maka, saya memutuskan untuk menjadi freelancer dengan beragam jenis pekerjaan, mulai dari sopir, note-takers sampai ke asisten peneliti. Satu hal yang saya tak sangka-sangka, ternyata benang merah dari pekerjaan freelance yang saya lakukan adalah terkait dengan good governance. Topik ini pula yang saya dalami di tempat magang (mulai awal Januari sampai akhir Maret nanti).

Dulu, good governance merupakan topik yang tidak menarik minat saya sama sekali. Selain karena “jauh”, juga karena membuat pusing sekaligus sakit hati ketika menonton perkembangan politik di negeri ini. Tapi, sepertinya ini semua sudah diatur oleh-Nya untuk saya, berhadapan dan menyaksikan langsung praktik-praktik di dunia pemerintahan dari sumber primer dan ahlinya.

Apa yang biasanya hanya saya lihat di layar kaca atau baca melalui media massa, kini saya (harus) alami dan saksikan secara langsung dari sumbernya. Berdiskusi dengan berbagai praktisi dan ahli di bidang ini membuat saya belajar untuk lebih “ngeh” dan menginternalisasi – menyerapnya – ke dalam. Apa itu sejatinya good governance, seperti apa dan siapa yang pantas disebut “berhasil” dalam mewujudkan good governance, dsb. Memang, sesuatu akan lebih terasa efeknya ketika itu tidak hanya dipelajari secara teoritis, tetapi juga perlu dirasakan, dialami secara langsung.

Lagi, walau saya belum tahu apa sebenarnya maksud dari pengalaman yang saya alami saat ini (dan pengaruhnya di masa depan), tapi saya yakin segala sesuatu pasti ada hikmahnya dan tak ada yang sia-sia. Either it is a blessing, or a lesson. Apakah mungkin suatu saat nanti ini bisa menjadi modal buat saya untuk ikut serta, turun tangan langsung menjadi aktor dalam mewujudkan good governance di tanah air tercinta? Wallahua’lam.

PS: Special thanks untuk Mas Muli atas kesempatan pengalamannya yang diberikan untuk saya “mengenal” para walikota inovatif dan “berhasil”, juga Ade + Kemitraan yang memberikan saya kesempatan untuk belajar lebih banyak tentang good governance selama magang 3 bulan ini. Jazakumullah khoiran katsir.


[Share] Dream: Trans-Siberian Railway

$
0
0

This is one of my “craziest” and “biggest” dreams. Traveling around the world by riding “trans-siberian” railway, crossing Russia – Mongolia – China

Saya sudah punya mimpi ini sejak lama. Namun saya tergelitik untuk mempostingkannya ke sini (supaya tidak lupa) dikarenakan seorang kawan dekat dari Taiwan melakukan perjalanan ini dari Finland sampai ke Shanghai. Ia menawarkan saya kartu pos untuk dikirimkan dari beberapa kota yang ia singgahi selama perjalanan. Mantaaab!

Dan kemudian beberapa pekan lalu seorang kawan semenjak kuliah dulu sampai sekarang magang bareng, juga mengatakan hal serupa. Punya mimpi menjelajahi Rusia sampai China dengan kereta ini. Sungguh, hal tersebut membuat saya jadi berambisi lagi untuk merealisasikan mimpi ini suatu saat nanti.

Setelah browsing beberapa website, saya lihat bahwa perjalanan ini bakal cukup panjang. Bisa bayangkan melintasi Moscow sampai Beijing sepanjang 7.865 km lewat jalur darat bakal memakan waktu berapa lama? Kalau non-stop sekitar 6 hari. Bayangkan juga gimana pegel dan gempornya? Belum lagi kalau kita mau singgah di beberapa kota selama perjalanan, harus dipersiapkan dengan mantab tuh planning-nya :)

Ini foto postingan teman Taiwanku yang berhasil menempuh hampir 10,000 km! Officially arrived in Vladivostok on Jan 19th. Congrats Ang!

Ini foto postingan teman Taiwanku yang berhasil menempuh 9,000 km lebih! Officially arrived in Vladivostok on Jan 18th. Congrats Ang!

Terkait “kegemporan” dalam berperjalanan kereta jarak jauh sudah pernah saya lakukan dengan “gila”nya saat melakukan solo traveling dari Beijing – Wuhan – Xian – Beijing pada waktu summer tahun 2010 lalu. Total tempuh perjalanan kereta mencapai sekitar 3,000 km lebih, dijalani dalam waktu 5 hari (sambil mampir-mampir). Jadi paling tidak, saya sudah memiliki gambaran umum bakal seperti apa melewati 8,000 km jalur darat. Tinggal 2,6 kali lipatkan dengan pegal-pegal yang dulu. hahaha….

Dari sisi biaya, untuk harga tiket Trans-Siberian Railway (Moscow – Beijing one way) sekitar USD 750 – 1,200. Harga tergantung apakah non-stop trip ato berhenti di beberapa kota, juga tergantung jenis kelas yang diambil; 2 bed sleepers atau 4 bed sleepers di dalam satu kompartemen (kamar) dan juga jenis keretanya. Info lengkap tentang harga dan details perjalanan ini bisa dicek di SINI atau INI. Hal lain yang dipertimbangkan adalah pasokan makanan selama perjalanan dan kebutuhan lainnya kalau mampir-mampir. Jadi paling ndak perlu nyiapin sekitar USD 2,000 – 3,000 untuk perjalanan ini XD

Semoga suatu hari nanti, diberikan rezeki, kesempatan, waktu dan kesehatan untuk merealisasikannya. Semoga Allah meridhoi. Aamiin yaa Rabb.

PS: Buat my (future) partner dunia akhirat, siap-siap nabung dan kencangkan ikat pinggang buat merealisasikan rencana (kita) ini ya :D. hahahaha


[Share] Saatnya Bergerak, Memperjuangkanmu

$
0
0

Setelah beberapa bulan yang lalu (tepatnya September 20114) saya menuliskan, “Untuk Para Calonku“, kini saatnya saya bergerak, memperjuangkannya :”). Bismillah….

Saat yang saya nanti-nanti akhirnya datang juga. Kesempatan yang ditunggu ini, ternyata datangnya lebih cepat dari yang saya kira. MaashaAllah. Di satu sisi, ada rasa bahagia yang amat membuncah, namun pada sisi lainnya, ada sedikit rasa khawatir tentang berbagai kemungkinan yang tak sesuai harapan. Namun, saya coba tepis semua perasaan negatif itu dan memilih untuk berfokus pada ikhtiar untuk berjumpa kembali dan membersamai calon saya itu :)

Segala persiapan sudah saya lakukan, termasuk hal-hal yang saya lakukan sepulangnya dari bumi Formosa pada akhir Oktober lalu. Berbagai informasi saya kumpulkan untuk lebih jauh mengenalnya. Kini saatnya, segala “amunisi” saya kerahkan, untuk berjuang di medan pertempuran ini.

Oya, saya lupa. Let me introduce (para) calon saya yang ada di Turki ;):

  1. BOGAZIÇI UNIVERSITY – Department of Political & IR (English) – Istanbul. Ini merupakan universitas yang paling top di Turki, menurut my Turkish friend sehingga persaingannya jauh lebih ketat dan sulit XD. Di kampus ini, ada profesor yang saya kagumi sejak tahun 2009 lalu. Saya pernah membaca publikasi beliau, yang sangat sesuai dengan minat studi dan penelitian saya.
  2. Marmara University – Department of Political Science and Int. Relations – Istanbul. Saya tertarik kampus ini karena ada profesor yang juga expert di bidang yang saya tekuni. Namun saya belum tahu terlalu banyak tentang profesor tersebut.
  3. Middle East Technical University (METU) – PhD program in Area Studies (English) – Ankara. Ini satu-satunya kampus yang menawarkan program PhD yang paling sesuai dengan concern saya.
  4. FSMVU (swasta) – Civilization Studies (English) – Istanbul. Ini adalah calon saya yang paling awal, namun seiring dengan berlalunya waktu, saya menemukan calon-calon lainnya ;)
  5. Koc University (swasta) – Ph.D. Program in Political Science and International Relations
  6. Bilkent University – IR department
  7. Istanbul University – Department of IR (Turkish)

Nah, kalau ditanya mengapa saya memilih Turki, karena beberapa hal. Namun alasan-alasannya baru akan saya bagikan ketika proses memperjuangkannya selesai ;)

Untuk rekan-rekan yang juga tertarik untuk lanjut studi dan mau berjuang bersama, silakan simak informasi berikut (sumber: dari FB Turkiye Burslari dan sahabat di Istanbul).

Applications for 2015 Türkiye Scholarships Start!

10942587_788694457888362_2892641216511631661_n

Applications for Türkiye Scholarships undergraduate, master and PhD programme will start in February 2015. Deadline will be announced later on our website. Application term usually last approximately 30 days.

Further information:

Setelah 9 tahun berselang, semoga Allah memperkenankan dan meridhoi pertemuan dan kebersamaan kami kembali tahun ini. Dear Turkiye :). Hope to see you soon


[Curhat] Mengelola Harapan

$
0
0

090114-bb1

Beberapa waktu lalu saya diingatkan kembali tentang bagaimana seharusnya mengelola harapan.

Dalam rencana hidup kita, tentunya ada banyak keinginan atau target yang ingin dicapai. Namun, seringkali dalam proses pencapaian keinginan/ target tersebut kita terlupa, mengapa dan untuk apa sejatinya kita mengejar hal tersebut.

Saya ditampar (kembali), supaya ingat akan esensi dalam melakukan segala sesuatu. Rasa ingin yang sangat, disertai harapan yang salah alamat, membuat hati mudah sekali tergelincir dari niat awal. Rasa was-was menjadi sering muncul, dan segala hal negatif (baik itu over pesimis atau over optimis) semakin melemahkan hati kita.

Rasa takut ditolak dan khawatir akan kegagalan menghantui: membayangkan betapa rasa sakitnya hati karena kekecewaan terhadap keinginan yang tidak teraih.

Seringkali kita mendengar “nothing to lose” saat mencoba sesuatu. Tapi sejatinya, menjaga hati agar benar-benar terjaga dan bersih dari rasa kecewa selama menjalani proses perjuangan, itu susah sekali melaksanakannya.

Memang, kita hanya manusia biasa. Bukan malaikat yang tidak memiliki hawa nafsu. Tapi justru di sinilah “seni” dalam kehidupan kita sebagai manusia, sepanjang hayat, selalu berjuang mengelola harapan dan keinginan, serta menjaga hati dalam berjuang melawan hawa nafsu.

Segala sesuatunya harus dikembalikan lagi kepada Sang Maha, dan segala niat, keinginan, harus terus dan selalu diulang, direview kembali mengapa dan untuk apa melakukannya. Karena manusia mudah sekali lupa. Maka senantiasalah berdoa agar niat kita bisa selalu terjaga. Dan kembalikan segala sesuatunya kepada Sang Pembolak-balik hati, sebagai satu-satunya tempat untuk menggantungkan harapan. Tak lupa, berkumpullah dengan orang-orang yang senantiasa bisa mengingatkan dan menasehati dalam kebaikan.

Mengutip nasihat kawan saya, penolakan merupakan sebuah cara Allah untuk memberikan yang jauh lebih baik bagi kita. Dan saya senantiasa percaya itu.

Alhamdulillah. Terima kasih, sahabat. Sudah mengingatkan saya kembali tentang hal ini. Semoga kita senantiasa bisa saling mengingatkan dan bersama-sama menjadi insan yang lebih baik lagi :)


[Share] Trip Kita NGT Indonesia – Maret 2015

$
0
0

Alhamdulillah, langkah saya (memberanikan diri) mengirimkan artikel singkat dan foto perjalanan ke National Geographic Traveler Indonesia disambut. Pada Sabtu, 27 Februari 2015 yang lalu, seorang kawan mengirimkan pesan singkat via whatsapp. Ia bermaksud mengonfirmasi temuannya di sebuah laman majalah.

“Ada nama yang familiar di sini mbak. Apakah ini benar mbak?”, begitu katanya. Saya yang saat itu baru saja mengaktifkan hape, sontak kaget dan sekaligus senang mengetahuinya.

Captured by: Devina

Captured by: Devina

Tulisan ini saya buat sebagai langkah konkrit saya untuk perlahan-lahan (suatu hari nanti) mencapai mimpi besar menjadi seorang penulis dan kontributor di National Geographic, baik itu NatGeo Indonesia, NatGeo Traveler atau yang Internasional.

Alhamdulillah, semoga bisa lebih produktif menulis, kontributif, bermanfaat dan diridhoi Allah swt. aamiin Special thanks untuk Jeng Icha dan suaminya yang telah menginspirasi saya mengirimkan tulisan ke Trip Kita, dan juga Jeng Devina atas foto dan informasinya :”).


[Share] Hijrah dan Niat

$
0
0

hijrah

Manusia selalu dihadapkan dengan pilihan dalam setiap langkahnya. Termasuk ketika memutuskan untuk berhijrah. Hijrah di sini dapat diartikan secara luas, yaitu pindahnya ia menuju ke suatu tempat atau kondisi yang dianggap lebih baik. Entah karena alasan ekonomi, sosial, pendidikan maupun keamanan. Tulisan ini saya buat sebagai pengingat diri saya sendiri, yang sedang menjalani proses ikhtiar untuk ber”hijrah” karena alasan meraih pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Suatu ketika, hati saya diingatkan, untuk meluruskan niat dalam ikhtiar ini. Seharusnya, apa yang saya lakukan bukan hanya karena mengejar gelar, ambisi traveling keliling dunia (terselubung), mengejar jodoh (*eh) atau hal-hal lain yang sifatnya keduniawian semata. Seharusnya lebih jauh dari hal-hal tersebut, yaitu ikhtiar untuk lebih dekat pada-Nya dan menggapai ridho-Nya.

Kembali, saya harus merenungi dalam-dalam makna dan hikmah dari Hadist Arba’in pertama yang berbunyi:

“Dari Amirul Mu’minin, Abi Hafs Umar bin Al Khottob radiallahuanhu, dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan Rasul-Nya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau karena wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan.”

(Riwayat dua imam hadits, Abu Abdullah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim bin Al Mughirah bin Bardizbah Al Bukhori dan Abu Al Husain, Muslim bin Al Hajjaj bin Muslim Al Qusyairi An Naishaburi dan kedua kitab Shahihnya yang merupakan kitab yang paling shahih yang pernah dikarang).

