Quantcast
Channel: Sunu Family
Viewing all 257 articles
Browse latest View live

[Share] Aplikasi Visa Jerman: Family Reunion

$
0
0

Alhamdulillah, setelah perjuangan yang mengharu biru, akhirnya suami dan anak saya sudah mengajukan visa family reunion ke Jerman pada Selasa, 1 Agustus 2017 kemarin. Proses untuk bisa memenuhi persyaratan visa ini cukup panjang, terutama karena kami baru mendapatkan kontrak sewa apartemen (mietvertrag) pada 28 Juli 2017.

Kami pun terpaksa mengubah jadwal pengajuan visa 3x karena saat itu belum juga berhasil mendapatkan mietvertrag tersebut. Belum lagi deg-degan tidak dapat termin karena bulan Agustus-September biasanya adalah peak-season nya kedutaan Jerman karena musim liburan serta persiapan sebelum mahasiswa mulai studi. Namun, Allah sungguh luar biasa memberikan kekuatan dan kemudahan dalam perjuangan kami.

Di dalam postingan ini, saya hendak berbagi pengalaman bagaimana mengurus visa family reunion (kumpul keluarga) untuk suami dan anak. Adapun visa studi saya, sudah diajukan pada 19 Juli 2017.

Syarat-syarat yang harus dipenuhi, sbb:

I. Membuat Jadwal Termin Kedutaan Jerman di Jakarta

  • Jenis National Visa (Resident Permit) untuk Kumpul Keluarga/ Family Reunion. Perjanjian bisa dibuat di tautan INI.
  • Kita bisa memilih hari dan waktu yang tersedia.
  • Kita bisa membuat termin paling cepat 3 bulan sebelumnya.
  • Termin bisa dibatalkan paling tidak 24 jam sebelum jadwal termin (tautan pembatalan ada di email). Dan setelah dibatalkan, bisa mengajukan lagi jadwal yang lain (dalam kasus urus visa suami dan anak, saya sampai 3x mengubah jadwal karena tak kunjung mendapat apartemen keluarga)
  • Termin paling pagi adalah jam 7.30 dan paling siang jam 11.00.
  • Print email konfirmasi termin

II. Menyiapkan dokumen Visa Kumpul Keluarga

Untuk Suami/ Istri (dibuat 2 rangkap), antara lain:

  1. Foto Biometrik ukuran 3,5 x 4,5 cm sebanyak 2 lembar, background putih/ abu-abu muda (keterangan lengkapnya di SINI). Foto jangan dilem/ ditempel di formulir. Cukup dilampirkan di bagian depan formulir dengan paper clip.
  2. Formulir permohonan visa yang sudah diisi lengkap dan sudah ditandatangani (Unduh di SINI)
  3. Lembar Periksa Perjalanan Pasal 54 dan 55 yang sudah ditandatangani (Unduh di SINI)
  4. Surat Undangan dari Pasangan yang ke Jerman. (Contoh suratnya bisa diunduh di sini: Invitation letter)
  5. Fotokopi bukti Sewa Apartemen Keluarga (mietvertrag)
  6. Terjemahan Akta Nikah dalam Bahasa Jerman
  7. Fotokopi akta nikah yang telah dilegalisir di 3 kementerian dan Kedutaan Jerman
  8. Letter of Acceptance (Surat penerimaan dari kampus)
  9. Letter of Guarantee/ Letter of Scholarship (Surat jaminan finansial) yang menyatakan biaya pertanggungan untuk keluarga (pasangan)
  10. Surat izin dari profesor/ jurusan yang menyatakan boleh membawa keluarga (tambahan untuk penguat dokumen)
  11. Fotokopi Kemampuan Bahasa Jerman Level A1 (Dalam beberapa kasus, bisa diganti dengan fotokopi ijazah S1 dan transkrip nilai yang dilegalisir dalam bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Lengkapnya tentang peraturan bahasa ini, bisa dilihat di sini: Syarat A1 dan Pengecualiannya)
  12. Fotokopi Polis Asuransi Perjalanan (saya dan keluarga menggunakan Mawista karena lebih murah dan mudah pendaftarannya)
  13. Fotokopi Paspor yang masih berlaku minimal 1 tahun dan fotokopi paspor milik pasangan yang ke Jerman. Paspor asli juga harus diserahkan untuk pengecekan dan pemrosesan. Setelah selesai, paspor akan dikembalikan
  14. Uang senilai 60 Euro dalam bentuk rupiah sesuai kurs pada hari itu (usahakan dengan uang pas). Saat suami mengajukan visa, kurs 60 Euro senilai dengan Rp 940.000,-
  • Sebagai penguat aplikasi visa, suami saya menambahkan surat rekomendasi dari mentor orang Jerman dan sertifikat saat suami ikut pelatihan di Jerman.

Untuk Anak (dibuat 2 rangkap), antara lain:

  1. Foto Biometrik ukuran 3,5 x 4,5 cm sebanyak 2 lembar, background putih/ abu-abu muda (keterangan lengkapnya di SINI). Foto jangan dilem/ ditempel di formulir. Cukup dilampirkan di bagian depan formulir dengan paper clip.
  2. Formulir permohonan visa yang sudah diisi lengkap dan sudah ditandatangani oleh kedua orang tua (Unduh di SINI)
  3. Lembar Periksa Perjalanan Pasal 54 dan 55 yang sudah ditandatangani oleh kedua orang tua (Unduh di SINI)
  4. Surat Undangan dari Ibu/ Ayah yang ke Jerman. Contoh suratnya bisa diunduh di sini: Invitation letter)
  5. Fotokopi bukti Sewa Apartemen Keluarga (mietvertrag)
  6. Terjemahan akta kelahiran anak dalam Bahasa Jerman
  7. Fotokopi akta kelahiran anak yang telah dilegalisir di 3 kementerian dan Kedutaan Jerman
  8. Letter of Acceptance (Surat penerimaan dari kampus) milik Ayah/ ibu yang studi di Jerman.
  9. Letter of Guarantee/ Letter of Scholarship (Surat jaminan finansial) yang menyatakan biaya pertanggungan untuk keluarga.
  10. Surat izin dari profesor/ jurusan yang menyatakan boleh membawa keluarga (tambahan untuk penguat dokumen)
  11. Fotokopi Polis Asuransi Perjalanan (saya menggunakan Mawista karena lebih murah dan mudah pendaftarannya)
  12. Fotokopi Paspor yang masih berlaku minimal 1 tahun dan fotokopi paspor milik ayah/ ibu yang studi di Jerman. Paspor asli anak juga harus diserahkan untuk pengecekan dan pemrosesan. Setelah selesai, paspor akan dikembalikan
  13. Uang senilai 30 Euro dalam bentuk rupiah sesuai kurs pada hari itu (usahakan dengan uang pas). Saat mengajukan visa, kurs 30 Euro senilai dengan Rp 470.000,-

Nah, berikut detail proses pengurusannya:

  • Hadir paling lambat 30 menit sebelum jadwal visa/ termin. Saya memilih termin paling pagi (jam 07.30) dan stand by di depan kedutaan Jerman pukul 07.00. Pintu bagian konsuler kedutaan dibuka pukul 07.15.
  • Untuk anak yang masih bayi, tidak harus datang (sebaiknya tidak usah dibawa supaya tidak mengganggu kalau rewel/ menangis).
  • Tunjukkan paspor dan print termin kepada petugas keamanan Kedutaan di pintu masuk.
  • Pengecekan barang dan badan. Untuk alat elektronik (HP, laptop, dll), akan disimpan di loker petugas keamanan dan tidak diperbolehkan dibawa ke dalam kedutaan.
  • Menuju lantai 2 ke bagian pengurusan visa (lewat tangga samping pos petugas keamanan)
  • Tunjukkan paspor dan serahkan print termin kepada satpam di ruang visa. Satpam akan mengecek kesesuaian termin dengan data kedutaan, kemudian baru duduk.
  • Satpam mengarahkan kita untuk menyusun berkas aplikasi visa studi sesuai urutan dokumen dengan arahan kedutaan (seperti list di atas).
  • Dalam menyusun berkas-berkas dokumen, gunakan paper clip saja, jangan di-staples/ hekter dan juga jangan diberi map.
  • Tunggu panggilan petugas loket. Untuk visa resident permit, ada di loket 4.
  • Setelah dipanggil, serahkan dokumen 2 rangkap (dengan urutan dokumen yang sama).
  • Petugas loket akan bertanya perihal keperluan visa, dan juga mengecek kelengkapan dokumen. Contoh pertanyaannya: berapa besaran beasiswa dan family allowance-nya, alamat apartemen keluarganya, dll.
  • Seberapa detail pertanyaannya, tergantung karakter petugas loket yang bertugas. hehehe… Yang penting, jawablah dengan tenang apabila ditanya. Jangan emosi, apalagi ngeyel.
  • Untuk memperkuat jawaban dan argumen, sampaikan berkas-berkas pendukung jika diperlukan.
  • Apabila ada yang kurang sesuai isian formulir atau urutannya, akan diberitahukan petugas loket. Dan apabila ada dokumen yang tidak diperlukan, akan dikembalikan.
  • Pengambilan sidik jari kedua tangan (untuk bayi dan anak yang masih terlalu kecil, tidak perlu pengambilan sidik jari)
  • Jika sudah lengkap, petugas loket akan meminta biaya visa.
  • Setelah itu, dipersilakan duduk sambil menunggu proses visa diselesaikan.
  • Setelah selesai, akan diberikan lembar pengecekan data dan diminta untuk mengisi nama, email, nomor HP dan tanda tangan di lembar pengecekan tersebut.
  • Setelah selesai, kemudian paspor asli dikembalikan beserta kwitansi pembayaran visa. Jangan lupa mengecek kembali paspornya (jangan sampai tertukar)

WAKTU

  • Proses pengurusan visa bergantung ramai atau tidaknya pemohon. Saat saya dan suami ke sana, masuk ruang visa jam 07.30, bertemu petugas loket jam 07.40 untuk penyerahan berkas anak saya. Kemudian, karena pengajuan visanya sekalian untuk suami, jadi berkas anak dan suami diserahkan bersamaan. Selesai proses urus visa jam 08.15.
  • Untuk visa sendiri memerlukan waktu 6 – 8 minggu proses. Berkas akan dikirim langsung ke Imigrasi kota tujuan di Jerman. Apabila sudah 4 minggu, coba tanyakan progress visa via email kedutaan.
  • Jika sudah jadi, pemohon akan dikontak melalui email untuk penempelan visanya. Jangan lupa bawa paspor dan kwitansinya ya.