Begitu juga dalam keseharian kita. Niat harus senantiasa dimurnikan, dan perbanyak memohon ampunan-Nya (istighfar). Mari, saling mengingatkan

Catatan :

Hadits ini merupakan salah satu dari hadits-hadits yang menjadi inti ajaran Islam. Imam Ahmad dan Imam syafi’i berkata : Dalam hadits tentang niat ini mencakup sepertiga ilmu. Sebabnya adalah bahwa perbuatan hamba terdiri dari perbuatan hati, lisan dan anggota badan, sedangkan niat merupakan salah satu dari ketiganya. Diriwayatkan dari Imam Syafi’i bahwa dia berkata : Hadits ini mencakup tujuh puluh bab dalam fiqh. Sejumlah ulama bahkan ada yang berkata : Hadits ini merupakan sepertiga Islam.

Hadits ini ada sebabnya, yaitu: ada seseorang yang hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan tujuan untuk dapat menikahi seorang wanita yang konon bernama : “Ummu Qais” bukan untuk mendapatkan keutamaan hijrah. Maka orang itu kemudian dikenal dengan sebutan “Muhajir Ummi Qais” (Orang yang hijrah karena Ummu Qais).

Pelajaran yang terdapat dalam Hadits / الفوائد من الحديث :

  1. Niat merupakan syarat layak/diterima atau tidaknya amal perbuatan, dan amal ibadah tidak akan mendatangkan pahala kecuali berdasarkan niat (karena Allah ta’ala).
  2. Waktu pelaksanaan niat dilakukan pada awal ibadah dan tempatnya di hati.
  3. Ikhlas dan membebaskan niat semata-mata karena Allah ta’ala dituntut pada semua amal shalih dan ibadah.
  4. Seorang mu’min akan diberi ganjaran pahala berdasarkan kadar niatnya.
  5. Semua perbuatan yang bermanfaat dan mubah (boleh) jika diiringi niat karena mencari keridhoan Allah maka dia akan bernilai ibadah.
  6. Yang membedakan antara ibadah dan adat (kebiasaan/rutinitas) adalah niat.
  7. Hadits di atas menunjukkan bahwa niat merupakan bagian dari iman karena dia merupakan pekerjaan hati, dan iman menurut pemahaman Ahli Sunnah Wal Jamaah adalah membenarkan dalam hati, diucapkan dengan lisan dan diamalkan dengan perbuatan.

Sumber Hadist dari SINI.



[Share] Idealisme Tjokroaminoto

$
0
0

Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat” – HOS Tjokroaminoto

Saya baru sadar tentang siapa sosok Tjokroaminoto setelah menonton Mata Najwa semalam yang membahas tentang “Guru Bangsa, Tjokroaminoto”. Nama Cokroaminoto sangat tidak asing di telinga saya. Dalam rentang waktu 7 tahun selama tinggal di Yogyakarta, saya selalu melewati jalanan dengan nama ini. SMA saya, terletak di sisi barat Yogyakarta, H.O.S. Cokroaminoto No. 10. Tapi, (jujur) sampai kemarin malam tidak pernah terlintas di benak saya, siapakah sosok Cokroaminoto dan mengapa namanya diabadikan di salah satu jalan protokol di Yogyakarta tersebut.

Terkejutlah saya ketika mengetahui bahwa sosok ini merupakan sosok paling penting dalam era awal perjuangan bangsa ini. Ia merupakan tokoh kunci, guru dari berbagai tokoh yang namanya terukir dalam buku-buku sejarah tanah air, merekalah Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo.

Yang membuat saya penasaran, bagaimana sosok pendiri Sarekat Islam (SI) ini, bisa mendidik dan menghasilkan murid-murid dengan ideologi yang begitu berbeda satu sama lain; Soekarno dengan nasionalismenya, Musso dengan ideologi sosialis/ komunis, dan Kartosuwiryo dengan Islamnya.

Hal lain yang menjadi pertanyaan besar saya, bagaimana caranya Cokroaminoto bisa menggerakkan masyarakat melalui Sarekat Islam? SI yang awalnya hanya merupakan organisasi biasa di bidang perdagangan, kemudian bertransformasi menjadi partai politik. SI disebut-sebut sebagai partai dengan keanggotaan yang besar (yang pada saat itu mencapai 2 juta orang, meliputi wilayah Jawa dan Madura), dan lagi ada suatu kebanggaan bagi masyarakat untuk menjadi anggota SI. Hal yang menurut saya, di zaman sekarang ini, sangat langka dimana dunia politik dan partai politik sudah dianggap sangat kotor, dibenci bahkan dihina. Politik saat ini hanya dilihat sebagai alat peraih kekuasaan dan harta.

Saya rindu dengan sosok-sosok negarawan yang masih memiliki idealisme, menjunjung tinggi ilmu dan pendidikan, memegang teguh ketauhidannya, serta mengerti benar bagaimana caranya menggerakkan roda negeri ini. Saya ingin sekali bertemu dengan negarawan dengan ciri seperti para tokoh bangsa ini, yang menunjukkan ciri seperti HOS Cokroaminoto sebutkan: Setinggi-tinggi ilmu, semurni-murni tauhid, sepintar-pintar siasat.


[Share] Kesiapan Pemuda untuk Kemandirian Bangsa

$
0
0

Indonesia telah dikenal dunia dengan berbagai potensinya, tidak hanya dari aspek sumber daya alamnya, tetapi juga seluruh aspek yang menyangkut sumber daya manusianya. Akan tetapi, bangsa kita tidak boleh terlena dan merasa cukup dengan adanya potensi-potensi tersebut. Dalam era yang semakin mengglobal ini persaingan semakin ketat sehingga untuk dapat bertahan, tiap bangsa dituntut untuk terus bergerak membangun kemandiriannya, baik secara internal maupun eksternal.

Nasionalisme

Mulai akhir tahun 2015 ini, ASEAN Economic Community akan mulai diterapkan, yang berarti negara-negara ASEAN bersepakat untuk membuka masing-masing negara dan memberikan akses terbuka terhadap aliran barang (goods), jasa (services), investasi (investment), modal (capital) dan tenaga terampil (skilled labor). Di satu sisi hal ini menjadi tantangan yang sangat besar dan nyata bagi masyarakat Indonesia. Namun sebaliknya, hal ini juga dapat menjadi kesempatan bagi bangsa kita. Untuk itu, keunggulan komparatif yang telah dimiliki oleh Indonesia berupa sumber daya alam, energi dan tenaga kerja yang melimpah, tidak lagi cukup untuk meraih kemandirian bangsa.

Berdasarkan pendapat BJ Habibie (2008), keunggulan yang perlu ditingkatkan oleh bangsa ini adalah keunggulan kompetitif untuk memberi kemampuan dalam pengelolaan sumber daya yang sudah dimiliki Indonesia agar mampu bersaing dengan bangsa lainnya. Pemuda sebagai generasi penerus, dituntut untuk ikut berpartisipasi aktif dalam mewujudkan kemandirian bangsa di tengah tantangan global tersebut. Tidak dapat dipungkiri, sejak awal perjuangan kemerdekaan Bangsa Indonesia, pemuda Indonesia telah terbukti menjalankan peranan yang penting dan memberikan kontribusi yang besar. Dan peranan ini seyogyanya akan terus diberikan untuk membangun dan menjaga tanah air. Generasi muda dan ilmu pengetahuan dapat menjadi sumber kekuatan dalam pembentukan kemandirian bangsa tersebut.

Hal-hal yang bisa dilakukan oleh pemuda dalam mengoptimalkan potensi ilmu pengetahuan untuk mencapai kemajuan dan kemandirian kolektif bangsa, antara lain:

  1. Pemetaan dan Pemahaman tentang Potensi Indonesia

Hal yang perlu dan penting dilakukan pertama kali adalah memetakan dan memahami potensi yang dimiliki oleh Indonesia. Prof. Zuhal, Guru Besar Universitas Indonesia, dalam bukunya yang berjudul “Kekuatan Daya Saing Indonesia: Mempersiapkan Masyarakat Berbasis Pengetahuan” (2008), menyebutkan beberapa modal yang dimiliki oleh bangsa Indonesia:

  1. Modal Pengetahuan. Menggunakan pengetahuan untuk mencari terobosan teknologi bagi pembangunan ekonomi yang berdaya saing,
  2. Modal Manusia. Individu yang mampu berinisiatif dan berkreasi melakukan hal-hal baru dengan semangat kewiraswastaan,
  3. Modal Sosial. Kemampuan membangun kepercayaan, solidaritas sosial, infrastruktur pendidikan, kesehatan dan perekonomian rakyat,
  4. Modal Budaya. Kemampuan mengembangkan budaya sendiri, serta menyaring dan mengglokalisasikan budaya global,
  5. Modal Alam dan Lingkungan. Kemampuan menjaga kualitas lingkungan dan sumberdaya alam untuk pembangunan berkelanjutan.

2. Pendidikan

Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas adalah melalui pendidikan. Tiap individu memiliki ketertarikan dan passion keilmuan masing-masing. Dengan mendalami bidang yang kita pelajari secara serius, hal ini akan menciptakan profesionalitas dan keahlian. Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa esensi pendidikan mencakup tiga aspek utama: memperluas ilmu dan pengetahuan (emphasizing knowledge), menumbuhkan kedewasaan berpikir (growing maturity), dan membentuk sikap untuk menjadi lebih baik dan bijak (developing good manners). Sehingga pendidikan di sini tidak hanya secara sempit diartikan sebagai menuntut ilmu di berbagai institusi formal dan bergelar, tetapi juga pendidikan non-formal yang bisa membantu proses dalam memperoleh serta menerapkan ilmu secara berkelanjutan, serta menjadikan sosok ilmuwan yang bijak dalam berpikir dan bertindak.

  1. Kemampuan Kepemimpinan (Leadership Skill)

Kemampuan kepemimpinan merupakan sebuah keniscayaan yang diperlukan dalam menerapkan dan menjalankan implementasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperoleh. Kepemimpinan tidak selalu diartikan sebagai pemimpin dalam sebuah organisasi atau kelembagaan, tetapi kemampuan dalam memimpin diri sendiri dan senantiasa menumbuhkan soft-skill tersebut. Beberapa kompetensi kepemimpinan yang perlu ditumbuhkembangkan masing-masing pribadi mencakup: kemampuan berkomunikasi (communication), pengambilan keputusan (decision making), pengelolaan tugas dan pekerjaan (managing work), adaptasi (adaptation), pengambilan aksi inisiatif (initiating action), memberikan dampak (impactful) serta kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan kapabilitas orang lain (develop and coach others).

  1. Kemampuan Bahasa Asing

Dalam dunia yang semakin mengglobal, penguasaan Bahasa asing menjadi penting. Tidak hanya dalam rangka berkomunikasi, tetapi juga dalam penyebaran ide serta pengetahuan kepada masyarakat dunia. Untuk menjadi bangsa yang mandiri dan berdikari, kemampuan ini perlu dikembangkan agar masyarakat kita dapat bersaing secara global.  Setelah memiliki keahlian di bidang masing-masing, ditunjang dengan kemampuan kepemimpinan dan pemahaman grass-root, maka dengan penguasaan bahasa asing ini dapat mendorong tercapainya generasi dengan kompetensi kelas dunia (world-class competence).

Selain keempat hal tersebut di atas, diperlukan pula penerapan ilmu pengetahuan dan yang dipadu dengan teknologi, investasi, persepsi dan inovasi (BJ Habibie, 2008). Setelah melihat tantangan nyata dan kesempatan tersebut, kini saatnya generasi muda Indonesia perlu bergerak (tidak hanya lagi bersiap) melakukan aksi nyata. Dengan adanya pemuda yang senantiasa meningkatkan kemampuannya secara individu dalam penguasaan intelektual (ilmu pengetahuan dan teknologi), hal ini dapat mendorong tercapainya kemandirian bangsa secara kolektif, serta bangsa kita akan lebih siap dalam menghadapi persaingan global. *Tulisan ini dibuat dan diterbitkan dalam Buletin Akselerasi MITI Mahasiswa edisi Maret 2015


[Academic] The Role of the NGO and Government Organization in the Education Development in Indonesia’s Border Islands

$
0
0

Case Study of Gerakan Indonesia Mengajar and SM3T*

By: Retno Widyastuti
International Master’s Program in Asia Pacific Studies
National Chengchi University
Taipei, Taiwan

*This paper was presented in 2013 IGU Islands Conference in Penghu, Taiwan Oct 1-5, 2013

Abstract— Indonesia is an archipelagic state with more than 17,000 islands. Some of those islands are located in the border of Indonesia with the other countries, which has some sensitive issues with national sovereignty. It’s not only related to the security, but also economic, politics and social issues. To prevent the threat for sovereignty, one of the ways is by developing those areas to increase their national consciousness.

Education has been becoming important part of development process and education not only helps in upward mobility of a society, but it is also a vehicle for socio economic development of the country. To reach that goal, it needs participation from many levels. In this study, it will assess and analyze the role of NGO and government organization in the education development, especially to fulfill the lack number of teacher’s distribution in Indonesia’s remote and border islands, with the case study of Gerakan Indonesia Mengajar and SM3T. The method of this study is qualitative with analytical descriptive from secondary data and interviews.
Keywords-component; Border Islands, Education Development, Gerakan Indonesia Mengajar, National Consciousness, Teacher Distribution, SM3T

I. INTRODUCTION

Indonesia is an archipelagic state that has more than 17,000 islands, with more than 250 million citizens live (July 2013, estimation) [1]. These facts create challenges in Indonesian education, especially limited access for getting qualified primary education in remote areas, especially in the front line such as islands in border area of Indonesia.

Geo-politically, Indonesia located between two continents and two oceans, and border with nine countries. According to Ministry of Ocean and Fisheries of Republic of Indonesia [2], there are 92 islands that directly border by sea with nine countries, such as Malaysia (21 islands), Vietnam (2), the Philippines (12), Palau (7), Papua New Guinea (1), Australia (26), Timor Leste (5), India (11) and Singapore (4).