TIPS

  • Bawalah buku bacaan untuk menunggu giliran panggil visa
  • Lebih enak mengambil termin paling pagi, karena bisa lebih awal dan antrian tidak terlalu banyak
  • Jangan lupa membawa bolpoin sendiri untuk jaga-jaga
  • Bawa semua dokumen/ berkas asli dan juga rangkapan fotokopian dokumen untuk jaga-jaga.
  • Tempat fotokopian letaknya cukup jauh dari Kedutaan Jerman, dan biayanya lebih mahal. Pun kalau terpaksa harus fotokopi, bisa ke Grha Mandiri yang letaknya di seberang belakang Kedutaan.

Begitulah pengalaman aplikasi visa suami dan anak untuk kumpul keluarga. Kalau ada yang hendak ditanyakan, feel free to ask :). Semoga sukses dan lancar 🙂

PS: Visa suami dan anak masih dalam proses. Semoga tidak perlu tambahan dokumen lainnya dan disetujuan permohonan kumpul keluarganya supaya bisa berangkat barengan akhir September nanti. Aamiin yaa Allah. 



[Share] Mencari Family Apartment di Jerman (2)

$
0
0

Setelah bercerita tentang tips dan tahapan mencari wohnung di Jerman dari tanah air, di tulisan ini saya akan berbagi lika liku dan drama dalam pencariannya.

Dalam 6 bulan terakhir, saya telah mengirim (mungkin) ratusan aplikasi ketertarikan wohnung. Ini contoh format aplikasi wohnung (dalam bahasa Jerman) yang saya dapat dari Teh Risma yang sudah diedit oleh native speaker:

Sehr geehrte Damen und Herren,

mein Name ist (nama). Ich bin (umur) Jahre alt und komme aus Indonesien. Ich bin wissenschaftliche Angestellte an der (nama universitas) und schreibe meine Doktorarbeit im (nama jurusan/ institut).

Ich werde in (nama kota) von (bulan tahun mulai studi) bleiben. Ich suche eine Familienwohnung für zwei Personen und ein Baby (umur bayi jahre alt). Ich bin an Ihrer Wohnung interessiert.

Ich habe keine Tiere. Wir sind Nichtraucher und ordentliche Personen. Ich mag Ruhe und feiere keine Parties. 

Ich freue mich auf Ihre Antwort. Danke im Voraus. 

mit freundlichen Grüßen

(Nama)

————————–

Kurang lebih artinya seperti ini:

Dear Sir or Madam,

My name is Retno Widyastuti. I am 30 years old and I come from Indonesia. I am a research assistant at the University of Bonn and I write my dissertation at the Institute of Oriental and Asian Studies.

I will stay in Bonn from Oct 2017. I am looking for a family apartment for two people and a baby (0 years old). I am interested in your apartment.

I have no animals. We are non-smokers and ordinary persons. I like peace and do not celebrate parties.

I look forward to your reply. Thank you in advance.

Best regards,

Retno Widyastuti

——————-

Dari sekian ratus aplikasi tersebut, saya hanya mendapat beberapa belas balasan aplikasi/ email/ telepon yang sebagian besar menolak, dan 7x kesempatan untuk apartment visit
Beberapa alasan penolakan landlord nya sbb:

  1. Wohnung tidak cocok untuk family (walaupun syarat standar jumlah kamar dan luasnya memenuhi). Di sini saya merasa bahwa keputusan cocok atau tidaknya syarat luas dan kamar ditentukan oleh landlord.
  2. Wohnung tidak cocok untuk bayi atau keluarga dengan anak kecil. Misal karena ada tangga, kamar tidak bersekat, kurang luas (yang pertimbangan luas atau tidaknya wohnung sangat subjektif)
  3. Wohnung sudah occupied alias disewa orang lain (kalah cepat).
  4. Wohnung harus disewa dan dibayar per bulan Juli or Agustus walau kita baru memakainya bulan September. It means wohnungnya nganggur 2 bulan. Kalau mau opsi ini, siapkan uang ekstra ya 🙂

Saya paling sering mengalami penolakan nomor 1 & 2. Di samping alasan resmi di atas, kalau menurut teman saya orang Jerman, ada kemungkinan penolakan disebabkan oleh sentimen terhadap orang asing, terutama pasca meningkatnya jumlah imigran/ refugees di Jerman dua tahun terakhir. 

Sulitnya mencari wohnung, tidak hanya saya saja yang merasakan. Berdasarkan riset dan survey online terhadap 4800 mahasiswa yang dilakukan oleh AsTA Bonn (2012) tentang kondisi dan situasi tempat tinggal para mahasiswa di Bonn, sekitar 90% responden menyatakan sulit dan sangat sulit mendapatkan wohnung yang sesuai. 

Mayoritas tawaran wohnung yang ada, memberikan tarif sewa yang tinggi, masih diperlukannya renovasi wohnung yang juga memerlukan biaya, atau lokasinya jelek (maksudnya jauh dari kampus atau akses ke transportasi/ pasar yang sulit). 

Di sisi lain, housing market di sana cukup ketat, karena banyaknya permintaan tempat tinggal, makelar/ perantara yang menyulitkan, dan landlord yang rempong dan suka minta macem-macem.

Selama dua tahun terakhir, perburuan wohnung semakin sengit, yang bisa dilihat dari peningkatan jumlah landlord yang perlu dihubungi penyewa hingga akhirnya berhasil. Sekitar 30% responden mengatakan mereka perlu mengontak setidaknya 20 landlord. Saya pribadi, harus mengirimkan ratusan email aplikasi dan berkomunikasi dengan lebih dari 50 landlord ^^”.

Untuk mengetahui laporan riset dan survey ini secara lengkap, bisa membaca di tautan ini (dalam bahasa Jerman).

Paparan hasil temuan survey di atas, saya alami dan rasakan juga. Terutama saat proses mengontak landlord dan apartment visit. 

Adapun pengalaman dalam apartment visit yang alami, sbb:

  1. Visit pertama: wohnung cukup oke, tapi landlord meminta bayaran per Juli walaupun baru dipakai bulan September. Sayangnya kondisi keuangan kami belum memungkinkan.
  2. Visit kedua: kondisi wohnung agak kotor, spooky dan berada di basement (minim cahaya dan sirkulasi udara) sehingga kurang baik untuk kesehatan bayi. Selain itu, landlord meminta bayaran sewa yang cukup tinggi untuk kondisi dan fasilitas wohnung yang kurang memadai. Biaya sewanya tidak sesuai dengan yang tertera di iklan.
  3. Visit ketiga: saat visit, orang yang saya kontak tidak datang di waktu yang telah dijanjikan. Ternyata saat dikonfirmasi, ybs bukan landlord melainkan penyewa sebelumnya. Saat dikontak lagi, ybs tidak membalas.
  4. Visit keempat: wohnung cukup oke untuk keluarga. Tapi proses negosiasi dilakukan dengan perantara, bukan dengan landlordnya langsung. Yang ini cukup alot karena mereka meminta berbagai dokumen tambahan yang mustahil didapatkan, seperti surat jaminan dari KBRI Berlin. Selain itu, mereka meminta deposit 3x sewa (ini normal) + 4x sewa (ini yang abnormal) sebagai pengganti surat jaminan. Besaran depositnya saja, total mencapai 4900 Euro, yang impossible buat keuangan kami. Kemudian ini jadi dasar kecurigaan kami kalau ada “permainan” yang dilakukan oleh perantara tersebut.
  5. Visit kelima: kami kalah cepat, karena saat apartment visit berlangsung di pagi hari, landlord berkata bahwa wohnungnya baru saja laku pada malam sebelumnya.
  6. Visit keenam: Untuk wohnung ini, cukup oke dan landlordnya baik hati, namun karena masalah birokrasi (perlu kontrak wohnung segera) dan komunikasi dengan landlord harus via telepon dan kontrak dikirim via pos which takes time, akhirnya terpaksa dibatalkan. Deadline termin visa suami dan anak sangat mepet. Terlebih di waktu peak season (Juli dan Agustus), sulit mendapat termin yang baru di Kedutaan.
  7. Visit ketujuh: Alhamdulillah, ini adalah visit terakhir dan kami akhirnya mendapat kontrak wohnung. Landlordnya sangat baik hati, fast response via email, sopan dan bisa bahasa Inggris. Awalnya sempat curiga karena beliau langsung memberikan draft kontrak, padahal belum melakukan apartment visit. Memang perlu hati-hati, karena kasus penipuan berkedok meminta bayaran deposit wohnung cukup banyak terjadi di Jerman. Alhamdulillah kecurigaan tidak terbukti setelah visit. Walaupun cukup mahal, tapi Alhamdulillah masih bisa kami usahakan.

Drama nangis-nangis biasanya terjadi karena ekspektasi/ harapan yang berlebih, ditambah rasa panik karena jadwal visa + keberangkatan yang mepet, plus rasa baper emak-emak yang membayangkan harus meninggalkan bayi dan suami di tanah air.

Tapi dari pengalaman ini saya sungguh bersyukur karena saya:

  • Diingatkan oleh-Nya untuk hanya bergantung dan menaruh segala harap pada-Nya semata. 
  • Belajar untuk mengelola harapan. 
  • Belajar untuk sabar dalam mencari rezeki wohnung, yang mirip-mirip seperti mencari jodoh; tepat kriterianya, tepat waktunya, tepat landlordnya, tepat kondisi keuangannya, dan menerima kenyataan bahwa tidak ada wohnung yang sempurna.
  • Bersyukur karena Dia mempertemukan kami dengan orang-orang yang baik hati dan senantiasa memberi semangat serta bantuan (special thanks untuk Abel, mas Ardhy dan keluarga Formal Jerman).

Begitulah cerita lika liku dalam mencari wohnung keluarga di Jerman dari tanah air. Semoga bisa menjadi gambaran untuk teman-teman seperjuangan :). Feel free to contact apabila mau menanyakan hal detail atau info lainnya :). Selamat berjuang!!


[Share] Persiapan Keberangkatan ke Jerman: Packing

$
0
0

Alhamdulillah, akhirnya saya sekeluarga bisa tiba di Bonn dengan selamat pada 7 Oktober 2017. Walau sudah dipersiapkan sejak berbulan-bulan yang lalu, keberangkatan kami ke Jerman ini bisa dikatakan cukup mendadak dikarenakan visa suami dan anak baru terbit menjelang jadwal kegiatan perkuliahan dimulai. Hal ini tentu berdampak pada rencana keberangkatan. Dari yang seharusnya tanggal 23 September, menjadi tanggal 6 Oktober 2017. Ini berarti kami hanya memiliki satu minggu persiapan dan finalisasi packing serta urusan-urusan lain sebelum berangkat.

Jika ditanya mengapa tidak disiapkan sejak jauh-jauh hari? Sudah. Tapi untuk memastikan apakah suami dan anak bisa berangkat bareng, kami harus menunggu keluarnya visa. Saya pribadi sudah menyiapkan barang bawaan sejak sebulan sebelumnya (visa saya terbit 25 Agustus).

Bagaimanapun siapnya, H-1 sebelum keberangkatan somehow kita masih harus bongkar pasang barang bawaan untuk memastikan mana barang-barang yang prioritas, yang juga sesuai dengan kapasitas bagasi yang didapatkan dari maskapai. Banyak printilan dan detail yang tidak boleh ketinggalan. Terlebih, barang-barang milik Zahra, walau kecil-kecil, tapi sangat banyak jenisnya.

Dari pengalaman ini, saya hendak berbagi cerita dan tips, apa saja yang perlu dibawa dan disiapkan sebelum berangkat terutama jika berangkatnya boyongan dengan pasangan dan anak.

  1. Pastikan Berapa Fasilitas Bagasi + Bawaan Kabin dan Ketentuannya dari Maskapai

Sebelum packing, pastikan berapa total berat dan jumlah tas/ koper yang diberikan gratis oleh maskapai. Jangan sampai saat di bandara kita harus membayar kelebihan barang bawaan.

Saat berangkat, saya menggunakan Turkish Airlines. Untuk kapasitas bagasinya sebagai berikut:

  • Bagasi : per orang dewasa seberat 30 kg. Untuk bayi/ infant sebesar 10 kg + 1 stroller
  • Kabin : per orang dewasa 1 tas kabin seberat 8 kg, dan 1 tas personal berukuran kecil

Untuk pengalaman kami, total berat bagasi yang bisa dibawa seberat 30 kg + 30 kg + 10 kg + 1 stroller plus kabin 8 kg + 8 kg + 3 hand carry, yang dikemas dalam 6 jenis tas/ koper di bagasi plus 5 tas di kabin (hahaha… mau pindahan rumah XD).

Terkait ketentuan dari Turkish Airlines, tiap barang di bagasi jika dimungkinkan maksimal beratnya 23 kg per piece agar tidak menyulitkan petugas yang mengangkat-angkat barang.

  1. Buat Daftar Barang Bawaan

Membuat daftar barang bawaan sifatnya wajib. Terutama karena terlalu banyak printilan keperluan, terutama buat si dedek bayi. Saran saya, buat daftar sedetail mungkin (nama barang dan jumlahnya).

Daftar bawaan ini dibagi menjadi beberapa bagian:

  1. Pakaian
  2. Alat Mandi
  3. Elektronik
  4. Alat makan dan dapur
  5. Bumbu dan makanan
  6. Obat-obatan
  7. Peralatan Bayi

Walaupun beberapa barang bisa dibeli di kota tujuan, tapi tetap saja ada hal-hal yang tidak bisa kita dapatkan dengan mudah. Misalnya: obat-obatan. Dari informasi yang saya dapatkan dari teman-teman di Jerman, obat-obatan tidak dijual sebebas di tanah air, dan ada prosedur yang cukup panjang untuk bisa berobat. Apalagi ada obat yang biasa dipakai kita, yang belum tentu cocok jika mengganti merk/ jenisnya, contohnya kalau saya balsem dan minyak kayu putih.

3. Gunakan Plastik Vacuum

Untuk memudahkan packing, suami mendapat tips dari teman untuk menggunakan plastik vacuum agar ruangan di koper bisa lebih banyak. Plastik vacuum ini bisa dibeli secara online atau di toko-toko perlengkapan seperti IKEA atau ACE Hardware. Ada beberapa ukuran plastik vacuum, disesuaikan saja ukurannya dengan ukuran koper kita.

977635_A1_V5
Sumber: Google

4. Timbang Barang Bawaan

Menimbang barang bawaan baik untuk bagasi maupun di kabin hukumnya wajib supaya saat check in di bandara kita tidak perlu kelabakan bongkar pasang bagasi karena kelebihan muatan. Kalau ada modal lebih, bisa saja membayar kelebihan bagasinya. Tapi berhubung biasanya mahal, lebih baik dihitung secara cermat berat bawaannya :D.

Untuk menimbang, bisa menggunakan timbangan gantung khusus untuk traveling yang bisa dibeli secara online atau di toko-toko (saya beli di Ace Hardware). Bisa juga sih pakai timbangan badan, tapi agak repot kalau angka di timbangannya tertutup kopernya  :D.

254575_luggage-scale-electronic-slv-50kg-el10_1
Timbangan Koper. Sumber: Ace Hardware

Jangan lupa beri selisih 1-2 kg, karena biasanya ada perbedaan berat saat ditimbang di rumah dengan di bandara. Saat di rumah, total berat barang kami sekitar 70 kg, tapi saat di bandara ada kelebihan sekitar 3 kg. Alhamdulillah, oleh petugasnya masih diberikan toleransi sehingga tidak perlu bayar kelebihannya

5. Pembagian Barang ke Koper

Saat packing, bagi rata jenis barang ke beberapa koper agar beratnya merata. Hal ini juga sebagai antisipasi jika ada pemeriksaan di bea cukai bandara asal/ tujuan dan antisipasi kalau ada bagasi yang hilang/ tersesat (semoga tidak).

Sementara itu dulu tips persiapan packingnya 🙂

[Story] 48 Jam di Ruang Bersalin

$
0
0

Tiap ibu memiliki kisah tersendiri mengenai bagaimana buah hatinya bisa lahir ke dunia. Tulisan ini dibuat dalam rangka mengingat kembali memori setahun yang lalu. Salah satu momen paling berkesan bagi kami.  Ini adalah cerita bagaimana proses Zahra hadir di tengah kami. 

13 Desember 2016 pukul 14.00 menjadi hari penting bagi saya dan suami karena perjuangan selama 48 jam ke depan di ruang bersalin dimulai. Hal ini bermula dari konsultasi akhir dengan dokter kandungan saat kehamilan saya memasuki minggu ke-37. 

Pemeriksaan kandungan semakin intensif dilakukan mengingat Hari Perkiraan Lahir (HPL) semakin dekat. Terlebih saat beberapa pemeriksaan terakhir, kondisi fisik saya semakin mengkhawatirkan karena tekanan darah terus tinggi dan kadar protein dalam urin menunjukkan tanda positif satu. Ini adalah gejala pre-eklamsia.

“Ini berbahaya bagi ibu dan calon bayi”, kata dokter.

Sedari awal kehamilan, saya begitu menginginkan bisa melahirkan dengan proses normal. Oleh karenanya, segala upaya dilakukan mulai dari ikut senam hamil, menjaga makan dan makanan, rutin jalan kaki, dan komunikasi dengan calon debay untuk bantu ibundanya lahiran normal. Tapi saya diingatkan oleh teman, yang terpenting adalah keselamatan ibu dan bayi.

Salah satu kekhawatiran terbesar bagi saya untuk lahiran non-normal (dalam hal ini operasi caesar/ CS) adalah masalah biaya yang sangat besar. Untuk kondisi keuangan kami saat itu, CS bukan jadi opsi. Namun, yang harus kami ingat adalah apapun rencana-Nya, pasti yang terbaik. Rezeki datangnya dari arah yang tak disangka-sangka.

Sampai HPL, saya masih belum merasakan tanda mulas atau kontraksi apapun. Berdasarkan cerita dari teman-teman, salah satu resiko jika kehamilan lebih dari HPL adalah volume ketuban yang semakin sedikit, menghijau dan rentan meracuni bayi. 

Agar resiko bagi ibu dan calon bayi bisa diminimalisir, dengan tetap mengikhtiarkan lahiran normal, maka saya disarankan untuk mulai dirawat inap per tanggal 13 Desember 2016 (HPL tanggal 12 Desember 2016) dan proses induksi melalui cairan infus dimulai.

Proses induksi yang membantu merangsang kontraksi bukaan jalan lahir bagi tiap ibu berbeda. Menurut ibu bidan dan dokter, proses induksi bervariasi mulai dari hitungan jam, hingga paling lama adalah 2 x 24 jam.