Most of the Indonesia border region is still left behind in terms of development in social, infrastructure, and economy. Most of the paradigm see that border region as an area that needs to be closely monitored due to the intruder, international illegal activity, etc. This view creates a development paradigm makes more emphasis on border security approach rather than social and economy approach. As a result, some areas in the border region still untouched by dynamics of Indonesia national development. The people in the border region is still remainly poor and many are oriented to the neighboring countries [2] in which can be very dangerous for national sovereignty. To prevent this situation, one of the ways is by development, not only physically (infrastructure, economy and trade) but also human development. Education has been becoming important part of development process and education not only helps in upward mobility of a society, but it is also a vehicle for socio economic development of the country.

In this paper, it will describe the role of government and also NGO, especially on developing primary education in Indonesia’s border region. As for the case study, it will describe about the role of recently well known NGO in Indonesia, named Gerakan Indonesia Mengajar and also SM3T, a newly program initiated by Ministry of National Education and Culture, Republic of Indonesia.

These two initiatives have similar pattern; recruiting university graduates to be a teacher in remote area for one year service. Their mission is to fulfill the lacking of number of teacher and also to be a new benchmark for escalating education’s quality in remote area. Their presence is also for developing the basic education for national consciousness in border islands.

II. EDUCATION IN INDONESIA

Started in 2005, the government of Indonesia tend to be more serious on developing the nation’s education. Based on the Government Regulations No. 25 about National Medium-Term Development Plan Medium-Term period 2004 – 2009, it mentioned that education is one of the main priorities in the national development agenda, namely the priority for increasing access to quality education.

Based on the 1945 Constitution of Republic of Indonesia Preamble paragraph IV, it mentioned the promise and mandate of independence; “…to establish a government of the State of Indonesia which shall protect the whole Indonesian people and their entire homeland of Indonesia, and in order to advance their general welfare, to promote the intellectual life of the nation, and to contribute to implementing order in a world founded upon independence, eternal peace and social justice…”.

Related to the education, it is already being mandated that our duty is to“promote the intellectual life of the nation”. From the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 in Article 31 Paragraph (1), mentioned shall be that every citizen is entitled to education, and (3) confirms that the Government establish and conduct a national education system that enhances faith and piety and noble character in the context of the intellectual life of the nation, in which governed by of Law.

National education aimed to improving intelligence, as well as dignity of the nation. National education also should be able to develop a sense of patriotism, strengthen the national sspirit, and a sense of social solidarity. Thus, it is appropriate for all education services to targeting all school-age children to get proper education, wherever they are.

Quantitatively, Indonesia has quite sufficient amount of teacher. However, the distribution and quality are generally still low. Throughout Indonesia, including Ministry of National Education (MoNE) and the Ministry of Religious Affairs (MoRA), as well as private institution, there are more than 167,000 primary schools, 34,000 junior secondary schools and 17,000 senior secondary schools spread across some 440 districts and municipalities. Some schools are extremely isolated from the capital city, and/or their district centre and their remote location that creates problems in terms of teacher employment and deployment [4].

This can be evidenced by the number of teachers that do not achieved education in university level and get teaching certification, especially for those who are live in remote areas in Indonesia. Only 17% of primary teachers hold the proposed new standard of S1 (bachelor degree) [4]. Based on Dirjen PMPTK, Ministry of Education and Culture (2009), teacher quality index indicators in Indonesia in avareage is still low (3,72 scale of 0-11) and around 54% of teachers in Indonesia need to upgrade their teaching qualification.

From World Bank’s data, it shows their survey finding about the uneven distribution number of teacher in Indonesia. The district data show that there are marked inequities in the deployment of teachers both across schools and districts. Some 68% of urban and 52% of rural primary schools have an excess of teachers, while 66% of remote schools have a deficit [4].

It also mentioned that the district data indicate that there are acute shortages of staff in the majority of remote schools, with 93% claiming that they had a deficit [4]. Most of the teachers are working as civil servants, where they urged to serve wherever they are posted. However, the policy is clearly not being consistently implemented. In fact, a lot of teacher is refused to teach in remote area. The resistance to postings in such areas due to lack of adequate housing; poor transport; domestic responsibilities; concerns about the isolation from family and friends; and the generally poor services and facilities in remote areas [4]. As a result of the deficits, some teachers have excessive workloads. These factors ultimately have an adverse impact the students.

Teachers are at the forefront line in improving the quality of education, where teachers will conduct direct interaction with students in the learning process at school. In other words, the overall quality of education begins with quality learning undertaken by teachers in the classroom. It is supposed to be one of focus of the education system that need to be improved in Indonesia. To achieved more advanced country, it needs quality education, and to reach quality education, it needs quality learning. To get quality learning, it starts from a qualified teacher.

III. REMOTE AND DISADVANTAGE AREAS

Unfortunately, there is no standard national definition of what constitutes a ‘remote location’ currently exists that allows for the quantitative analysis of the number of remote school in Indonesia. However, it can be clearly said that most of the islands in border area are still under-developed and become disadvantages area.

To know how to categorize a region become a developed or under-developed area, National Agency for Border Management of the Republic of Indonesia describe their approach in its grand design [3]. Disadvantaged areas are areas that the community district and the region is relatively less developed than other areas on a national scale. Determination using the approach developed areas 6 (six) basic criteria, namely: economy, society, human resources, infrastructure (infrastructure), local financial capacity (fiscal gap), accessibility, and regional characteristics (Ministry of Rural Development).

As for classification for an area as disadvantaged areas is based on [3]:

  1. Geographic. Generally geographically disadvantaged areas is relatively difficult to reach because they are too far inland hills / mountains, islands, coastal and isolated islands or because of other geomorphological factors that are difficult to reach by transportation and communications network.
  2. Natural Resources. Some disadvantaged areas do not have the potential of natural resources. The region might have vast natural resources, but the surrounding neighborhood is an area that can be protected or not exploited, and due to excessive use of natural resources.
  3. Human Resources. In general, people in disadvantaged areas have a lower education, knowledge, and skills are relatively low and the traditional institutions have not been developed.
  4. Infrastructure and Facilities. Limitations of communication infrastructure, transportation, water supply, irrigation, health, education, and other services that cause people in the disadvantaged areas find it difficult to carry out economic and social activities.
  5. Isolated area, Conflict and Disaster Prone. Physically disadvantaged areas is located in very isolated area, in addition to frequent an area experiencing social conflict or natural disasters such as earthquakes, droughts and floods, and could lead to the disruption of social and economic development activities.

From those criteria, most of frontline and outer – small islands in Indonesia can be categorized as disadvantage area. In 2010, there are 183 under-developed and disadvantaged districts in Indonesia [5]. Regarding the Ministry of Rural and Disadvantages Area Development, the Human Development Index (HDI) in these areas is only 66.98 (2013 estimation) [5].

Abubakar [2] also argued that these situations can create some threat that may be faced by small islands in outer and border line. These threats are illegal entry from foreigner fisherman, pirates, illegal fishing and trafficking; political, economy, social and cultural influence from foreign countries, occupation from the enemy, as well as natural disaster.

IV. CASE STUDY

The task of ensuring basic and primary education is not only government’s responsibility, it also requires voluntary and private sectors, as well as communities, to collaborate and contribute. Successful experiments and new approaches to education have emerged from Non-government organization (NGO), and also government organization (GO). In this part, it will describe two organizations (each represents NGO and GO) as case study.

A. Gerakan Indonesia Mengajar

Gerakan Indonesia Mengajar (GIM), literally means “Indonesia Teaching Movement”, is a Non-Governmental Organization (NGO) that focused on developing primary education in remote areas in Indonesia. Ignited by the spirit of enlightening the nation, Anies Baswedan, PhD has initiated this movement. GIM officially launched in 2010 adopts the tradition of sharing and inspiring others. It sends the best university graduates to teach as Pengajar Muda (means “Young Teacher”) for one year in the primary schools located in some of Indonesia’s most remote areas [6].

GIM believes that education is a movement and not merely a program run by government, schools and teachers. Education is a movement to educate and enlighten the nation that has to involve everyone, as GIM believe that education is a duty of every educated individual. Thus, GIM commitment is to continually send and support hundreds of Pengajar Muda every year to serve in some of Indonesia’s remote villages.

In order to ensure that every school child in Indonesia obtains the best education, GIM equips the Pengajar Muda’s with training on leadership and pedagogy methods. Hence, apart from being a primary school teacher for one year, these Pengajar Mudas are actively involved in their community.

It is in line with GIM’s mission is to address the undersupply of primary school teachers in remote areas as well as to give valuable life experience to future leaders at a grass root level by living within these remote communities.

Since 2010, there are 293 university graduates that have been selected as Pengajar Muda. These talented young graduates have been serving schools in remote villages and striving to make an impact on the children and their villages. Living within the community for 1-year to teach in an elementary school, Pengajar Muda have become the drivers of change and windows of development for the schools and villages.

As potential future leaders who have global awareness and competence, the experience of living closely with the communities will also give Pengajar Muda the opportunity to gain grassroots understanding about Indonesia. It is GIM vision to have a network of future leaders in many sectors that have great capability, integrity and deep understanding of Indonesia.

Until June 2013, there are 293 Pengajar Muda has been serving 22,808 students in 147 villages in 17 districts, in 16 provinces in Indonesia. From these 17 districs, six of them are located in islands, such as in Bengkalis, Bawean Island – Gresik, Sangihe Islands, Rote Ndao, South Halmahera and West Maluku Tenggara, and four of them are located in Indonesia’s border area.

1) Bengkalis
Bengkalis is a district located in Riau Province, in which has sea border with Malaysia. It has 24 big and small islands. Some of these big islands are Rupat Island (1,524.84 km²) and Bengkalis Island (938.40 km²). Pengajar Muda are served in primary schools in three sub-districts in Bengkalis, such as; Rupat, North Rupat dan Bantan. Especially North Rupat and Rupat, it is located in Malacca Strait area.

2) Sangihe Islands
Sangihe Islands, North Sulawesi Province is a district located in the most northern part of Indonesia and it is border with the Philippines. Sangihe Islands consist of more than 90 small islands. The capital city of Sangihe Islands is Tahuna, located in the biggest island in this district. Tahuna can be reach from North Sulawesi’s capital city, Manado, by sea with duration 7 – 8 hours, or by air with duration 50 minutes. The islands that become Pengajar Muda’s service location only can be reaching by sea. From Tahuna to those small islands needs 3 to 10 hours. Because of this remote location, there is only limited electricity, as well as communication access (cellular signal). Most of the people in Sangihe Islands are working as sailor, and coconut farmer. They do trade to Manado, even to the Philliphines.

3) Rote Ndao
Rote Ndao, that is located in East Nusa Tenggara Province, is the most southern district in Indonesia. The access from Kupang, capital city of East Nusa Tenggara, to Lobalain (capital city of Rote Ndao) is by sea. Rote Ndao has 8 sub-districts, and it has sea border with Australia territory.

4) West Maluku Tenggara
West Maluku Tenggara is located in Maluku Province, can be accessed from Ambon, the capital city of Maluku to Saumlaki by air, with duration 2 hours flight. Saumlaki is the capital city of this district, and it is located in Yamdena Island. To go to Pengajar Muda’s service location, it takes another trip by sea around 2 – 12 hours. Some of islands only have limited transportation access, in which only twice a week. There are 10 sub-districts that spread in different islands.
Similar with Sangihe, in these islands, there is only limited electricity and communication access. Most of the people are working as sailor and sea weed’s farmer.

B. SM3T

SM3T abbreviated from Sarjana Mendidik di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (literally means; Bachelor Educate in the Frontier, Outermost and Disadvantaged Area), is a newly program runned by Ministry of National Education of Indonesia. This program is the part of Program Maju Bersama Mencerdaskan Bangsa or MBMI (means Program of Developed Together for Englightening the Nation).

Sumarna Surapranata, Director of Teachers and Education Personnel of Primary Education, Ministry of Education and Culture, writes that the Ministry of Education and Culture (Kemdikbud), working hard to meet the needs of teachers in the 3T area (abbreviation of Terdepan, Terluar dan Tertinggal) [7].

SM3T program is addressed to the Bachelor of Education who has not served as a teacher, to be assigned for one year at 3T area. SM-3T program is intended to help overcome the shortage of teachers, as well as preparing teacher candidates a strong professional, independent, and have a caring attitude toward others, and have a soul to educate the children of the nation, in order to move forward together to reach lofty ideals as mandated by the founder of the Indonesian nation.

The reason behind, is because some education problems regarding teacher especially in 3T areas, such as; shortridge, unbalanced distribution, under qualification, low competencies, and the mismatched between qualifications education in the field of teaching. Another problem in education is the dropout rate is still relatively high, while enrollment rates are still low [7].
This program is also as a preparation for these university graduates as a professional educator. Until 2013, there are more than 5,200 graduates that already deployed and teach in 34 districts in 9 provinces, such as; Aceh, East Nusa Tenggara, North Sulawesi, West Papua, Papua, Riau Islands Province, West Kalimantan, East Kalimantan and Maluku [9].

Some of service area that located in the frontier islands of Indonesia’s border are in Rote Ndao District in East Nusa Tenggara Province (sea border with Australia), Sangihe Islands District and Talaud Islands District in North Sulawesi (border with the Philliphines), Natuna Islands District and Anambas Islands Districts in Riau Islands Provinces (sea border with Vietnam, Singapore and Malaysia), Nunukan District in East Kalimantan Province (border with Malaysia), Biak Numfor District in Papua (border with Palau) and South West Maluku District in Maluku Province (border with Australia) [9].

V. THE ROLE OF NGO AND GO

Nowadays in Indonesia, there are a lot of NGO that has similar concern with GIM and SM3T, to create education as the movement. It involves not only government organizations and programs, but also Non-Government Organizations, which represents the societies and communities, to take a part in nation’s education, especially in remote and disadvantages area.
The most important role from these organizations is the presence of complimentary teacher in these 3T areas. The young teacher helps to decrease the uneven distribution of teacher, as well as to enhance education quality in primary level.

Based on the interview conducted by the writer, GIM has specific approach, named education behavioral entity approach. It means, the Pengajar Muda not only responsible to teach in the school, but they also stimulate the society to make social and educational change [8]. In GIM, the Pengajar Muda has central role as the direct partner of GIM on developing Pengajar Muda’s leadership capacity, as well as as the technical supporter and direct partner on pursuing GIM’s vision and mission in supporting social change in area. In other words, they are the ambassador of the movement.

Pengajar Muda has four tasks in GIM’s framework, they are; curricular, extra-curricular, society education, and advocation of education network. Pengajar Muda scope of working is class, school, village/ society (including parents), sub-district and districs.

Similar to Pengajar Muda, as for the young teacher in SM3T program, their responsibility is also not just taught in the classroom. They will also educate and think about what facilities and educational information required and needed for the students in the SM3T locations.

Some significant stories of changes from GIM’s and SM3T’s locations are;

1) Students

The presence of young teacher in remote areas and islands, become the window of information for the students about many activities and competition. Not only in district level, but also national, even international level. Some of the students in these under-developed area can be successfully shows their ability on competing with another students with better education facilities in urban/ major cities in Indonesia.

Diana Poae (12 years old), one of the students in Kawio Islands, Sangihe Islands District, become the runner up in International Kids Photo Contest conducted by National Geographic Contest. Some other students also winning the competition in various contests, such as; Panasonic Kid Witness News 2013, Kalbe Young Scientist Award, student from Bengkalis as the finalist of Olimpiade Sains Kuark, student from West Maluku Tenggara as the participant of Bobo’s National Children Conference, and many more.

Not only did that, to strengthen student’s consciousness about nationality and patriotism, the young teacher teach them how to sing national anthem, conducting national ceremony (in some places it conducted for the first time), and invite the students to do multi-cultural understanding not only theorytically, but also practically.

At first, most of the students did not know about how large and big their country is. What they know is only their own island. To solve this problems, the young teacher initiates a program named “Jejaring Anak Indonesia” (means Indonesian Children Network), that is a correspondence program to encourage students to write and share their experience to the other students in another schools in different islands or provinces. It is quite effective for the students to broaden their knowledge and experience about the concept of state, nation and multi-culture.

2) Teacher and Headmaster

Previously, as mentioned before, the presence of original teacher in 3T areas is remainly low because of some reasons. But since the coming of young teacher, it stimulate them to come to the school ontime, as well as they are motivated to increase their quality through workshop and training, initiated by young teachers.

The teachers and headmaster also join some competition to increase their ability and experience. One of them is Jonathan Karame, Headmaster of SDN Inpres Para, in Sangihe Islands Districts; he got Manado Post Award 2012 from the Governor of North Sulawesi Province.

3) Society

Inspired by the successful story of their children, many parents and society finally become more optimistic and aware with education development in their area. Some of the communities in villages, in together, are build a place to study for their children and also village library with their own money.

4) Stakeholder

Bureau of Education, Youth and Sport in Sangihe Islands initiated a movement named Sangihe Mengajar (means Sangihe Teach). There are 16 young graduates from North Sulawesi recruited as the teacher to teach in elementary and junior high school in this district.

VI. CLOSING

From this case study, it can be seen that the presence of young Indonesian graduates make the NGO and GO’s role in can be more signigicant. Not only solving the distribution problem of teacher in remote areas, it also helps the behavioral change of the society to be more aware and care about their education. Furthermore, these teachers, besides of taking a role as educators, they also empowered to strengthen the nation and state in the frame of the Republic of Indonesia.

Now, there are more and more NGOs and GOs that initiated similar movement on education, especially on inviting more people to be more aware and contribute their contribution for the education. The survey has established that the NGOs can and do play a strong role in assisting the State to complement the public education system and to improve its effectiveness [11].
Although it is still a long way and not an easy job to be done, as well as some problems (technically and socially) that facing this initiatives, the presence of both government and society is very important to reach State vision on enlightening nation through intellectual life and education. It also can escalate the people who live in small islands in frontline of Indonesian border to be more conscious about their nation and patriotism spirit. So that national threats related to foreign influence and border’s problem can be minimize.

REFERENCES

[1] The World Factbook; Indonesia, Central Intelligence Agency Website, July 2013. Retrieved from: https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/geos/id.html
[2] Abubakar, Mustafa. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan; Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan dan Sebatik. Jakarta: Penerbit Kompas, 2006.
[3] BNPP, Grand Design; Pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan di Indonesia tahun 2011 – 2025 (Grand Design; Management of Country’s Border Area and Border Regional in Indonesia, year 2011 – 2025). Badan Nasional Pengelola Perbatasan (National Authority for Border Management), Republic of Indonesia, 2011.
[4] The World Bank. Teacher Employment and Deployment in Indonesia; Opportunities for Equity, Efficiency and Quality Improvement, 2006. Retrieved from: http://ddp-ext.worldbank.org/EdStats/IDNstu08a.pdf
[5] Yoltuwu, Johozua M. Pertumbuhan Ekonomi di Daerah Tertinggal (Economic Growth in Disadvantage Area), Work Meeting Presentation, Ministry of Disadvantage Area Development, Republic of Indonesia, 7-9 March 2013.
[6] Gerakan Indonesia Mengajar Website. http://indonesiamengajar.org
[7] Dikbud E-Magazine, Edisi 03, IV, May 2013. Retrieved from: http://118.98.223.68/kemdikbud/majalah/e-Majalah_DIKBUD_Edisi_03-Mei-2013.pdf
[8] Personal Interview with officer of Gerakan Indonesia Mengajar office, on August 1st, 2013 at 2 – 3 pm.
[9] SM3T Website. http://sm-3t.dikti.go.id/
[10] Kusumo, Ayub Torry Satriyo. Optimalisasi Pengelolaan dan Pemberdayaan Pulau-pulau Terluar dalam Rangka Mempertahankan Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10 No.3 September 2010.p. 327 – 337.
[11] Jagannathan, Shanti. The Role of Non-Governmental Organization in Primary Education; A Study of Six NGOs in India. Retrieved from: http://bit.ly/142h4bR


[Story] Bus Kota dan Sisi Lain Jakarta

$
0
0

Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itu yang selalu saya yakini. Beberapa waktu yang lalu, ban motor saya bocor. Jadilah saya yang hendak berangkat ke kantor harus cari strategi lain untuk bisa sampai. Yang terlintas dari pikiran saya, cara tercepat dan termudah adalah dengan naik bus. Akan sangat lama proses memperbaiki motor dan perlu mendorong cukup jauh  ke bengkel. Alhasil, motor saya parkirkan kembali di kos-kosan, dan saya pun ke pinggir jalan raya, menunggu si hijau Kopaja 57.

Mungkin terdengar lebay, tapi keputusan untuk naik bus perlu saya pertimbangkan agak lama. Selama berjuang di Jakarta, saya menggunakan motor untuk setiap mobilitas saya. BIG NO, untuk naik kendaraan umum, apalagi untuk konteks Jakarta. Macet gila, lama ngetem, sopir ugal-ugalan, apek, sumpek, bau, orang merokok, panas, umpek-umpekan, banyak copet, dll. Itu yang ada di benak saya kalau membayangkan bus kota di Jakarta. Namun, ya itu tadi, sudah rencana-Nya saya harus mengalami ban bocor sehingga mau tak mau saya “terpaksa” naik Kopaja.

Di satu sisi, beberapa kekhawatiran saya memang terjadi. Karena sedang peak hour, bus pun penuh sesak dengan para penumpang. Tidak ada space lagi untuk bisa berdiri nyama, apalagi duduk. Jadi, saya pun harus bergantungan di pintu bus yang terbuka. Istilahnya, jadi “kenek” (yeay, malah seneng sakjane. Nostalgia masa kecil, sering ngegantungan di pintu bus :D).

 

Aksi kaki terinjak, kedorong-dorong orang, nyaris jatuh karena sopir ngerem mendadak, dll mewarnai perjalanan saya ke kantor pagi dan petang itu. Namun, saya merasa bahwa apa yang terjadi di dalam bus kota itu penuh dengan interaksi sosial dan “lebih hidup”. Saat berkendara sendiri, tentulah kita lebih fokus mengendarainya. Tapi beda halnya saat menjadi penumpang bus. Ada sisi indah yang bisa kita dapat, jika kita mau menikmatinya.

Terlepas dari segala sisi negatif kendaraan umum Jakarta, ada banyak hal yang saya pelajari dari pengalaman ini. Kebiasaan saya mengamati sekeliling saya, membuat saya menyadari betapa bus kota itu sungguh menarik. Saya lihat begitu banyak orang naik turun bergantian, tidak hanya penumpang tetapi juga pengamen, peminta sedekah, dan lainnya. Saya menerka-nerka, apa profesi dari para penumpang yang saya temui di dalam bus. Bagaimana kehidupan para penjual asongan dan pengamen sehari-hari? Juga analisa amatir tentang apa yang menjadi penyebab supir bus menjadi ugal-ugalan? Mengapa di tengah ketidak-nyamanan berkendaraan umum, tetap saja ada orang yang memilihnya? Waaah, terlalu banyak pertanyaan, diskusi dan tanya jawab di dalam pikiran saya.

Selain itu, saya juga bisa melihat kanan-kiri jalan yang biasa saya lalui ke kantor. Ternyata banyak hal yang terlewat dari pandangan mata.

Aaaah, ada sesuatu yang lain, dan sudah lama tak saya rasakan selama menjadi salah satu penghuni Jakarta. Di tengah segala keruwetannya, jika kita mau berpikir dan menikmati, Jakarta itu tetap memiliki sisi indahnya.

So, Enjoy Jakarta :D!


The Brave and Mature Man

$
0
0
From The Ideal Muslimah Page

From The Ideal Muslimah Page

Kutipan dari The Ideal Muslimah Facebook Page:

“There are so many things wrong with this poster! SubhanAllah how we have such horrible stereotypes. I see absolutely no sister with a Masters or PHD running after men. Rather I see men with higher intellect and maturity running after such women to be their wives and the mother of their children. 

Men are choosing sisters who are mature and are well educated. And if a man is scared of your education/intellect or of your age he is not a man to begin you are better off without such men. He is an immature boy who still has a long way to go before he becomes a man.

Reminds me of this:

“A strong man can handle a strong woman, a weak man will say she has an attitude problem.”

Sisters please pursue your dreams and education. Do not be scared by these stupid posters that you will not get married if you study further. When everything falls it is your education both Islamic and worldly that will help you by Allah’s will. Also as Muslims we believe in Qadr. You will marry the day you are meant to marry. It is already written. Just had to vent out about how stupid and ignorant this poster is.”

***

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ

Segala puji bagi Allah yang dengan kenikmatan-Nya menjadi sempurna segala amal sholih.

Setelah absen selama lebih dari 4 bulan, akhirnya saya hadir kembali mengisi rumah maya ini. Selama kurun waktu tersebut, ada beragam hal yang saya alami. Namun yang paling signifikan adalah per 1 Agustus 2015, Alhamdulillah saya memulai hidup yang baru, bersama “the one who is brave and mature“.

Saya memposting tulisan ini karena teringat hutang PR tulisan pasca akad nikah dan juga tergelitik dengan meme dan caption yang sangat menohok (terutama untuk kebanyakan kaum Adam, I guess :p). Saya sangat bersyukur karena janji Allah untuk mempertemukan saya dengan sang pemberani nan dewasa itu terjadi jua. And he is my husband :”). Saya coba menilik berbagai kejadian dan peristiwa sebelum saya resmi berganti status.

Entah berapa kali saya mengalami sendiri dan melihat berbagai kasus dimana para “laki-laki” mundur teratur bahkan lari ketika mengetahui seorang wanita yang lebih tua umurnya atau lebih tinggi pendidikannya. Kata teman saya, itu wajar dan manusiawi. Karena bagaimanapun tiap orang memiliki preferensi dalam memilih dan kriteria.

Pun itu terjadi pada saya beberapa tahun yang lalu, sebelum akhirnya “sadar”. Kata kawan, saya termasuk yang terlalu “tinggi” dalam memasang standar kriteria. Harus ini dan itu: gak mau yang lebih muda, harus tinggi badannya minimal sama (ps: tinggi saya 171 cm :p), berkacamata, suka membaca dan menulis, dsb. Ada bukti tertulis di dalam diary saya, tentang kriteria tersebut. Hingga akhirnya, saya dijedotkan ^^” pada sebuah peristiwa dimana kriteria dan anggapan yang terbaik versi saya, bukanlah yang terbaik. Dan ini menunjukkan masih belum dewasanya saya dalam memilih pasangan.

Memang, Allah memberikan beragam tantangan dan ujian buat kita, supaya kita kemudian bisa mengambil hikmahnya dan tersadar bahwa skenario-Nya lah yang terbaik.

Ada kalanya kita bertemu dengan “prospectus husband/ wife” yang kalau dinilai-nilai sudah sesuai dengan kriteria: sholeh/ sholehah, ganteng/ cantik, pintar, berpenghasilan cukup, rajin menabung, suka menyiram tanaman (hehehhe…), suka membaca, keren, suka diskusi, dll. Perfect-lah kriterianya kalau ditimbang-timbang. Namun, ada satu hal utama yang menjadi pertanyaan paling krusial. Apakah yang bersangkutan sudah siap + berani untuk menikah?

Buat saya, keberanian lah yang menjadi ukuran utama. Dan keberanian itu mewakili kedewasaannya dalam berpikir. Sikap yang berani itu ditunjukkan dengan siap mengambil resiko: diterima atau ditolak. Juga, dengan segala kelebihan dan kekurangan calon pasangan ketika berproses. Pun jikalau saat proses itu menemukan sesuatu yang kurang sreg, diperlukan lagi keberanian untuk menolak dengan alasan yang syar’i. Itupun setelah proses istikharah dan juga penemuan fakta dan bukti (bukan sekedar asumsi) dari hal-hal yang kurang disukai tersebut.

Oleh karena itu, buat rekan-rekanku baik yang laki-laki maupun perempuan, jika sedang dalam proses pencarian/ penantian, luruskan lagi niatnya dan mantapkan keberanian. Gak perlu takut dengan embel-embel atau atribut dunia (pendidikan, latar belakang, dll). Sebelum menuntut semua kriteria yang kau punya, pastikan dulu bahwa syarat keberanian tersebut sudah dipenuhi. Semoga Allah senantiasa memberikah barokah-Nya untuk setiap ikhtiar yang kita lakukan dalam menjemput jodoh dan rezeki-Nya.