Saya diinduksi di ruangan bersalin yang terdiri dari 6 bed dengan korden sebagai sekat antar bed-nya. Saya terbaring dengan infus terpasang, sambil mendengar dan melihat segala peristiwa yang terjadi di ruang bersalin. Di satu sisi, saya merasa jadi sangat khawatir dan deg-degan dengan proses persalinan saya sendiri. Tapi di sisi lain saya juga penasaran dengan bagaimana proses seorang ibu melahirkan. Maka, walau saya ditawari untuk pindah ke kamar rawat, saya tetap memilih untuk tinggal di ruang bersalin.

Untuk proses saya, diperlukan waktu 2 x 24 jam induksi infus. It means, saya punya kesempatan melihat dan mendengar langsung beberapa proses melahirkan. 

Sebagai seorang yang suka dengan observasi lapangan, maka kesempatan 48 jam tersebut saya gunakan untuk belajar langsung dari proses yang dijalani orang lain.

Entah berapa pastinya jumlah ibu yang keluar masuk ke ruang bersalin untuk proses melahirkan. Yang saya ingat, ada yang melahirkan dengan cepat, anggun dan tenang. Ada yang teriak-teriak dengan menyebutkan segala kata yang harus disensor, ada yang prosesnya perlu dengan vacuum, dsb. Selain itu, saya jadi tahu lewat pengamatan, bagaimana kehidupan para bidan dan para dokter kandungan sehari-harinya membantu perjuangan para ibu.

Nah, kembali ke proses lahirannya Zahra.

Sampai pada hari Rabu, 14 Desember 2016 pukul 21.00. Cairan ketuban saya mulai merembes. Ini jadi salah satu tanda proses melahirkan dimulai. Kontraksi yang rasanya sedap-sedap sakit pun dimulai. Rasa nyeri luar biasa, terutama di bagian punggung, saya rasakan hingga malam itu tidak bisa tidur.

Keesokan paginya, Kamis, 15 Desember 2016 pukul 08.00, saat dicek ternyata bukaan lahir baru 2. It’s still a long way to go. Untuk menuju bukaan lengkap 10, tak ada yang bisa memperkirakan berapa lama durasi pastinya. 

Saat itu, ibu yang menemani, bergantian dengan suami saya yang sudah stand by 36 jam lebih. 

MaasyaAllah luar biasa rasanya ketika kontraksi muncul. Saya jadi paham bagaimana perjuangan ibu saat melahirkan saya dulu. Tiap kontraksi datang, saya diingatkan ibu untuk banyak istighfar. Saya merasakan betapa banyak dosa saya pada ibu, sehingga tiap rasa sakit itu muncul saya selalu meminta maaf padanya dan pada Allah.

Pukul 11.30 saat pemeriksaan detak jantung bayi (CTG), saya sudah lemas luar biasa menahan sakit. Dan ternyata, kondisi calon bayi pun semakin melemah. Detak jantungnya melambat tiap kali saya mengalami kontraksi.

Melihat kondisi ini, bidan pun segera melaporkan ke dokter. Pukul 12.30, dokter datang dan mengecek langsung kondisi saya. Saat dicek, ternyata saya masih bukaan 4.

Melihat saya sudah tidak berdaya dan kondisi jantung debay yang melemah, akhirnya diputuskan untuk segera melakukan tindakan darurat. Yup, akhirnya saya akan di CS.

Dengan kesadaran yang tinggal setengah, saya menyerahkan segala keputusan kepada ibu saya yang menemani. Saat itu, suami sedang dalam perjalanan kembali ke RS. Tapi keputusan harus segera diambil. Maka, Ibu menelpon bapak dan suami saya untuk meminta penguatan keputusan. Akhirnya persetujuan untuk CS ditandatangani ibu.

Pukul 14.00. Saya dibawa ke ruangan operasi untuk tindakan darurat. Karena sudah lemas bercampur khawatir dengan kondisi calon bayi, saya sudah tidak lagi memikirkan masalah biaya, resiko, atau membayangkan betapa ngerinya operasi CS. Allah pasti memberikan jalan terbaik bagi kami.

“Bismillah… Yang penting anak saya selamat”, pikir saya saat itu.

Pukul 14.45, saya mulai dibius setengah badan. Ternyata begitu ya rasanya dibius. Mulai dari pinggang hingga ujung kaki mati rasa. Dingin. Tapi saya tetap sadar, bisa mendengar dan melihat, namun sudah terlalu lemah untuk bisa berkata-kata. Saya merasakan bagaimana tim dokter dan bidan menangani proses operasi saya. Alhamdulillah bu dokter sudah sangat berpengalaman, dan sambil proses operasi, beliau selalu berbicara dan menenangkan saya.

Akhirnya, setelah pisau dan alat bedah lain memainkan perannya, bu dokter pun berhasil menarik keluar sang bayi. Alhamdulillah. Zahra lahir ke dunia. Pukul 15.03, Kamis 15 Desember 2016.

Saya yang setengah sadar tadi langsung menangis saat mendengar tangisan pertama Zahra. Segala puji bagi Allah…. Zahra pun didekatkan ke saya, sambil proses penutupan kembali bekas bedah dilakukan. Kemudian, Zahra diperiksa oleh dokter anak untuk pengecekan pasca lahir.

Alhamdulillah, proses operasi selesai pukul 15.30. Sambil menunggu efek bius habis, kaki saya dihangatkan agar tidak kedinginan.

Di saat yang sama, Zahra kemudian dibawa ke ruang rawat bayi. Di sana, suami saya mengumandangkan adzan di telinganya. Bapak dan ibu saya pun tak henti-hentinya mengucap syukur dan menangis. 

Saya baru kembali dari ruang operasi sekitar pukul 17.00. Dan baru bisa bertemu lagi dengan Zahra keesokan paginya mengingat saya harus memulihkan kondisi pasca operasi.

Yaaa, begitulah cerita singkat proses lahirnya Zahra. 48 jam di ruang bersalin plus beberapa jam di ruang operasi sungguh jadi pengalaman luar biasa buat saya.

Besok, 15 Desember 2017, genap satu tahun keberadaanmu di tengah kami, Nak.

Amalia Azzahra Raditya Sunu. Semoga senantiasa menjadi anak yang sholehah, sehat, cerdas, menyejukkan hati, serta bermanfaat dunia akhirat. aamiin yaa Allah.

1

[Share] Tempat Belanja di Bonn

$
0
0

Sebagai seorang emak-emak, tentunya kondisi perut suami dan anak serta kebutuhan kenyamanan tempat tinggal menjadi prioritas bagi saya. Apalagi dengan kondisi finansial yang mepet-mepet di tanah rantau ini, saya harus putar otak agar kebutuhan dasar manusia bisa selaras dengan kondisi dompet :D.

Untuk itu, di dalam postingan ini saya sampaikan beberapa informasi hasil tanya sana sini dan pengalaman pribadi, seputar tempat membeli kebutuhan sandang, pangan dan papan di Bonn. Semoga info ini bisa bermanfaat terutama buat yang baru saja settlement di Kota Bonn :).

Belanja Harian

Untuk memenuhi kebutuhan harian, belanja bahan makanan mentah/ jadi dan juga shampo sabun dll bisa didapatkan di supermarket berikut ini:

  • Penny Market: Menurut info dari teman-teman saya, Penny cukup lengkap dan harganya cukup murah. Sayangnya jumlah tokonya tidak terlalu banyak. Tapi Alhamdulillah, supermarket terdekat dari apartemen kami adalah Penny ini :D. Sahabat yang selalu kami kunjungan tiap awal pekan
  • Aldi Sud: Aldi ini jumlah tokonya menurut saya paling banyak, hampir ada di berbagai sudut kota Bonn. Barangnya lumayan banyak, harganya standar, yang asyik kadang ada diskon juga. Aldi jadi alternatif buat saya kalau belanja karena ada beberapa barang yang gak ada di Penny, sehingga saya belinya di Aldi ini.
  • Kaufland: Untuk Hypermarket, Kaufland lah juaranya. Hanya ada satu di Bonn, yaitu di Tannenbusch Center. Super lengkap, harga lumayan bersaing (11-12 dengan Aldi). Kelebihan Kaufland adalah karena statusnya sebagai hypermarket, sehingga hampir semua kebutuhan harian ada di sini. Selain itu, yang cukup menarik adalah ada kasir self-service dimana kita sendiri yang men-scan bar-code barang belanjaan dan membayarnya ke mesin.
  • Lidl: Lidl statusnya 11-12 seperti Aldi. Namun jumlahnya tidak sebanyak Aldi. Saya jarang belanja ke sini karena lokasinya agak jauh dari rumah.
  • Edeka: Edeka juga gak jauh berbeda dengan Aldi dan Lidl. Tapi beberapa barang menurut saya harganya lebih mahal. Kalau kata teman, kelebihan Edeka adalah sayur dan buahnya yang fresh.
  • Netto: Netto termasuk supermarket yang murah juga produknya, tapi tidak terlalu signifikan bedanya dengan Penny. Jumlah tokonya agak terbatas. Saya baru sekali belanja di sini karena dari rumah lumayan jauh juga.
  • REWE: Nah, REWE termasuk supermarket “elit” karena biasanya terletak di pusat-pusat perbelanjaan yang lokasinya strategis/ tengah kota. Barang-barangnya high quality, sehingga harganya sebanding dengan kualitasnya 🙂

toko

Oya, perlu diperhatikan bahwa supermarket dan toko di Jerman pada umumnya tutup pada hari Ahad. Selain itu juga jam tutupnya lebih awal dibandingkan dengan di Indonesia. Jadi baiknya cek dulu jam buka tutup tokonya ya.