*Ia, Raditya Triaprianta Sunu, adalah sang pemberani yang siap membimbing saya dan bertanggung-jawab dunia akhirat. Alhamdulillah :”)


[Share] Esai LPDP – Sukses Terbesar

$
0
0

Alhamdulillah, per 10 Desember 2015 yang lalu, Allah mengabulkan doa dan salah satu ikhtiar saya untuk melanjutkan studi. Setelah lama harap-harap cemas, pengumuman yang sangat ditunggu itu muncul juga. Ya, itulah seleksi beasiswa pendidikan Indonesia (BPI) dari LPDP.  Saya mengikuti proses seleksi batch IV tahun 2015.

Nah, salah satu syarat saat seleksi administratif adalah membuat esai sukses terbesar dalam hidup saya. Berikut ini esai yang saya tulis. Semoga bisa memberi gambaran bagi rekan-rekan yang akan atau sedang berikhtiar.

SUKSES TERBESAR DALAM HIDUP SAYA

Oleh: Retno Widyastuti

Seek out your mission in life, and you are living a life of significance. And when your passions meet the needs of the world, you find your mission in life (Rene Suhardono, 2014).

Setiap orang memiliki definisi dan standar yang berbeda tentang kesuksesan. Ada yang mengukurnya dengan material, non-material atau keduanya. Bagi saya pribadi, definisi kesuksesan adalah ketika nilai keseimbangan optimal tercapai antara penumbuhan individu, hubungan dengan keluarga, studi di kampus/ bekerja dan aktivitas organisasi (Teori Informasi – Entropy, Khoirul Anwar 2014). Dengan kata lain, sukses adalah ketika potensi dan pencapaian diri terus bertumbuh, hubungan keluarga terbina dengan baik, menjalankan amanah studi atau kerja dengan sungguh-sungguh, serta aktif berkontribusi untuk lingkungannya melalui organisasi. Keempat komponen tersebut dijalankan bersama-sama secara berimbang dan optimal.

Selama 28 tahun ini, ada banyak pengalaman dan peristiwa yang saya alami. Walaupun saya belum mencapai nilai keseimbangan optimal yang menjadi tolak ukur kesuksesan saya, namun ada periode dimana saya merasa bisa menjalankan peranan serta misi saya dengan baik. Adalah periode itu ketika saya menjalani studi master saya di Taipei, Taiwan pada tahun 2012 – 2015. Alhamdulillah, saya mendapatkan kesempatan untuk studi di luar negeri dalam waktu panjang untuk pertama kalinya. Saya mendapatkan beasiswa dari Taiwan Scholarship dan diterima di program Asia Pacific Studies, National Chengchi University. Baik beasiswa maupun kampus tempat saya belajar, adalah termasuk yang paling bergengsi di Taiwan, sehingga persaingan dan tekanan di sana cukup ketat.

Selain itu, di Taiwan saya ditantang untuk menjalani kehidupan mandiri dan bertahan di tengah suasana yang serba asing. Namun begitu, saya tetap mencoba menjalankan dua setengah tahun tersebut dengan penuh kesungguhan. Hasilnya, Alhamdulillah di tengah perjuangan beradaptasi dengan budaya yang berbeda dan menjadi minoritas, saya dapat mempertahankan prestasi akademik yang ditunjukkan dengan nilai yang selalu di atas standar. Selain itu, saya juga mendapatkan kesempatan untuk mengikuti 4 konferensi bertaraf internasional dengan mempresentasikan karya ilmiah saya di Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong, dan Filipina. Prestasi non-akademik pun pernah saya raih selama di Taiwan, seperti menjuarai lomba esai tingkat universitas dan juga honorable mention lomba fotografi amatir mahasiswa internasional se-Taiwan.

Tidak hanya berfokus pada akademik, saya juga aktif bergabung dalam berbagai organisasi intra-kampus maupun ekstra-kampus, antara lain: NCCU International Association, PPI Taiwan, FORMMIT Taiwan, Majalah Islam SALAM, serta PPI Dunia. Dari kegiatan organisasi tersebut, saya belajar untuk berorganisasi bersama orang-orang yang memiliki beragam latar belakang kebangsaan, budaya, etnis, suku maupun agama yang membuat saya semakin sadar betapa keberagaman manusia beserta karakternya itu sungguh luar biasa. Selain itu, melalui organisasi saya bisa berkontribusi optimal sambil melatih leadership skill sebagai persiapan sebelum terjun ke masyarakat.

Kemudian, untuk lebih menghidupkan dampak dari keberadaan saya, saya turut serta dalam berbagai kegiatan volunteer sebagai bentuk pengabdian masyarakat. Bersama-sama dengan para mahasiswa internasional lainnya di kampus saya, saya ikut serta dalam aktifitas pengumpulan bantuan untuk bencana taifun Haiyan di Filipina, bencana kemanusiaan di Gaza dan Suriah, serta tak luput ikut membantu berbagi pengalaman dengan mengajar Bahasa Inggris di sebuah sekolah dasar Taiwan dan komunitas lansia di dekat universitas tempat saya studi. Dan untuk turut serta dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa, walaupun berada di Taiwan saya berkesempatan untuk bergabung sebagai tutor untuk rekan-rekan Buruh Migran Indonesia di Taiwan melalui Universitas Terbuka Taiwan dan Kejar Paket C Taiwan.

Dari pengalaman selama di Taiwan tersebut, saya merasakan waktu dan aktivitas yang saya jalani dapat terlaksana secara optimal dan keseimbangan aktivitas dapat diraih. Selain menemukan passion saya di dunia akademik dan pendidikan, saya juga belajar untuk menumbuhkan orang lain (coaching others) dan mengabdikan diri untuk masyarakat di sekeliling saya. Semua hal ini membuat saya sadar tentang misi yang telah dan akan selalu saya emban. Dengan menemukan dan merasakan “kesuksesan” selama di Taiwan tersebut, saya berharap ke depannya pola keseimbangan peran optimal ini akan terus saya terapkan untuk berkontribusi nyata bagi negeri maupun kemanusiaan.


[Share] Esai LPDP – Kontribusi untuk Indonesia

$
0
0

Setelah sebelumnya saya posting esai seleksi LPDP yang “Sukses Terbesar”, kali ini adalah esai “Kontribusi untuk Indonesia”. Semoga bisa menjadi gambaran dalam mempersiapkan diri ya. Selamat berikhtiar!

***

KONTRIBUSIKU BAGI INDONESIA

Oleh Retno Widyastuti

Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang paling bermanfaat. Kalimat ini sering kita dengar dan banyak diutarakan oleh berbagai pihak. Namun, yang menjadi pertanyaan kemudian adalah manfaat apa yang bisa diberikan dan bagaimana cara mengoptimalkan kebermanfaatan kehadiran serta kerja kita tersebut untuk sekeliling kita?

Hal pertama yang perlu dan penting dilakukan adalah memetakan potensi dan menilai diri sendiri. Kemampuan untuk menilai diri sendiri secara objektif merupakan salah satu hal yang paling sulit dalam kehidupan. Tidak ada orang yang bisa menjadi hebat dan serba bisa di berbagai bidang, tetapi kita perlu menempatkan diri pada bagian mana kita bisa berkarya secara optimal.

Setelah mengalami berbagai peristiwa dan pengalaman selama sepuluh tahun terakhir, saya mulai mengenal dan memetakan potensi saya pribadi. Saya memantapkan diri untuk berkarya di dunia pendidikan dan kepemudaan. Lebih khususnya untuk dunia pendidikan, saya bercita-cita untuk menjadi dosen di bidang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan saya. Pengalaman selama S1 dan S2 di Taiwan sebagai asisten dosen dan tutor, juga sebagai peneliti di tempat saya berkarya sekarang (Kemitraan), membuat saya semakin yakin untuk berkontribusi di jalan ini.

Benang merah dari berbagai studi formal dan juga penelitan yang saya lakukan adalah terkait dengan masyarakat dan budaya, kajian Asia Timur dan juga minoritas Muslim yang ada di berbagai penjuru dunia. Adapun pendekatan studi saya adalah inter-disipliner, dengan fokus kajian wilayah (Area studies), sosiologi, antropologi, dan etnologi.
Berdasarkan penelitian dan pengalaman yang saya dapatkan, saya menyadari bahwa dunia beserta manusia dan kebudayaannya sungguh beragam. Dan keragaman ini perlu dialami, tidak hanya melalui buku atau teori-teori yang ada, tetapi juga dengan pengalaman dan interaksi langsung. Informasi dan pengalaman yang terbatas, membuat pandangan menjadi sempit dan ini sering menjadi sebab terjadinya konflik antar suku, budaya, maupun bangsa.

Dengan menjadi dosen serta pendidik, saya memiliki kesempatan untuk menerapkan tri-dharma perguruan tinggi; berinteraksi langsung dengan para mahasiswa dan generasi muda Indonesia melalui aktivitas belajar mengajar, penelitian untuk memperkaya khasanah keilmuan dan topik bidang yang saya geluti, serta pengabdian masyarakat melalui community development.

Khususnya dari pengalaman saya selama di Taiwan, saya dihadapkan langsung dengan kondisi nyata para pahlawan devisa Indonesia yang jumlahnya melebihi 200.000 orang. Kenyataan yang saya lihat, membuat saya miris dan sedih dengan hal tersebut, namun tidak berhenti di situ, kontribusi nyata yang bisa saya lakukan adalah dengan membantu proses peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan para buruh migran Indonesia, yaitu dengan menjadi tutor mengajar dan relawan pendidikan di Universitas Terbuka Taiwan dan Kejar Paket C Taiwan.

Dua pengalaman terpenting lain yang memberikan saya kekuatan tekad untuk bergerak di bidang pendidikan dan kepemudaan adalah ketika saya tergabung sebagai officer di Gerakan Indonesia Mengajar (2011 – 2012), sebagai tim Departemen Hubungan Luar Negeri di Masyarakat Ilmuwan dan Teknolog Indonesia (MITI) Mahasiswa (2010 – 2014) serta sebagai Dewan Presidium Perhimpunan Pelajar Indonesia se-Dunia (PPI Dunia) 2013 – 2015.

Di Indonesia Mengajar, saya belajar tentang kondisi nyata pendidikan yang ada di tanah air serta bagaimana menyebarkan ide dan semangat gerakan sosial. Bukan maksud untuk meratapi atau mengutuk segala kekurangan yang terjadi, melainkan kenyataan ini menyuntikkan energi optimisme kepada saya untuk turut turun tangan membantu dan berkontribusi dalam dunia pendidikan. Pendidikan bukan program, tetapi ini adalah sebuah gerakan bersama memenuhi janji kemerdekaan Indonesia.

Kemudian, hal lain yang saya pelajari dan ingin terapkan adalah upaya untuk meningkatkan potensi serta menumbuhkan kemampuan kepemimpinan (leadership skill). Tantangan Indonesia di dunia yang semakin mengglobal ini adalah dengan semakin terbukanya persaingan, seperti ASEAN Economic Community (AEC) 2015, dimana world class competence dan grass-root understanding sangat diperlukan untuk memajukan negeri dan bisa bersaing dengan penduduk dunia lainnya. Namun tidak lupa untuk senantiasa mengingat tujuan akhir dari hal ini, yaitu untuk mencapai cita-cita yang diamanahkan melalui konstitusi Republik Indonesia.

Membersamai MITI Mahasiswa di bidang Hubungan Luar Negeri selama lima tahun terakhir, saya berkesempatan untuk berbagi pengalaman dan ilmu di berbagai forum diskusi serta sharing untuk persiapan studi di luar negeri yang dilaksanakan di berbagai tempat di seluruh tanah air. Puluhan universitas dan ribuan mahasiswa telah saya datangi dan jumpai. Namun, lebih dari itu, pengalaman tersebut menyadarkan saya betapa pentingnya aksi dan tindak lanjut dari sebuah keinginan dan niat. Sangat banyak mahasiswa yang ingin sekali melanjutkan studi di luar negeri, namun tidak diiringi dengan persiapan serta usaha yang optimal dan serius. Oleh karenanya, saya merasa terpanggil untuk memotivasi, mendampingi serta “mendidik” agar generasi muda Indonesia benar-benar menjadi generasi yang tangguh, senantiasa mengembangkan potensi dan mempersiapkan diri, serta tidak ragu untuk berkontribusi untuk negeri.

Kemudian, selama menempuh studi di Taiwan (2012 – 2014), saya berkesempatan untuk berinteraksi dengan berbagai pelajar Indonesia dari berbagai belahan dunia melalui PPI Taiwan dan PPI Dunia. Dari organisasi ini, saya melihat adanya potensi yang besar bagi generasi muda Indonesia yang tersebar di berbagai negara untuk berprestasi dan urun tangan dalam kemajuan negeri. Saat ini, PPI Dunia beserta 46 perwakilan PPI Negara bersinergi untuk memberikan kontribusi, dan membuktikan bahwa jarak dan batas negara tidak menghalangi aksi nyata untuk tanah air.

Untuk itu, ke depannya saya memantapkan diri untuk tidak hanya bergerak di dunia pendidkan/ akademik yang sesuai dengan bidang saya (sebagai usaha untuk pembentukan pola pikir dan problem solving), tetapi juga ikut berperan aktif dalam peningkatan kemampuan kepemimpinan serta kualitas para penerus bangsa.



[Story] My Life Event in 2015 – Part 1

$
0
0

Alhamdulillah….

Hari ini sudah 29 hari berlalu sejak tahun 2015 berakhir. Saat penghujung tahun lalu saya ber-azzam untuk menuliskan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi selama setahun kemarin. Ada banyak hal krusial yang menuntut ketegasan dan keberanian saya untuk mengambil keputusan dalam hidup. Untuk itu, perkenankan saya membuka kembali catatan kecil saya, apa saja yang sudah saya lewati, dan tentunya harus selalu disyukuri apapun itu.

Let me write it here, bagian semester pertama.

Januari 2015

Mengawali tahun yang baru, Alhamdulillah saya dikaruniai kesempatan untuk kembali berkarya di dunia kerja, yang datangnya dari arah yang tak disangka-sangka dan mendadak. Dengan amanah sebagai intern, saya memulai kembali lika-liku dunia kerja di Kemitraan atau Partnership for Governance Reform, Unit Democracy and State Governance, AIESP program. Lembaga ini merupakan salah satu CSO (civil society organization) yang (ternyata) cukup terkemuka di kalangan para pegiat LSM di Indonesia. Saya yang agak kuper ini, tidak tahu menahu tentang keberadaan CSO ini sebelumnya.

Barulah saya sadar ketika rekan-rekan saya yang aktif dalam isu demokrasi atau dosen-dosen yang sering berkarya di luar kampus, langsung mengamini sepak terjang Kemitraan selama ini.

logo-

Dalam program AIESP ini, saya diamanahkan untuk membantu Prof. Ramlan Surbakti, Guru Besar Ilmu Politik UNAIR dan expert bidang Pemilu, untuk mengumpulkan data-data penelitian yang beliau perlukan. Di sini saya diberi kesempatan untuk belajar banyak hal, terutama praktik demokrasi dan realita “dapur politik” di Senayan.

Hal lain di luar dunia pekerjaan adalah terkait dunia organisasi. Di bulan ini, rekan-rekan perjuangan di PPI Dunia tengah pulang kampung, liburan di Jakarta. Maka, ada serangkaian program kerja PPI Dunia yang diselenggarakan di bulan ini. Sebagai satu-satunya yang sudah back for good ke tanah air, maka saya diamanahkan untuk menyiapkan hal-hal teknis terkait program tersebut. Salah satunya adalah koordinasi Festival Studi di Luar Negeri, bekerjasama dengan teman-teman Lingkar Inspirasi UNJ. Kemudian dilanjutkan dengan silaturrahim PPI Dunia, audiensi ke DIKTI, dan audiensi ke kantor NET TV (tepat di hari saya milad ke-28). Senang :)

Februari 2015

Di bulan ini, keputusan krusial yang saya pilih adalah mengambil tugas yang lebih di kantor. Saya menggantikan posisi rekan saya yang pindah, menjadi konsultan asisten peneliti. Peranan ini menuntut tanggung jawab yang lebih dari seorang intern, sehingga kehidupan sebagai pekerja (*dan meneliti) sepenuhnya saya jalani. Aktivitas yang saya lakukan adalah membaca, mengedit, mereview, dan membaca lagi. Kemudian, saya mulai terlibat dalam kegiatan FGD bersama para konsultan ahli hukum dan politik yang berasal dari berbagai kampus di seluruh Indonesia. Oh, ternyata begini ya rasanya berkarya di dunia penelitian a la CSO. Saya belajar hal baru, dan menjadi lebih familiar tentang bentuk-bentuk kontribusi apa yang dilakukan oleh para dosen di luar kampus :)

Peristiwa penting lainnya di bulan ini adalah untuk pertama kalinya saya mengikuti tes IELTS (*yang mahalnya luar biasa XD). Akhirnya saya memberanikan diri, mengalahkan ketakutan saya dengan ikut tes ini. Jika sebelumnya keberanian saya hanya sebatas ikut tes TOEFL ITP (yang harganya jauh di bawah IELTS or TOEFL International), niat dan keseriusan saya untuk membuka pintu dunia akhirnya benar-benar diuji. Ana rupa, ana rega. Dengan ikhtiar ini, insyaAllah kesempatan untuk studi di berbagai belahan dunia terbuka lebar (*terutama jika score IELTSnya di atas standar yang disyaratkan kampus-kampus :D).

logo_IELTS

Maret 2015

Di bulan Maret, peristiwa penting yang terjadi adalah proses persiapan aplikasi beasiswa S3 di Turki (Turkiye Burslari). Saya mengambil IELTS pun dikarenakan oleh ikhtiar untuk studi ini. Segala hal dilakukan, siang malam memikirkan bagaimana membuat aplikasi bisa lolos tahap administrasi. Kampus-kampus incaran saya di sana: Bogazici Universitesi, METU Ankara, dan Marmara University. Kampus-kampus tersebut memiliki program berbahasa Inggris, dan juga dikenal sebagai kampus top Turki di bidang social sciences.

ef5e8cc8b666fd39961582ca76f28bd3

Alhamdulillah, setelah submit, beberapa waktu kemudian saya mendapat informasi kalau saya lolos seleksi administrasi, dan berhak untuk mengikuti wawancara. Namun, ada suatu peristiwa penting  tak terduga di bulan berikutnya, yang mengubah segalanya.

April 2015

Kamis, 2 April 2015. Saya ingat betul, saat itu saya baru saja pulang dari kantor. Sekitar pukul 9 malam, tiba-tiba saya mendapatkan sebuah pesan singkat via WA dari seorang sahabat lama. Ia membawa kabar yang mengejutkan dan tak saya sangka. Inilah awal mula dari peristiwa pengambilan keputusan terpenting dalam 28 tahun hidup saya.

Sahabat saya “menawarkan” saya untuk berkenalan dengan seseorang. Bagai disambar petir, saya langsung kaget, deg-degan luar biasa. Saat itu saya berpikir, mungkin inikah saat yang dijanjikan oleh-Nya, proses bertemu dengan seseorang yang akan menjadi imam saya di dunia dan akhirat?

Saya meminta waktu 4 hari untuk berpikir, menguatkan hati, dan mengambil keputusan. Dan sekembalinya saya dari Kota Medan, saya putuskan untuk melanjutkan proses ini. Bismillah… Semoga Allah meridhoi.

Saya menitipkan do’a kepada bapak dan ibu yang berangkat ke tanah suci menunaikan umroh. Saya meminta, jika memang jodoh maka lancarkanlah jalannya. Dan proses pun berlanjut.

Anyway, saya belum pernah mengenal “beliau” sebelumnya. Walaupun satu organisasi, tapi tak sekalipun saya tahu tentangnya. Namun sebaliknya, sepak terjang saya di organisasi ini sudah diketahui beliau walau belum pernah bertemu langsung (*ah, jadi malu :”).  Di Bandung, 25 April 2015, secara tak sengaja kami bertemu dalam sebuah event organisasi. Kami sama-sama diamanahkan sebagai narasumber, namun berbeda sesi. Saya tentunya kaget setengah mati karena pertemuan ini di luar rencana.

Tanggal 28 April 2015 pukul 20.00 di Masjid At-Tiin TMII lantai 2, dengan ditemani 2 orang sahabat saya, akhirnya pertemuan “resmi” dengan dia (yang kini menjadi imam saya) dilakukan untuk mengenal lebih jauh. Ada lebih dari 20 pertanyaan yang saya ajukan kepadanya (*ini melebihi “pembantaian” saat pendadaran atau seleksi interview beasiswa. hahaha….). Sedangkan ia, hanya mengajukan satu pertanyaan saja kepada saya. Aih, sungguh menjadi kenangan manis dalam hidup saya :”).

Mei 2015

1 Mei 2015, menjadi hari dimana proses berjalan lebih serius. Ibu saya meminta beliau untuk datang ke rumah. Saya sempat panik karena biasanya cercaan pertanyaan dari ibu jauuuuh lebih banyak dan heboh. Saya takut “beliau” shock. hahaha… Namun Alhamdulillah, ibu saya memahami bagaimana kondisinya, dan ternyata tak banyak yang ibu tanyakan kepada “beliau”. Pertemuan berlangsung lancar. Dan kemudian proses pun berlanjut ke tahap berikutnya.

Pertengahan Mei saat bapak sudah kembali ke Jakarta dari Papua, pertemuan dua lelaki pun terjadi. Saya ingat statement bapak waktu itu. Tidak perlu panjang lebar atau basa basi, bapak menanyakan maksud dan tujuan “beliau” datang ke rumah mau ngapain. Akhirnya, “beliau” pun memberanikan diri menyampaikan ke bapak untuk “nembung” saya (aaaaw XD). Sayangnya, proses nembung berlangsung dalam bahasa Jawa kromo inggil, which is saya, ibu dan kakak gak ngerti sama sekali. Jadi kurang lebih begitu lah kata-katanya. hahahaha….

Kemudian, bapak pun bertanya pada saya. Bagaimana tanggapan atas tembungan tersebut. Dengan proses malu-malu yang panjang, akhirnya saya pun menjawab. “Bismillah, iya..” (tutup mukaaaaa, blushing :”))

Follow up dari pertemuan itu adalah kesepakatan tanggal khitbah resmi oleh keluarga besar “beliau” di kampung halaman bapak di Wonosobo.

Juni 2015

Alhamdulillah, 13 Juni 2015 adalah hari yang disepakati. Bapak dan ibu sudah berangkat duluan ke Wonosobo untuk mempersiapkan teknis acara di rumah. Sedangkan saya dan mbak menyusul dengan kereta sampai Purwokerto, lanjut ke Wonosobo by car. Rasa deg-degan luar biasa. Alhamdulillah proses lamaran dengan keluarga besar berlangsung lancar, juga disepakati bahwa hari “H” pernikahan adalah dua pekan setelah lebaran.

to be continued….

 


[Share] Seleksi Beasiswa LPDP – Part 1

$
0
0

Alhamdulillah. Segala Puji Bagi Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Doa saya untuk melanjutkan studi (lagi) diijabah Allah dengan dilancarkannya proses dalam berjuang mendapatkan beasiswa. Namun ini semua belum berakhir. Perjalanan saya menuju ke Berlin masih panjang. Palilng tidak sudah dua tahapan proses sudah saya lewati, yaitu proses seleksi beasiswa pendidikan Indonesia (BPI) LPDP dan persiapan keberangkatan (PK).

Nah, dalam beberapa postingan ke depan, perkenankan saya berbagi pengalaman tentang bagaimana awal proses saya dari awal hingga pengumuman hasil seleksi. Namun sebelum menuju ke sharing pengalaman, let me describe secara singkat selayang pandang LPDP.

Tentang LPDP

Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) adalah lembaga di bawah Kementerian Keuangan dengan pengawasan dari empat Kementerian, yaitu Kementerian Keuangan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Riset dan Teknologi dan Pendidikan Tinggi serta Kementerian Agama Republik Indonesia. LPDP dibentuk sebagai salah satu pemenuhan dan pelaksanaan amanah UUD 1945 terkait fungsi pendidikan, mengalokasikan 20 persen Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) adalah untuk pendidikan.

Merujuk pada sejarahnya, pada tahun 2010 Pemerintah dan DPR RI melalui UU Nomor 2 tahun 2010 tentang APBN-P 2010 menyepakati bahwa sebagian dana dari alokasi dana fungsi pendidikan dalam APBN-P tersebut dijadikan sebagai Dana Pengembangan Pendidikan Nasional (DPPN) yang dikelola dengan mekanisme pengelolaan dana abadi (endowment fund) oleh sebuah Badan Layanan Umum (BLU).

Mekanisme yang ada di LPDP, merupakan sebuah terobosan untuk menjamin keberlangsungan pendidikan antar generasi (future leaders), yang memiliki aspek Fleksibilitas (terkait siklus normal penganggaran agar tidak terjadi keterlambatan pembayaran allowance), sebagai antisipasi apabila APBN mengalami penurunan sebagai akibat dari faktor eksternal sehingga alokasi anggaran pendidikan akan turun, serta sebagai antisipasi apabila terjadi force majeur yang menjadi sebab terganggunya pelaksanaan pendidikan.

Pengelolaan dana abadi pendidikan ini digunakan untuk pengembangan kualitas sumber daya manusia di berbagai bidang yang menunjang percepatan pembangunan Indonesia dan mempersiapkan calon pemimpin muda masa depan, melalui pemberian dana pendidikan untuk beasiswa dan riset kepada putra – putri terbaik Bangsa Indonesia. Selain itu, hal ini bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan bagi generasi mendatang sebagai pertanggungjawaban antargenerasi serta mengantisipasi keperluan rehabilitasi pendidikan yang rusak akibat bencana.

Nilai-nilai yang diperjuangkan LPDP, antara lain: Integritas, Profesional, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan yang diimpelementasikan dalam keseharian dan budaya organisasi setiap insan LPDP.

  1. Integritas: Berpikir, berkata, berperilaku dan bertindak dengan baik dan benar serta memegang teguh prinsip-prinsip moral.
  2. Profesionalisme: Bekerja tuntas, akurat atas dasar kompetensi terbaik, penuh tanggung jawab, dan komitmen yang tinggi.
  3. Sinergi: Membangun hubungan kerja sama internal maupun kemitraan yang produktif dan harmonis.
  4. Pelayanan: Bekerja sepenuh hati, transparan, cepat, akurat dan mudah dalam memenuhi kepuasan pemangku kepentingan.
  5. Kesempurnaan: Berupaya melakukan perbaikan disegala bidang untuk menjadi dan memberikan yang terbaik.

Program Layanan LPDP

LPDP memperoleh DPPN dari APBN sebesar Rp 15.6 Triliun, yang kemudian menjadi dana abadi pendidikan. Program Layanan LPDP terdiri dari 2 macam, yaitu pengembangan dana (melalui investasi) dan penyaluran dana. Khususnya untuk penyaluran dana, terbagi menjadi 3, yaitu program beasiswa, pendanaan riset dan rehabilitasi fasilitas pendidikan.

Untuk program beasiswa terdiri dari:
1) Beasiswa Magister/ Doktoral (Dalam/ Luar Negeri)
2) Beasiswa Tesis/ Disertasi (Dalam/Luar Negeri)
3) Beasiswa Pendidikan Indonesia Dokter Spesialis (Dalam Negeri)
4) Beasiswa Presiden Republik Indonesia
5) Beasiswa Afirmasi

Tema-tema yang menjadi prioritas pertama LPDP, yang dipandang akan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan Indonesia di masa depan, antara lain seperti: maritim, perikanan, pertanian, ketahanan energi, ketahanan pangan, industri kreatif, dan pendidikan. Selanjutnya prioritas kedua yaitu manajemen pendidikan, teknologi transportasi, teknologi pertahanan dan keamanan, teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi medis dan kesehatan. Untuk prioritas ketiga tema yang ditawarkan adalah lingkungan, agama, vokasi, ekonomi atau keuangan syariah, bahasa atau budaya, sains terapan, dan hukum bisnis internasional.