Toko Produk Halal

Untuk produk daging, kehalalan mesti jadi prioritas. Mencari toko halal di Jerman umumnya tidaklah susah (masih bisa diakses walau sedikit jauh dari tempat tinggal). Selain itu, harganya juga tidak jauh berbeda dengan yang ada di supermarket umum. Beberapa toko ini menjadi favorit saya dan keluarga untuk belanja produk daging halal dan juga beras plus bumbu-bumbu khas Turki/ Timur Tengah.

  • SES Friesdof: Toko ini yang paling dekat dengan tempat tinggal saya. Toko SES ini lumayan lengkap dan besar. Harga barangnya menurut saya sedikit lebih mahal dibanding toko halal lainnya. Lokasinya lumayan, sekitar 20 menit jalan kaki. Kalau lagi rajin dan pengen olahraga, biasanya kami ke sini.
  • Oba Market – Tannenbusch Center: Ini toko halal paling favorit kami. Akses ke sini lebih mudah (walau jauh), hanya perlu duduk cantik 20 menit tanpa ganti tram dan banyak jalan XD. Selain itu, lokasinya berdekatan dengan Action dan Kaufland. Jadi kami senang ke sini karena one stop di Tannenbusch Center tanpa perlu ke sana sini lagi. Dibanding SES, barangnya lebih sedikit dan tidak terlalu lengkap, tapi cukup sesuai dengan kebutuhan kami. Harganya juga lebih murah. Kadang ada promo ayam dan beras pulen 😀
  • Umit Markt – Rosental: Umit Market jadi alternatif belanja daging halal. Untuk ke sini lumayan agak ribet (baca: malas XD) karena harus ganti tram. Jadi, kalau Umit Markt yang di Rosental kalau pas sekalian ke toko Asia aja. hehehe…. Oya, barangnya cukup banyak tapi tidak sebesar SES. Harganya 11-12 dengan toko halal pada umumnya.

Toko Asia

  • Thai-Viet Asian Markt – Rosental: Toko Asia ini bisa dikatakan paling lengkap untuk ukuran Bonn. Ukuran tokonya tidak terlalu besar, tapi cukup nyaman untuk belanja dan barangnya lengkap. Ada berbagai macam beras, tempe, kangkung segar, lele, bahkan daun jeruk beku XD. Biasanya kalau di sini saya membeli tauge, tepung tapioka, sambal dan kecap ABC, mie instan, kacang tanah dan beberapa bumbu khas Asia. Kalau beras, saya prefer di Oba Markt karena harganya lebih murah.
  • Chana Asian Store – Bad Godesberg: Yang ini bisa jadi alternatif kalau belanja produk Asia. Lokasinya lebih dekat dari rumah, bisa diakses dengan jalan kaki 30 menit (ini juga kalau lagi rajin olahraga XD). Tokonya agak kecil dan sempit, tapi untuk produk lumayan lah, walau gak selengkap Asian Markt di Rosental.
  • Seng Heng Market, Cologne: Kalau mau lebih lengkap dan agak jauhan perginya, bisa ke Seng Heng di Cologne. Ini super lengkap, so far. Tapi ya perlu effort yang lebih besar untuk ke sana. Mampir ke sini kalau pas ke Cologne aja dan nyari sesuatu yang gak ada di Toko Asia Rosental.

Obat, Kosmetik dan Perlengkapan Bayi

  • Drogerie Markt (DM): DM menjadi sahabat yang sering kami kunjungi selain Penny. Biasanya kami ke sini kalau mencari produk-produk bayi seperti susu, jus bayi, bubur dan biskuit bayi, popok dan salep + sabun bayi. Selain itu, produk terkait tubuh manusia lengkap terjual di sini, seperti obat generik, produk kosmetik dan perawatah tubuh, dll. Jumlah tokonya banyak ada di berbagai penjuru Bonn.  Oya, tips penting. Ada apps dari DM yang memberikan kupon-kupon diskon, penting dan sangat membantu bagi emak-emak seperti saya :D. Namanya: Gluckskind

1200px-Dm-drogerie-Logo.svg

Perlengkapan Rumah

  • Action: toko perlengkapan rumah dan alat kantor ini menurut saya adalah yang harganya paling murah dibandingkan yang lain. Tapi harga berbanding lurus dengan kualitas. Buat kami, kualitas barang di sini sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Waktu awal settlement di Bonn, kami memborong berbagai produk rumah seperti tempat cuci piring, sendok, mangkok, pisau, baterai, jam dinding, buku tulis dll. Tokonya ada beberapa di berbagai penjuru Bonn. Barangnya cukup lengkap dan tempatnya nyaman.

o

  • Woolworth (Bad Godesberg): Selain Action, toko perlengkapan rumah dan kantor yang cukup oke adalah Woolworth. Bedanya dengan Action, di Woolworth ada baju-baju yang harganya miring. Kualitas barangnya menurut saya lebih oke dibanding di Action, tapi ini berarti berpengaruh di harga juga. hehehe… So far ada beberapa barang di Action yang gak ada, bisa saya jumpai di sini.

Toko Buku

  • Thalia Bookstore – Zentrum: Thalia adalah toko buku terbesar dan ter”mewah” yang ada di Kota Bonn. Lokasinya juga di pusat keramaian. Saya ke sini mulanya karena mencari kartu pos (saja). Untuk buku, koleksinya sangat banyak, sayangnya dalam bahasa Jerman. hehehe… Untuk buku berbahasa Inggris ada juga, tapi gak banyak (mostly novel/ karya fiksi).
  • Amazon: Amazon bukan toko fisik sih, as you know. Tapi saya biasanya cari buku berbahasa Inggris di Amazon.de. Gak perlu pusing cari kemana-mana, tinggal search and click aja secara online XD.  Semua buku literatur untuk riset, saya beli di sini. Ada opsi buku bekas juga, jadi bisa lebih murah. Yang menarik, dengan jaringan Amazon, kita bisa akses buku murah walau penjualnya di UK bahkan Amerika Serikat sekalipun. Kita cuma perlu nunggu lebih lama aja sampai bukunya sampai ke rumah.

Barang Bekas

  • Flohmarkt: flohmarkt itu mirip-mirip pasar kaget kalau di Indonesia. Flohmarkt biasanya diadakan sebulan sekali. Di Bonn yang terbesar adanya di Rheinaue Park, diadakan hari Sabtu (cek di sini). Ada juga flohmarkt di Tannenbusch Center, diadakan hari Minggu (cek jadwal). Yang dijual ada yang bekas (berkualitas), ada juga yang baru. Barang yang dijual bervariasi mulai dari baju, peralatan rumah tangga, buku, hingga barang antik. Saat ke sana, yang kami beli adalah baju musim dingin, sepatu kets dan karpet kecil. Harganya murah-murah, dan kadang bisa ditawar juga. Hati-hati jangan sampai kalap ya.
  • Toko Secondhand: toko secondhand ada cukup banyak di seputaran Bonn dan Cologne. Yang pernah kami kunjungi adalah Humana Cologne (mostly baju untuk dewasa) dan Lolipop (khusus baju dan mainan bayi/ anak). 
  • eBay Kleinanzeigen (online dan apps playstore): belanja online memang lebih praktis. Kita bisa mencari dan memilih barang dengan jari. Bedanya adalah sebagian besar barang yang kita ingin beli merupakan barang bekas dan harus dijemput sendiri ke tempat penjualnya. Memang agak riweuh kalau harus nyamperin satu per satu ke rumah penjualnya, tapi sebanding dengan harga barang yang murah :). 

    Sementara itu tips singkat berbelanja di Bonn 🙂

    [Share] Berburu Barang di Flohmarkt

    $
    0
    0

    Salah satu hal menarik yang saya temui di Jerman adalah Flohmarkt (flea market/ pasar kaget untuk barang loak/ barang murah). Gambarannya, seperti suasana pasar kaget sunmor UGM Jogja, hanya saja waktunya tidak serutin sunmor (sekali dalam satu bulan saja).

    Pengalaman mengunjungi flohmarkt di Bonn untuk pertama kalinya saya alami dua minggu setelah kedatangan saya di kota kecil ini (sekitar pertengahan Oktober 2017). Flohmarkt yang saya datangi, merupakan yang terbesar skalanya di Bonn dan diadakan untuk terakhir kalinya sebelum musim dingin tiba.

    Saat mengetahui adanya flohmarkt ini (dapat info dari teman sesama Mahasiswa Indonesia di Bonn), saya langsung semangat dan memasukkan agenda kunjungan ke flohmarkt tersebut. Saya dan suami hendak mencari beberapa perlengkapan apartemen, keperluan bayi dan pakaian musim dingin.

    Oya, lokasi flohmarktnya ternyata tak jauh dari apartemen kami. Terletak di Rheinaue Park, jarak yang ditempuk kurang lebih hanya 1.5 km, atau sekitar 20 menit jalan kaki.

    Rheinaue Flohmarkt ini biasanya diadakan 8 kali dalam setahun atau hampir sebulan sekali di hari Sabtu di setiap bulannya. Khususnya selama musim dingin, flohmarkt ditiadakan mengingat suhu udara yang dingin dan kondisi lapak yang di luar ruangan. Untuk mengetahui jadwalnya selama setahun, kita bisa cek di website Rheinaue Flohmarkt.

    Rheinaue merupakan taman kota Bonn yang besar, sehingga bisa dibayangkan seberapa luas, banyak dan besarnya flohmarkt ini. Kegiatan jual beli dimulai pada jam 08.00 sampai 18.00. Tapi, ada juga beberapa pelapak yang membuka lapaknya lebih terlambat atau menutup lebih awal. Jadi, waktu terbaik untuk mengunjunginya adalah saat siang hari (antara jam 11 – 14).