Tahapan yang harus dilalui dalam proses seleksi Beasiswa LPDP:
a. Tahap Pendaftaran Online
b. Proses Seleksi Administrasi (kelengkapan dokumen dan persyaratan)
c. Proses Penilaian Dokumen
d. Proses Seleksi Wawancara, Leaderless Group Discussion (LGD) dan Essay on the spot
e. Penetapan Kelulusan sebagai Penerima Beasiswa
f. Program Persiapan Keberangkatan (PK)

Program Pendanaan Riset LPDP terdiri dari:
1. Riset Inovatif dan produktif (bantuan dana riset komersial dan bantuan dana riset implementatif)
2. Riset afirmasi nasional
3. Penghargaan hasil karya riset

Rehabilitasi fasilitas pendidikan, terdiri dari:
1. Fasilitas Pendidikan yang Rusak Akibat Bencana Alam
2. Fasilitas Pendidikan yang Terkait Langsung dengan Proses Pembelajaran

Pada Desember 2015, LPDP meluncurkan program baru yaitu Penghargaan Publikasi Ilmiah Internasional, yang merupakan salah satu bentuk penganugerahan kepada periset atau kelompok periset yang telah berhasil mempublikasikan karya ilmiahnya di jurnal internasional yang terindeks lembaga profesional. Penghargaan Publikasi Ilmiah Internasional ditujukan untuk artikel ilmiah yang bertema strategis terkait dengan pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya.

LPDP dalam Angka

Dalam periode tahun 2013 – 2015, tercatat terdapat 79.919 orang pendaftar beasiswa, baik untuk magister, doktor, tesis, disertasi, profesi, dan afirmasi. Pendaftar terbanyak adalah untuk jenjang magister (2013-2015) sebanyak 56.575 orang, sedangkan untuk tingkat doktor hanya 11.111 orang. Dari total pendaftar beasiswa tersebut, jumlah penerima beasiswa (total 2013 – 2015) adalah sebanyak 6.335 orang, dengan rincian akumulasi program magister sebanyak 4.543 orang, doktoral 878, tesis 596, disertasi 273, dan profesi 45.

1

Dalam perkembangannya, terdapat peningkatan jumlah penerima beasiswa dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2013, jumlah penerima beasiswa hanya 1.555 orang, kemudian meningkat pada tahun 2014 sebesar 3.025 orang. Khususnya untuk tahun 2015, sampai pertengahan tahun terdapat 1.755 orang penerima beasiswa. Untuk penerima beasiswa afirmasi, pada tahun 2013 tercatat sebanyak 26 orang mendapatkan beasiswa ini. Sedangkan, pada 2014 penerimanya mencapai 672 orang.

2

Berdasarkan provinsi asal, penerima beasiswa afirmasi periode 2013-2014 terbanyak berasal dari Papua dengan total 163 orang, kemudian Nusa Tenggara Barat sebanyak 146 orang, Nusa Tenggara Timur sebanyak 92 orang dan Sumatra Barat sebanyak 66 orang.

Sumber:

 

 


[Share] Seleksi Beasiswa LPDP – Part 2

$
0
0

Setelah di postingan sebelumnya saya memaparkan selayang pandang LPDP, di sini akan saya share pengalaman seleksi beasiswa LPDP dari awal sampai pengumuman hasil seleksi. Jika di-googling, memang sudah banyak rekan-rekan lain yang menulis dan share pengalamannya dalam seleksi serupa, namun perkenankan di sini saya berbagi cerita versi saya, khususnya untuk seleksi program Doktoral Luar Negeri.

Sebagai informasi, LPDP memiliki 5 macam program beasiswa pendidikan Indonesia, antara lain:

1) Beasiswa Magister/ Doktoral (Dalam/ Luar Negeri)
2) Beasiswa Tesis/ Disertasi (Dalam/Luar Negeri)
3) Beasiswa Pendidikan Indonesia Dokter Spesialis (Dalam Negeri)
4) Beasiswa Presiden Republik Indonesia
5) Beasiswa Afirmasi

Sedikit mengulang kembali, ada beberapa tema/ bidang studi yang menjadi prioritas LPDP yang dipandang akan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan Indonesia di masa depan, antara lain:

  1. Prioritas pertama, antara lain: maritim, perikanan, pertanian, ketahanan energi, ketahanan pangan, industri kreatif, dan pendidikan.
  2. Prioritas kedua: manajemen pendidikan, teknologi transportasi, teknologi pertahanan dan keamanan, teknologi informasi dan komunikasi, serta teknologi medis dan kesehatan.
  3.  Prioritas ketiga: lingkungan, agama, vokasi, ekonomi atau keuangan syariah, bahasa atau budaya, sains terapan, dan hukum bisnis internasional.

Jadi, bagi yang bidang studi atau jurusannya tercakup dalam prioritas di atas bisa ikutan daftar beasiswa LPDP. Nah, dengan beasiswa LPDP ini, kita bisa melanjutkan studi hampir di seluruh negara di dunia! Jadi, ini semacam kesempatan emas untuk menuntut ilmu di negeri impianmu, tanpa terlalu terbebani dengan biaya hidup dan biaya kuliah. Informasi lengkap tentang universitas dan negara mana saja yang menjadi rekomendasi LPDP untuk studi, bisa cek di SINI.

Then, let me explain dan share tentang proses pendaftaran dan seleksinya (versi pengalaman saya):

1. Seleksi Administratif (Online)

Untuk pendaftaran beasiswanya, seluruh proses pendaftaran dan seleksi administratif dilakukan secara online via WEBSITE LPDP. LPDP membuka kesempatan sepanjang tahun. Namun, untuk proses seleksinya dibagi menjadi 4 kali dalam setahun (untuk studi master, doktor, spesialis dan afirmasi), sedangkan untuk beasiswa tesis dan disertasi sebanyak 2 kali dalam setahun. Jadi, silakan atur strategi dan life plan-nya. Info jadwal bisa diunduh di SINI.

Screenshot 2016-02-13 19.32.04

Nah, sebelum submit aplikasi onlinenya, ada baiknya rekan-rekan menyiapkan semua berkas yang diminta dalam bentuk soft-file (scan) dan juga lengkapi isian formulir onlinenya. Persyaratan lengkap bisa dilihat di SINI. Sebagai catatan, perbedaan syarat administratif yang berbeda antara seleksi sebelumnya dengan proses yang saya jalani adalah adanya syarat surat keterangan sehat + bebas TBC (khusus untuk luar negeri) dari rumah sakit pemerintah (RSUD dan semacamnya), bukan dari puskesmas/ dokter pribadi/ klinik. Saya memperoleh surat keterangan sehat dan bebas TBC dari RSUD Pasar Rebo, yang lokasinya tidak terlalu jauh dari tempat tinggal. Untuk proses tes kesehatannya, kita tinggal mendatangi bagian Medical Check Up, dan petugasnya sudah paham apa saja tes yang harus diambil dan dijalani untuk keperluan LPDP.

Untuk medical check up ini, siap-siap uangnya yaaa. Karena untuk mendapatkan hasil yang valid (tidak hanya sekedar formalitas –> terkait keperluan jangka panjang), perlu tes yang cukup banyak. Biaya yang dikeluarkan bervariasi antara Rp 150.000 – Rp 700.000 tergantung fasilitas dan pelayanan rumah sakitnya.

Untuk syarat administratif lainnya seperti essay kontribusi untuk Indonesia dan sukses terbesar, bisa disesuaikan dengan kondisi dan latar belakang kita masing-masing. Contoh tulisan esai yang saya buat bisa dilihat di:

Perlu menjadi perhatian bahwa dalam seleksi administratif ini, sebisa mungkin untuk dilengkapi persyaratannya sesuai dengan ketentuan yang diberikan LPDP. Jangan lupa juga untuk mengecek berulang kali, jangan sampai ada yang terlewat apalagi kita sepelekan. Karena jika ada yang kurang, kita bisa gagal di proses ini (bahkan meskipun jika kita sudah memiliki LoA dari kampus top dunia sekalipun).

Kemudian, satu hal lagi yang terpenting adalah kejujuran dalam memenuhi semua persyaratan administratif. Jangan sekali-kali berbuat curang dengan memalsukan dokumen (yang pernah saya dengar adalah pemalsuan TOEFL score report) karena ini mencederai integritas sekaligus termasuk perbuatan pidana. Sanksi dari pemalsuan dokumen ini adalah black list dari beasiswa LPDP.

2. Seleksi Substansi (Verifikasi Doukumen, Wawancara, LGD & Essay on the spot)

Proses seleksi dari satu tahap ke tahap lainnya menurut saya cukup cepat. Setelah sekitar dua minggu submit aplikasi online (15 Oktober 2015), pengumuman lulus seleksi administratif disampaikan melalui email masing-masing (check your inbox and spam as well) dan notifikasi via SMS. Alhamdulillah, saya lulus di tahap ini dan bersiap untuk lanjut ke seleksi substansi. Jadwal detail seleksi ini disampaikan ke email, jadi perhatikan baik-baik kapan dan dimana kita seleksi. Setahu saya, seleksi substansi diadakan di berbagai kota besar di Indonesia; Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Saya kedapatan seleksi di UNJ Rawamangun, tidak terlalu jauh dari rumah :).

Ada baiknya kita hadir lebih awal dari jadwal yang ditentukan agar kita bisa cepat beradaptasi dan lebih familiar dengan situasi lokasi ujian, serta hal ini juga bisa mengurangi grogi. Saya ingat, jadwal seleksi saya adalah jam 8 sampai jam 16.30. Walau sudah sering ke UNJ, tapi saya usahakan tetap datang awal untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan kalau datang mepet *terutama karena macet atau hujan deras. Saat sampai di sana, sudah cukup banyak calon awardee yang hadir lebih pagi dan duduk rapi di lobi gedung.

Oya, dalam beberapa kasus, ada yang jadwal seleksinya 2 hari, ada juga yang dalam 1 hari (untuk 4 rangkaian seleksi substansi). Silakan cek jadwal masing-masing. Alhamdulillah seleksi saya dilakukan dalam satu hari penuh, jadi tidak perlu repot bolak balik. Jadwal seleksi yang saya dapatkan adalah essay on the spot (30 menit) terlebih dahulu, kemudian diikuti oleh leaderless group discussion/ LGD (30 menit juga). Setelah itu verifikasi dokumen. Baru kemudian setelah verifikasi dokumen beres, baru bisa mengikuti seleksi wawancara.

Essay on the Spot

Seperti namanya, seleksi ini adalah menulis esai berbahasa Indonesia di tempat. Tes yang ini relatif baru diadakan (untuk beberapa batch terakhir). Waktu yang diberikan untuk membaca soal, menulis hingga menyelesaikan esai adalah 30 menit. Ada dua soal, dan kita diminta untuk memilih salah satunya. Soal yang diberikan berupa opini/ pendapat kita terhadap suatu kasus/ permasalahan yang sedang marak diperbincangkan di tanah air beberapa waktu terakhir, serta penjelasan alasan mengapa.

Saran saya, cobalah untuk mengikuti berita yang menjadi isu utama (headline) dan pembahasannya baik di media elektronik maupun media cetak/ online). Alhamdulillah, saya banyak terbantu dalam mengerjakan seleksi esai ini karena rajin menonton dan mengikuti diskusi topik dari news channel (Metr* TV dan TV On*) setiap pagi dan petangnya. Saran lainnya, jangan lupa untuk menyiapkan alat tulis yang lengkap sendiri-sendiri (usahakan menghindari saling pinjam), seperti: bolpen + cadangan, tip ex, dan alat tulis lain sesuai keperluan.

Untuk postingan terkait LGD, Verifikasi Dokumen dan Wawancara, mohon ditunggu di postingan berikutnya yaaak XD. To be continued….

 


[Share] Seleksi Beasiswa LPDP Part 3: LGD

$
0
0

Dalam postingan ini, saya akan lanjutkan bahasan tentang pengalaman proses LGD. Sedangkan untuk verifikasi dokumen dan wawancara, karena cukup panjang ceritanya, akan saya sampaikan di postingan berikutnya yaaa :D

Leaderless Group Discussion (LGD)

LGD ini dilakukan secara berkelompok, terdiri dari 6-10 orang. Saat saya ikut seleksi beasiswa tesis LPDP (tahun 2013), kelompok saya terdiri dari 6 orang. Sedangkan saat seleksi beasiswa S3 LPDP tahun 2015 lalu, kelompok saya ada 10 orang dengan latar belakang ilmu dan tujuan kampus/ negara + jenjang yang berbeda-beda. Semua jurusan digabung, tidak dibedakan hanya sosial saja atau eksak/ sains saja. Jadi, don’t worry :)

Dalam sebuah ruangan khusus, 10 peserta akan duduk melingkar dengan membawa name tag masing-masing di meja. Hal ini untuk memudahkan peserta lain dan pengamat untuk mengetahui siapa nama yang berbicara. Oh ya, akan ada 2 orang pengamat yang bertugas untuk mengamati dan mereka tidak akan mengintervensi jalannya diskusi.

business-communications-icebreaker-3

Waktu yang diberikan untuk diskusi yaitu selama 30 menit. Sebelum dimulai, pengamat psikolog yang berjumlah 2 orang akan memberikan soal dan 1 lembar kertas kosong ke masing-masing peserta. Alat tulis disiapkan sendiri oleh peserta. Kemudian, proses LGD dimulai. Selama 5 menit pertama, kita perlu mempelajari soal LGD yang diberikan dan menuliskan kerangka pendapat. Isunya mostly terkait hal-hal yang sedang ramai dibicarakan di masyarakat, terutama terkait kebijakan pemerintah. Mungkin topik diskusinya akan sangat “sosial” sekali, sehingga dalam beberapa kasus, teman-teman dari dunia eksak perlu usaha yang lebih untuk familiar dengan topiknya. Tapi jangan lengah juga untuk teman-teman dari dunia sosial humaniora, harus tetap update dengan isu terkini.

Kasus yang dibahas di kelompok LGD saya yaitu tentang kebijakan pemerintah dalam memberikan sanksi tambahan terhadap pelaku kejahatan seksual pada anak. Waktu itu memang sedang hangat-hangatnya kasus pelecehan dan pembunuhan anak, sehingga ada masukan tambahan sanksi berupa pengebirian.  Bagaimana pendapat kita, setuju atau tidak dan bagaimana rekomendasi kebijakan tersebut.

Kemudian, selama 25 menit kemudian peserta diminta untuk berdiskusi. Jalan dan alur diskusi diserahkan sepenuhnya kepada peserta, jadi pengamat tidak akan menyela prosesnya (hanya mengingatkan waktu jika sudah mau habis). Terserah siapa yang mau memulai terlebih dahulu, inisiatif dari masing-masing peserta.