    Ada berbagai lapak dan barang yang dijual, mulai dari makanan, pakaian bekas (paling banyak), peralatan dapur, perlengkapan bayi, hingga benda-benda antik. Harganya pun beragam. Mulai dari 1 euro hingga puluhan euro, tergantung jenis barang dan kualitasnya.

    Btw, walaupun barang yang dijual kebanyakan adalah barang bekas, tapi kualitasnya masih bagus sehingga tetap worthed untuk dibeli. Daripada membeli baru, harganya bisa berkali-kali lipat. Oleh karenanya, opsi beli barang bekas di Rheinaue flohmarkt ini sangat cocok untuk pendatang baru di Bonn yang kondisi keuangannya mepet-mepet seperti saya XD.

    Selamat menikmati flohmarkt dan aktivitas berburu barang kebutuhannya ya 😀

    [Resep] Home-made Teokpokki Halal

    $
    0
    0

    Postingan ini sebagai bentuk menghibur diri sehabis menyesal panjang gara-gara gak teliti en memubadzirkan uang 6 euro

    Bermula dari “tragedi” salah beli bahan-bahan jadi Teokpokki di toko Korea (bahannya mengandung rice wine), saya kemudian melihat-lihat tutorial cara membuat home-made Teokpokki di youtube. Kalau dipikir-pikir, kenapa gak dari dulu nyobain bikinnya XD. Padahal bahan-bahannya gak sulit didapatkan dan semuanya ada di rumah.

    Jadi, sehabis menangis tersedu sedan (*lebay), saya langsung eksekusi membuat teokpokki. Alhamdulillah, dari kesalahan dan kekurang-telitian saya beli bahan makanan, berujung pada “kerajinan” membuat teokpokki sendiri (terharuuuu TT____TT).

    P_20180315_162800
    Ini Teok (rice cake) dan saus instan yang saya beli di Toko Korea. Ternyata ada kandungan alkohol dan rice wine (murni kesalahan saya karena kurang teliti membaca ingredients-nya TT__TT)

    Berikut resep a la Chikupunya’s Kitchen (modifikasi resep dari youtube dan cookpad):

    Bahan-bahan

    Untuk Tteok (Rice Cake):

    • 200 gr tepung beras
    • 1/4 sdt garam
    • 2 sdm minyak wijen
    • 1 sdm minyak sayur
    • Air mendidih secukupnya

    Bahan gochujang (saus pedas):

    • 2 siung bawang putih (haluskan)
    • 1 siung bawang merah (haluskan)
    • 2 siung bawang bombay ukuran sedang, cincang
    • 2 buah paprika merah (haluskan)
    • 1 sdm minyak sayur
    • 6 sdm sambal botol
    • 1 sdm saus tomat
    • 2 sdm cabe bubuk
    • 1 buah terasi ukuran kecil (bisa diganti dengan minyak ikan)
    • 300 ml air
    • Gula, garam, merica secukupnya
    • 1 butir gula merah ukuran kecil

    Bahan Tambahan

    • 100 gr Daging ayam potong dadu
    • 2 Sosis ayam/ sapi potong memanjang
    • 2 Telur ayam ceplok
    • Kubis/ sawi putih diiris-iris
    • Wortel dipotong korek api
    • Daun bawang iris miring kasar

    Cara Membuat

    Teok

    1. Campur tepung beras dan garam, kemudian tuang air mendidih sedikit demi sedikit, aduk sampai adonan kalis.
    2. Saat mengadon, agar tidak lengket, campurkan minyak sayur/ minyak wijen. Ini juga membantu saat membuat adonan berbentuk silinder.
    3. Rebus adonan yang sudah dibentuk di air mendidih, campur dengan sedikit minyak agar tidak lengket. Tunggu sampai adonan mengapung dan matang.
    4. Potong-potong adonan rice cake sesuai dengan selera.
    5. Tiriskan, kemudian lumuri dengan minyak sayur. Sisihkan.

    Sebagai bayangan, bisa  melihat tutorial membuat rice-cakenya di video ini:

    Perbedaannya, kalau di video di atas, adonan mentah dikukus dahulu, baru kemudian dibentuk silinder. Kalau saya, dibentuk dulu, baru kemudian dikukus/ rebus.

    Gochujang

    1. Tumis bawang putih, bawang merah dan bawang bombay dengan minyak sayur hingga layu.
    2. Masukkan terasi sampai tercampur merata.
    3. Tambahkan air, masak hingga mendidih.
    4. Masukkan saus tomat, saus cabe, paprika merah halus, minyak wijen, dan cabe bubuk. Jika suka pedas, bisa ditambahkan cabe rawit merah yang sudah dihaluskan.
    5. Masukkan gula, gula merah, garam dan merica. Aduk aduk hingga air sedikit menyusut.
    6. Koreksi rasa sesuai selera

    Teokpokki Lengkap

    1. Setelah saus pedasnya matang, masukkan bahan tambahan.
    2. Setelah bahan tambahan matang, kemudian masukkan teok (rice cake).
    3. Jika kuah menyusut, tambahkan sedikit air agar rice cake terendam saus.
    4. Masak hingga semua tercampur rata dan kuah meresap ke rice cake.
    5. Sajikan hangat.

    Selamat menikmati 🙂

    PS: Alhamdulillah, special thanks untuk mas suami yang sudah menghibur hati si istri karena bolak balik mewek karena menyesal salah beli XD dan memotivasi untuk mencari hikmah dari kesalahan

    P_20180315_201756
    Ini tampilan teokpokki buatan saya XD. Sampai postingan ini diunggah, teokpokki masih di wajan, belum saya sajikan di piring. hahaha

    [Share] Refleksi 6 Bulan: Life in Bonn

    $
    0
    0

    Alhamdulillah, tidak terasa hari ini genap enam bulan saya sekeluarga tinggal di Bonn (7 Oktober 2017 – 6 April 2018). Ada banyak hal yang kami alami dalam kurun yang cukup singkat tersebut. Berbagai pengalaman naik dan turun, sudah kami rasakan, dan ke depannya tentu akan ada pengalaman “tak terduga” lainnya.

    Alhamdulillah, akhirnya kami bisa nyaman dan beradaptasi di tanah rantau ini, walaupun senyaman-nyamannya di luar negeri, masih tetap enak tinggal di tanah air. Perlu waktu yang agak lama, khususnya bagi saya pribadi, untuk bisa menemukan rasa nyaman tersebut. Enam bulan untuk proses adaptasi, menurut saya terlalu lama. Mulanya, saya masih belum “ikhlas” untuk tinggal di Jerman karena berbagai hal, utamanya, ketidaktahuan/ minimnya pengetahuan saya tentang Jerman dan Eropa.

    shutterstock_638545531
    Tampilan pemandangan Kota Bonn (sumber: google image)

    Dua bulan pertama di sini, sepertinya bulan terberat bagi saya untuk beradaptasi. Culture shock saya alami. Ada banyak ekspektasi tentang Jerman yang saya setting terlalu tinggi. Jadi wajar saja, ketidaknyamanan itu terjadi.

    Birokrasi

    Hal pertama yang harus kami urus adalah birokrasi. Saat menjalani, saya agak stress dan juga pusing karena birokrasi di sini tidak semudah yang saya bayangkan. Ekspektasi saya, birokrasi di negara maju, akan mudah, lancar dan cepat. Kenyataannya, birokrasi di Jerman cukup membingungkan, panjang dan lama, walaupun positifnya, birokrasi di sini pasti asal syarat terpenuhi.

    Untuk lapor diri di stadhaus (city hall), kami perlu menunggu 3 minggu untuk bisa mendapatkan jadwal untuk mendaftar (termin). Padahal, segala sesuatunya (urusan lain yang terkait administrasi dan birokrasi lanjutan) perlu tanda registrasi di city hall ini. Otomatis, urusan lain jadi tertunda (*paling signifikan saat mengurus akun bank, yang sangat diperlukan untuk turunnya uang hidup XD). Oh ya, setelah ditelusuri, penyebab lamanya kami baru bisa mendapatkan termin adalah penuhnya antrian akibat banyaknya pendatang dan juga bertepatan dengan mulainya semester baru bagi pelajar asing ke Kota Bonn.

    Begitu pula untuk resident permit (KTP sini). Kami baru mendapatkannya setelah lebih dari 5 bulan di sini (Maret 2018). Banyak fasilitas publik yang belum bisa kami akses jika belum ada permit ini.

    Untuk student ID (yang sekaligus sebagai semester ticket/ tiket transportasi) pun, baru saya bisa dapatkan 2 bulan setelah kedatangan. Hal ini terjadi karena sistem pendaftaran untuk mahasiswa doktoral, tidak sama seperti mahasiswa jenjang lainnya dari sisi waktu dan proses. Juga disebabkan oleh syarat kelengkapan lain yang terlambat saya peroleh karena disebabkan proses registrasi di city hall , jadwal profesor yang padat dan verifikasi dokumen ijazah di Jerman. Ini berdampak pada terbatasnya gerak, karena tanpa semester ticket, saya tidak bisa banyak bepergian (*transportasi publik di sini lumayan mahal).

    Aaah, bagaimanapun, alhamdulillah ala kulli haal. Walau stress dan pusing, akhirnya semuanya bisa dilalui dan diselesaikan. Hanya perlu kesabaran panjang dan terus berdoa + bersyukur atas semua pengalaman ini.