Dalam beberapa kasus, saya pernah mendengar bahwa ada beberapa kelompok yang sebelum diskusi dimulai, melakukan pembagian tugas (siapa menjadi apa: moderator/ notulen, dll) dalam diskusi. Namun, pengalaman saya kemarin, kelompok saya tidak melakukan pembagian tugas apapun. Mengalir begitu saja diskusinya.

Fyi, LGD berbeda dengan FGD (focus group discussion). LGD digunakan untuk mengamati perilaku seseorang, sedangkan FGD digunakan untuk mengumpulkan data. Diskusi ini disebut leaderless karena tidak ada kesepakatan sebelumnya mengenai siapa yang menjadi moderator, pemimpin dan sebagainya. Hal ini untuk menunjukkan bahwa semuanya dalam posisi yang sama [*]. Yang terpenting dalam LGD ini, tidak ada orang yang mendominasi dan tidak ada yang tidak kebagian berbicara.

Selain itu, LGD lebih menitikberatkan pada perilaku tampak, atau yang ditampakkan, atau yang diharapkan ditampakkan selama proses diskusi [*]. Maka, tindak tanduk tiap peserta akan diamati selama proses diskusi oleh 2 orang pengamat tadi. Saat jalannya diskusi, akan tampak siapa yang mendominasi, siapa yang pasif, bagaimana cara berbicara, cara menyampaikan persetujuan/ tidak, dan apresiasi terhadap peserta lain.

discuss

Oya, bahasa yang digunakan saat kami seleksi LGD dulu (Batch IV 2015) dilakukan dalam bahasa Indonesia. Saya dengar ada update terbaru bahwa ada kemungkinan untuk peserta yang negara tujuan studinya di luar negeri, beberapa proses seleksi akan dilakukan dalam fully bahasa Inggris (termasuk seleksi essay on the spot dan wawancara).Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan peserta dan merasakan bagaimana suasana diskusi saat studi nanti (which is dalam bidang sosial humaniora pasti akan sering dilakukan). But, perlu dipastikan lagi pada teman-teman yang seleksi di batch setelah saya ^^”

Berikut beberapa masukan/ tips saat LGD a la saya:

  1. Sebelum hari H seleksi LGD dimulai, minimal H-7 hari, biasakan untuk menonton/ membaca berita utama (headline news) di berbagai media cetak, elektronik atau online. Silakan sesuaikan dengan waktu dan preferensi masing-masing. Kalau yang saya lakukan, sejak 2 minggu sebelum seleksi saya mengikuti diskusi di TV Berita (Metro TV dan TV One). Bukan sekedar tahu beritanya saja, tapi ada baiknya juga ikuti diskusi mendalam yang dibahas di media tersebut. Alhamdulillah, saya sangat terbantu dalam memberikan opini (setuju dan tidak setuju) terhadap isu tersebut.
  2. Setelah sesaat mendapatkan soal, di kertas kosong yang diberikan, dalam 5 menit buatlah kerangka utama dan mind map opini kita terhadap isu tersebut.
  3. Jangan pasif atau terlalu aktif dalam berbicara. Ingat-ingat bahwa dalam LGD, partisipasi dalam diskusi sangatlah penting. Beranilah berpendapat. Jangan sampai kita hanya menjadi pengamat, tidak menyampaikan apapun, atau hanya mengangguk-angguk saja. Dan jangan juga menjadi pembicara yang terlalu aktif, dalam artian mendominasi seluruh diskusi. Berikan kesempatan kepada teman lain dalam menyampaikan pendapatnya.
  4. Saat proses diskusi, jangan lupa untuk mencatat nama dan poin utama argumen dari peserta lain, hal ini penting untuk membuat argumen kita selanjutnya (setuju atau tidak dengan mereka) dan juga dalam menyusun struktur kesimpulan dari case study yang diberikan
  5. Sampaikan argumen disertai contoh/ fakta/ data dari studi kasus serupa di tempat atau negara lain.
  6. Sampaikan pendapat dengan runtut, jelas dan terstruktur.  Logika dan jawaban kita memang akan mendapat nilai, namun nilai tertinggi tetap pada bagaimana cara kita menyampaikan logika dan alur berpikir tersebut pada orang lain [*].
  7. Tidak usah terburu-buru dan emosional (apalagi kalau ada peserta lain yang “menyerang” pendapat). Orang yang sangat pandai, tapi cara menyampaikan idenya tidak karuan, tetap nilai amatannya akan jelek [*].
  8. Rangkum/ summarize pendapat peserta lain. Berbicara terlalu sedikit akan dinilai sebagai bebek pengikut, berbicara terlalu banyak akan dinilai sebagai otoriter yang dominan. Titik temunya adalah meringkas berbagai pendapat yang muncul, entah hasil pendapat pribadi atau pendapat beberapa rekan (di sini pentingnya mencatat poin penting peserta lain). Tidak perlu menjadi seorang pemimpin diskusi untuk meringkas pendapat orang lain [*]. Ketika meringkas, menemukan kesamaan pandang dalam dua pendapat yang berbeda, adalah celah yang dapat dimanfaatkan. Kita dapat menanyakan pendapat dari rekan yang cenderung diam. Hal ini akan menunjukkan kita memiliki kepekaan terhadap orang lain [*].
  9. Rileks dan jangan lupa untuk senyum. Hal ini akan sangat membantu diri sendiri dalam proses diskusi dan menunjukkan ketenangan dalam berpikir :D
  10. Catat hasil diskusi dan kesimpulan. Walaupun tidak ada tugas khusus sebagai notulen, namun ada baiknya setiap kita mencatatnya di kertas masing-masing. Di satu sisi hal ini akan membantu proses pemahaman esensi diskusi, selain itu juga karena kertas notulen yang kita buat dikumpulkan saat diskusi sudah selesai.
  11. Jangan lupa etika dalam diskusi. Etika yang dimaksud adalah tidak menyela pembicaraan, menggunakan bahasa yang sopan, dan menyampaikan persetujuan/ tidak setuju dengan cara yang baik (maksudnya tidak menjatuhkan atau menjelek-jelekkan peserta lain ketika kita tidak setuju)

***

Satu hal yang perlu dipahami, bahwa esensi dari LGD ini bukan hanya untuk keperluan seleksi beasiswa LPDP saja, tetapi menurut saya kita jadi bisa merasakan bagaimana ketika berkuliah atau bekerja nanti kita dihadapkan hal yang serupa. Saat bekerja/ belajar dalam satu tim (team work), diskusi akan sering dilakukan dan kita dituntut untuk menemukan solusi dari permasalahan bersama untuk mencapai tujuan. Maka dari itu, tips-tips di atas tidak semata-mata “settingan” karena hendak seleksi beasiswa saja. Tapi ada baiknya untuk diterapkan setiap kali kita melakukan diskusi.

Just my two cents. Sekian.

Referensi:

[*] Menembus Seleksi Diskusi: http://lantai-13.blogspot.co.id/2013/01/menembus-seleksi-diskusi.html


[Story] Islam di Kota Judi, Macau

$
0
0

Prolog

Tulisan ini saya buat untuk Rubrik Ufuk Luar, Majalah Ummi tahun 2014 (*persisnya saya lupa edisi ke berapa ^^”). Sedikit latar belakang penulisan kisahnya, pada Maret 2014 saya berkunjung ke Hong Kong untuk mengikuti international conference yang diadakan di Hong Kong University.

Rasanya tanggung kalau sudah ke Hong Kong, tapi ndak mampir ke Macau. Akhirnya, saya bersama dua orang teman saya (Mb Dina dan Mb Meikha) melakukan short trip ke sana (less then 8 hours). Walaupun singkat, namun senang masih bisa berkunjung ke satu-satunya masjid yang ada di sana, dan bertemu dengan para pahlawan devisa dari negeri kita. Selamat membaca :)

***

Cahaya Islam dari Kota Judi, Macau

Oleh: Retno Widyastuti

Di negara yang terkenal dengan dunia hiburan dan perjudian resminya, cahaya Islam memancar, ditandai dengan adanya masjid dan kompleks pemakaman Muslim.

Macau merupakan wilayah khusus Republik Rakyat Cina yang lokasinya berada di sebelah barat daya Hongkong dan propinsi Guangzhou. Saat pertama menginjakkan kaki ke kota ini yang terbayang dalam benak saya adalah reruntuhan gereja kuno dan kasino yang penuh sesak dengan turis asing.

Sama sekali tidak terbersit di pikiran saya, bahwa daerah yang pernah menjadi koloni bangsa Portugis sejak pertengahan abad 16 sampai tahun 1999 ini, juga memiliki masjid dan komunitas Muslim. Saya baru tersadar saat melihat peta wisata Macau di dekat Ruins of Saint Paul. Di situ tertulis Mesquita e Cemeterio Islamico (Bahasa Portugis yang berarti masjid dan kompleks pemakaman Muslim).

Saya pun bergegas mencari taksi untuk pergi ke masjid tersebut. Namun, karena sebagian besar pengemudi hanya bisa berbahasa Kanton dan sedikit bahasa Mandarin Putonghua, akhirnya komunikasi pun dilakukan dengan terbata-bata. Selain karena masalah bahasa, memang, keberadaan masjid ini tak banyak diketahui masyarakat Macau secara umum.

Islam di Macau

Islam termasuk merupakan agama minoritas di wilayah Macau. Jumlah Muslim asli Macau diperkirakan hanya 400 orang saja. Menilik sejarahnya, Islam hadir di Macau melalui beberapa gelombang. Pertama, para pedagang asal Timur Tengah dan Persia yang hadir sejak masa Dinasti Yuan hingga Dinasti Qing di China daratan. Gelombang selanjutnya adalah kedatangan Muslim asal Asia Tenggara yang dibawa oleh tentara Portugis.

Pada masa itu, disediakanlah kompleks lahan untuk dibangun masjid dan pemakaman bagi para Muslim. Di kompleks tersebut terlihat berbagai macam nisan dengan nama-nama khas Muslim dari berbagai wilayah, lengkap dengan angka tahun dimakamkannya. Beberapa makam tersebut bahkan sudah berumur ratusan tahun.

Gejolak perang sipil yang terjadi di China daratan pada tahun 1949, menyebabkan banyak Muslim China Hui yang melarikan diri dari China menuju Taiwan dan Macau-Portugis. Jumlah Muslim di Macau juga bertambah signifikan semenjak datangnya pekerja asing ke Hong Kong dan Macau yang berasal dari negara-negara Islam dan mayoritas Muslim seperti Indonesia, Bangladesh, India dan Pakistan. Saat ini jumlah total Muslim di Macau diperkirakan mencapai lebih dari 8.000 orang.

Masjid dan Kegiatan BMI Macau

Hanya ada satu masjid di wilayah yang penuh dengan bangunan bergaya Eropa dan Portugis ini, yang dikenal sebagai Masjid Macau. Letaknya cukup strategis, berdekatan dengan Macau Ferry Port yang menjadi gerbang kelur masuk Macau melalui jalur laut. Beralamat di Ramal Dos Moros, selain menjadi tempat ibadah, masjid ini juga menjadi kantor Islamic Association dan Muslim Community Centre.

001   1-Main_Entrance

Gerbang masjid Macau ini bergaya Pakistan- India, mirip dengan masjid Little India di Singapura dan Malaysia. Ada dua bangunan berbentuk kotak; yang pertama adalah gedung untuk kantor pengurus masjid dan yang kedua adalah bangunan untuk shalat. Ukurannya hanya sekitar 3 x 3 meter, sekilas lebih mirip mushola seperti yang ada di tanah air. Karena berbagai keterbatasan, jamaah wanita melakukan shalat di bagian belakang gedung masjid dengan beralaskan karpet dan beratapkan tenda.

Kondisi masjid yang serba terbatas tidak mengurangi kekhidmatan para Muslimah asal Indonesia yang sedang mengadakan pengajian rutin pekanan tiap Ahad di sana. Para Buruh Migran Indonesia (BMI) tersebut tampak giat dan semangat menuntut ilmu agama serta belajar membaca Al-Qur’an.

“Justru suasana seperti ini lebih enak, seperti di kampung saya”, tutur Titik, BMI asal Ponorogo yang telah berada di Macau sejak tahun 2006. Menurut Titik, mayoritas pekerja yang ada di Macau pada mulanya ditempatkan di Hong Kong. Perkembangan Macau yang diiringi dengan besarnya kebutuhan akan tenaga kerja dianggap sebagai peluang menarik bagi agen pekerja yang menaungi para BMI Hongkong tersebut. Alhasil, para pekerja yang mayoritas berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah dan JawaTimur tersebut, dipindahkan ke sana.

“Kehidupan di sini lebih baik dibandingkan dengan Hongkong. Walaupun penghasilan kami lebih sedikit, namun sikap orang-orang di Macau jauh lebih baik. Kami juga mendapat kebebasan untuk beraktivitas di luar rumah, termasuk mengikuti pengajian rutin. Beberapa teman BMI bahkan berkesempatan untuk menempuh pendidikan di tingkat universitas,” papar perempuan yang menjadi pengurus aktif organisasi pengajian BMI ini.

Toleransi dan Tantangan Beribadah

Meski mayoritas penduduk Macau beragama Budha, namun toleransi beragama tercipta dengan baik di sini. Jarang ada diskriminasi terhadap perempuan berjilbab dan para pekerja mendapat kesempatan yang cukup untuk beribadah. Namun, masih umum ditemui ekspresi keheranan penduduk setempat saat menemui Muslim yang tidak makan babi atau sedang menjalankan ibadah puasa.

“Kamu akan mati kalau tidak makan,” komentar seorang pekerja laki-laki pada Yuli, pekerja dari Indonesia.

“Saya sudah melakukannya sejak kecil, dan kamu lihat, saya masih hidup sampai sekarang,” jawab Yuli sambil terkikik geli.

Meski begitu di beberapa tempat masih ada kaum Muslim yang mengalami kendala dalam menjalankan shalat. Hal ini terjadi karena waktu istirahat yang diberikan perusahaan tidak bertepatan dengan waktu shalat. Sementara mereka dilarang izin shalat di tengah jam kerja. Menghadapi kondisi ini, banyak pekerja yang menjamak waktu shalat. Sebagian lalu mencari pekerjaan lain yang memungkinkan mereka untuk menjalankan ibadah.

***


Viewing all 257 articles
Browse latest View live