    Studi

    Kewajiban dan tugas utama saya selama di Jerman ini adalah sebagai pelajar, jadi refleksi tentang studi juga wajib saya sampaikan. hehehe… Program riset yang saya jalani di sini sifatnya adalah mandiri (riset individu). Tidak ada kuliah rutin yang harus saya ikuti tiap harinya, begitu pula jam kerja/ jam riset yang fleksibel. Sehingga progress riset tergantung dari kedisiplinan dan motivasi diri.

    slider-UniBonnExcellence
    Ini landmarknya Kota Bonn yang juga merupakan rektorat Uni Bonn (source: Uni Bonn website)

    Tiap pekannya, ada kolokium bersama supervisor dan mahasiswa lain yang satu bimbingan dengan profesor. Selain kolokium, ada juga kursus/ seminar pengayaan soft-skill yang diadakan oleh Bonn Graduate Center yang saya ikuti. Juga ada year-group meeting (pertemuan dengan teman seangkatan satu program) sebulan sekali, dimana kami wajib presentasi terkait progres riset (khususnya expose/ proposal) dan persiapan dies academicus.

    Untuk konferensi, baru ada satu yang saya ikuti (maksudnya submit paper dan presentasi). Tapi itu pun menunggu hasil review abstraknya XD. Memang, saya belum “berambisi” untuk ikut konferensi di sana sini, karena fokus untuk pengumpulan data lapangan akhir tahun nanti, insyaAllah. Setelah ada data empiris, baru-lah saya berani untuk nulis paper dan submit abstrak ke konferensi-konferensi terkait bidang riset saya.

    Komunitas

    Dengan menjadi orang rantau di negeri asing, maka berkumpul bersama saudara se-tanah air sangatlah menyenangkan dan menenangkan. Alhamdulillah, sesampainya saya sekeluarga di Jerman, kami banyak dibantu oleh rekan-rekan warga Indonesia, khususnya sesama awardee LPDP dan Indo Muslim Bonn (IMB) di sini. Beragam tips dan informasi kami dapatkan dari mereka seputar adaptasi dan lainnya. Bahkan, kami banyak diberikan beragam barang kebutuhan rumah tangga dan pakaian bayi (special thanks untuk rekan-rekan yang sangat murah hati. Jazakumullah khairan katsir).

    Pertemuan bulanan pun dilakukan oleh IMB. Alhamdulillah, di sini ada pengajian rutin yang bisa kami ikuti (baik khusus muslim, khusus muslimah, ada juga pengajian gabungan). Pesertanya adalah warga mukim (warga Indonesia yang sudah tinggal lama di Bonn), orang-orang Indonesia yang bekerja di Bonn, dan para mahasiswa. Sistem pengajiannya dilakukan sebulan sekali, berputar bergantian di rumah-rumah para warga mukim (biasanya yang  ruang tamunya cukup luas menampung kami-kami). Selain tausiyah dan ilmu seputar Islam, tak lupa di setiap pengajian, kami bisa saling berbagi dan mencicipi panganan khas Indonesia yang bisa mengobati rasa kangen terhadap tanah air (*hidup mahasiswa :p!).

    27073319_1664513110277029_1607235571984245246_n
    Foto bersama anggota IMB (Source: FB Group IMB by Asyraf) *Jangan cari foto saya di sini, soalnya pas gak ikutan karena anak sakit 

    Selain IMB, sesekali saya dan kawan-kawan awardee LPDP di Bonn, kumpul-kumpul dan masak-masak. Bahkan, beberapa bujang Bonn berinisiatif untuk belajar memasak (yeah, it’s a cooking class) di apartemen kami. Alhamdulillah, saya tinggal kasih instruksi, mereka yang memasak. Saya cukup cek rasa, habis itu makan-makan 😀

    Travel

    Alhamdulillah, kami sekeluarga dapat kesempatan dan rezeki untuk menyambangi beberapa tempat dan kota di Jerman. Ada yang bepergian bersama teman-teman awardee LPDP di Jerman dan di Kota Bonn, ikutan pengajian di kota tetangga, ada juga yang inisiatif sendiri. Alhamdulillah, dengan adanya tiket sakti yang bernama student semester ticket, saya sekeluarga bisa menghemat biaya transportasi untuk jalan-jalan seputar bundesland North Rhein Westphalia/ NRW (bahkan gratis untuk daerah VRS pada hari libur dan akhir pekan :D). Selain itu, ada pula group ticket yang semakin membuat biaya perjalanan menjadi sangat hemat (*akan saya bahas khusus tentang ini).

    Kota-kota yang sudah kami kunjungi selama 6 bulan ini antara lain:

    1. Bonn dan sekitarnya (NRW)
    2. Cologne (NRW)
    3. Duisburg (NRW)
    4. Dusseldorf (NRW)
    5. Aachen (NRW)
    6. Mulheim an der Ruhr (NRW)
    7. Frankfurt (Hesse)
    8. Koblenz (Rhineland-Palatinate)
    9. Trier (Rhineland-Palatinate)
    10. Heidelberg (Baden-Württemberg)
    11. Munich (Bavaria)

     

    IMG_2728
    Ini Istana Heidelberg, ikon kota utama (Source: dokumentasi pribadi)

    Perkembangan Anak

    Alhamdulillah, selama di sini Zahra banyak belajar baik dari sisi fisik maupun psikologis. Mulanya, Zahra sering menangis karena jetlag dan kondisi cuaca yang kurang nyaman baginya (*dan juga kami, yang sangat orang tropis). Keterbatasan interaksi dengan anak seusianya dan juga orang lain, membuat Zahra menjadi sangat pemalu dan takut jika bertemu orang-orang yang tak dikenal (terutama laki-laki).

    Walau masih penakut dan pemalu, paling tidak dengan adanya Baby playdate yang diinisasi oleh para expatriat (warga pendatang) di Bonn, Zahra punya teman main sepantaran tiap seminggu sekali. Playdate ini menggunakan Bahasa Inggris sebagai bahasa komunikasi para Ibu expatriat. Inisiasi tersebut dibuat karena adanya permasalahan terkait kemampuan bahasa Jerman, lama antrian dan biaya childcare yang cukup mahal (terutama yang swasta). Rata-rata, kami harus menunggu 1 tahun sampai bisa mendapat kuota childcare milik pemerintah kota.

    Oya, playdate ini tempatnya berpindah dari satu rumah anggota, ke rumah lainnya. Kami jadi belajar tips-tips kehidupan para ibu dan anak non-Jerman selama tinggal di sini. Para ibu expatriat ini berasal dari berbagai negara; ada Perancis, Bulgaria, Polandia, Rumania, Amerika Serikat, Filipina, Australia, dan tentu Indonesia (saya maksudnya :D).

    Selain itu, satu hal yang saya cermati, taman bermain anak (gratis) bisa dengan mudah kami temui di sini. Saat cuaca cerah, biasanya saya dan suami membawa Zahra ke Rheinaue park, taman kota dekat rumah. Alhamdulillah, Zahra bisa belajar berjalan sambil melihat berbagai tanaman dan hewan yang ada di taman tersebut.

    Yup, sementara itu dulu refleksi 6 bulan pertama kami di sini. Tidak semuanya bisa saya tulis, tapi semoga ini bisa menjadi catatan khususnya buat kami. Bismillah. Terus semangat mencari ilmu dan hikmah di bumi Allah ini :)!


    [Share] Jerman dan Kartu Pos

    $
    0
    0

    Setelah hampir dua tahun vakum dari dunia kirim-terima kartu pos (terakhir kali pertengahan 2016), akhirnya saya aktifkan lagi hobi saya ini pada Rabu pagi. Akun postcrossing pun juga saya activate. Ternyata, jiwa yang suka mengirim dan menerima kartu pos tidak mau lama-lama tidur. hehehe

    Aktifnya kembali saya di dunia perkartuposan, didorong oleh banyaknya kartu pos yang bisa saya lihat hampir di setiap kota di Jerman. Saya jadi teringat, bahwa memang “budaya” kartu pos dan kebiasaan mengirim kartu pos di Jerman sangat tinggi.

    Hal ini terlihat dari data statistik Postcrossing yang saya cek Rabu, 11 April 2018 jam 06.40 am. Data ini menunjukkan bahwa jumlah kartu pos terbanyak dikirim oleh anggota Postcrossing yang berasal dari Jerman (jumlahnya 6,6 juta kartu pos).

    Jika dibandingkan dengan jumlah anggotanya (50 ribuan), perbandingannya sekitar 130 : 1. Ini berarti rata-rata 1 anggota dari Jerman, bisa mengirim 130 kartu pos. MaasyaAllah, luar biasa! Untuk anggota dari Rusia perbandingannya 60 : 1, sedangkan Amerika Serikat 72 : 1.

    postcrossing
    Data statistik jumlah kartu pos dikirim dan jumlah anggota Postcrossing berdasarkan asal negaranya (screenshoot per 11 April 2018 jam 06.40 CET)

     

    Wajar, jika dulu saat masih ber-postcrossing di Taiwan dan di tanah air, kartu pos yang paling sering saya dapatkan berasal dari Jerman dan Amerika Serikat.

    Kalau dipikir-pikir, beberapa alasan yang membuat Jerman memiliki rasio jumlah kartu pos terkirim tertinggi, adalah sbb:

    1. Kartu Pos Ada Banyak dan Mudah Didapatkan

    Seperti yang saya kemukakan di awal, kartu pos bisa dengan mudahnya didapatkan (hampir) di setiap toko souvenir, toko buku, pusat wisata/ turis atau stasiun kereta api di seluruh Jerman. Gambarnya pun bervariasi, biasanya sesuai dengan landmark atau ikon kota tersebut. Maka, kartu pos di Jerman menjadi souvenir yang unik karena beda kota, beda gambar kartu posnya. Mirip-mirip seperti saat di Taiwan dulu, dimana kartu pos menjadi salah satu souvenir favorit yang mudah didapatkan.

    Setiap kali saya berkunjung ke satu kota di Jerman, saya selalu sempatkan membeli beberapa kartu pos untuk saya koleksi dan kirim ke kerabat/ kawan/ postcrossing. Sejauh ini, kartu pos kota yang saya miliki, antara lain: Bonn, Cologne, Duisburg, Berlin, Koblenz, Munchen, Trier, Heidelberg, dan Frankfurt.

    Kayaknya memang kartu pos menjadi peluang bisnis yang bagus di Jerman ini, sehingga penawarannya banyak (*tentu karena permintaan yang juga tinggi). Saya sering sedih, kalau di tanah air, agak sulit menemukan kartu pos, apalagi yang gambarnya bagus dan khas dari tiap kota. Pun kalau saya temukan, gambarnya kurang variatif (itu-itu aja) dan kadang malah gambarnya blur (gambar jadul gitu). Mungkin suatu saat nanti, ketika industri wisata di tanah air semakin bangkit, bisnis kartu pos akan semakin marak. Semoga (*aamiin).

    2. Harga yang Relatif Murah

    Harga kartu posnya bervariasi. Rata-rata untuk postcard ukuran standar, harganya 40 sen – 60 sen. Sedangkan kartu pos besar/ maxi, harganya 80 sen – 1 euro. Untuk ukuran harga oleh-oleh di Jerman, ini cukup murah. Tapi jangan dikonversikan ke rupiah atau dibandingkan dengan harga kartu pos di tanah air yaaa (*bikin sakit hati. hahaha)

    Adapun untuk ongkos kirim kartu pos, flat – pukul rata. Untuk pengiriman di dalam Jerman, biayanya 70 sen. Sedangkan untuk luar negara Jerman, ke manapun, 90 sen.

    3. Ternyata Ide Kartu Pos Berasal dari Jerman

    Mengutip dari artikel DW yang berjudul The German Postcard Craze: Then and Now, ternyata kartu pos idenya bermula dari Jerman. Sebelumnya, saya tahunya kemunculan kartu pos berasal dari Austria (terlihat dari postingan saya sebelumnya terkait kartu pos di SINI).

    Di artikel DW tersebut, disebutkan bahwa  ide “mailing card” (kartu pos) diperkenalkan oleh Heinrich von Stephan, postmaster general Imperium Jerman pada tahun 1865. Namun ide ini ditolak karena kartu pos dianggap tidak dapat menjaga privasi pengirimnya, dimana siapapun bisa membaca pesan di kartu pos tersebut.

    Di lain pihak, Austria justru menyetujui ide ini, sehingga pada tahun 1869 dikeluarkanlah “Correspondenz-Karte” (correspondence card). Barulah setahun kemudian, beberapa wilayah di Jerman seperti Bavaria, Wuerttemberg and Baden mengakui pula. Nah, walaupun begitu, tidak perlu waktu yang lama bagi Jerman untuk bisa mempimpin dalam produksi kartu pos.

    Sekian sharing singkat tentang pengamatan saya tentang Jerman dan kartu pos. Semoga bisa rajin menjalin silaturrahim via kartu pos dan selalu ada rezeki untuk kirim-terima kartu pos :D. aamiin.

    PS: Yang mau saling mengirim kartu pos dengan saya, silakan japri yaaa 😀

    [Share] Pembelajaran dari Kolokium

    $
    0
    0

    Selama studi di Uni Bonn, saya berada di bawah institut BIGS Oriental and Asian Studies dan mengerjakan disertasi di bawah bimbingan Prof. Antweiler.

    Sistem perkuliahan di institut saya, tidak menerapkan jam kantor; maksudnya tidak harus masuk setiap hari kerja pada jam tertentu. Saya hanya perlu mengambil beberapa courses dan seminar terkait academic dan soft-skills, year group meeting berkala, mengikuti konferensi (baik sebagai presenter maupun panitia), serta menyelesaikan riset yang sifatnya individu.

    Nah, ada satu lagi aktivitas akademik lain yang saya ikuti secara rutin, yaitu kolokium bersama Prof dan teman-teman lain (S1, S2 dan S3) yang berada dalam satu bimbingan Prof. Antweiler.

    Prof. Antweiler merupakan seorang Antropolog dengan kekhususan studi Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya. Beliau juga merupakan kepala Departemen Southeast Asian Studies di Institute of Oriental and Asian Studies.

    Alhamdulillah, saya sangat bersyukur, beruntung mendapat supervisor seperti beliau yang sangat ramah, humoris, inspiratif dan motivatif. Mulanya, saya sempat khawatir seperti apa supervisor saya. Saya baru bisa bertemu profesor setelah sebulan+ dari kedatangan di Jerman. Selama masa penantian itu, saya dipenuhi asumsi yang kurang baik tentang “supervisor”, terlebih saat mendengar cerita teman lain yang mendapat supervisor yang strict dan tak bersahabat.

    Alhamdulillah, setelah mendengar testimoni teman lain yang satu bimbingan dan kemudian bertemu langsung dengan beliau, bayangan negatif dan asumsi saya tentang supervisor tidak terbukti 😆.

    ***

    Saya baru pertama kali ikut kegiatan belajar yang bentuknya kolokium. Kolokium Prof. Antweiler diadakan seminggu sekali selama 90 menit. Kolokium ini sifatnya tidak wajib, tapi disarankan untuk ikut.

    Kolokium kami diadakan di ruang kerja Prof. Biasanya ada sekitar 6-10 orang mahasiswa yang ikut dalam kolokium ini. Kami duduk melingkar sehingga proses diskusi lebih mudah dan terasa lebih “informal” dan santai.

    Aktivitas yang dilakukan dalam kolokium, antara lain sharing informasi penting (misal konferensi/ seminar, call for proposal, info buku atau jurnal, job vacancy, dll), presentasi dan sharing progres penelitian/ abstrak konferensi, juga “curhat” tentang permasalahan/ stagnansi yang dihadapi saat melakukan penelitian.

    Buat saya, ada banyak hal menarik dan bermanfaat yang saya dapatkan dari kolokium ini.

    Setiap kali ada konferensi atau presentasi progress, saya latihan alias gladi bersih dulu di kolokium ini. Profesor dan teman-teman memberikan pertanyaan sekaligus masukan yang konstruktif terkait konten maupun teknis presentasi.

    Oya, manfaat ikut kolokium tidak selalu terkait dengan penelitian, tapi ada kalanya ide-ide lain bermunculan terkait rencana masa depan saya jika menjadi akademisi (dosen) dan peneliti kelak (aamiin). Salah satunya, bentuk/ model dosen yang baik, inspiratif dan menumbuhkan.

    Prof tidak melulu membahas seputar dunia penelitian dan tugas akhir yang kami jalani sekarang. Beliau juga sering mengingatkan kami tentang bagaimana rencana studi dan karir ke depan, khususnya bagaimana riset yang kami lakukan sekarang, tidak membatasi pilihan karir atau kerja nanti.

    Juga yang saya sangat suka, tips-tips aplikatif dalam menjalankan tugas sebagai mahasiswa dan peneliti. Dari pengalaman puluhan tahun, banyak hal yang beliau sarikan dan bagikan kepada kami. Misal, tips bagaimana membuat power point dan cara presentasi yang tidak membosankan, dan sebagainya.

    ***

    Selain info dan tips dari Prof, kami para peserta kolokium juga berkesempatan untuk mendengarkan presentasi dan curhatan akademik mahasiswa lain. Dengan topik penelitian yang beragam dan studi kasus di berbagai negara, dari mereka saya mendapatkan pengetahuan baru tentang isu tertentu. Kemudian saya mencoba mengaitkannya dengan kondisi di Indonesia.

    Tak hanya mendengarkan, kami juga bebas untuk memberikan feedback, pertanyaan, masukan atau rekomendasi terkait presentasi curhat akademik mereka. Dari sinilah, saya merasa dilatih untuk menganalisa, menelaah, dan berpikir kritis dalam problem solving.

    ***

    Jika suatu hari nanti saya menjadi dosen, tampaknya model kolokium ini menjadi pilihan “menarik” dan efektif dalam memberikan “bimbingan” tambahan bagi para mahasiswa dalam mengerjakan tugas akhirnya. Jadi, bimbingan yang dilakukan tidak hanya pertemuan one by one saja. Menurut saya, kolokium ini bisa jadi sumber penyemangat tambahan dalam mengerjakan tugas akhir.

    Hmm… Mengingat model ini belum biasa diterapkan di tanah air, bisa jadi akan ada tantangan dalam penerapannya. Tapi ini hanya asumsi. Semoga bisa saya buktikan dan laksanakan di masa depan. Aamiin 😊

    [Share] Biaya Hidup di Bonn

    $
    0
    0

    Beberapa waktu lalu, ada seorang kawan yang bertanya, “berapa sih biaya hidup rata-rata di Bonn?” Nah, di sini saya mengulas sedikit tentang topik ini.

    Jika dibandingkan dengan negara-negara Eropa Barat lainnya, Jerman tergolong yang paling murah biaya hidupnya. Adapun di dalam Jerman sendiri, Bonn termasuk yang cukup murah (walau bukan yang paling murah) dibandingkan kota-kota lainnya, seperti Cologne, Stuttgart, apalagi Munchen.

    Sebagai gambaran, biaya hidup minimal yang disyaratkan kantor Imigrasi adalah 720 euro per orang dewasa, dan 360 euro per anak. Tapi dalam praktiknya, jika hidup berhemat, biaya hidup bisa lebih murah.

    Begini rincian biaya hidup (untuk single):

    • Tempat tinggal: 200 – 500 euro per bulan. Tergantung luas, jenis, fasilitas dan lokasi apartemen. Untuk mahasiswa, ada fasilitas asrama yang cukup murah, berkisar 200 – 300 euro per bulan
    • Makan: 60 – 100 euro per bulan. Bisa lebih murah lagi jika memasak sendiri dan gak pengen makan makanan yang mahal, seperti daging sapi, seafood atau produk-produk dari toko Asia tiap harinya 😀
    • Asuransi Kesehatan: 70-an euro per bulan. Untuk mahasiswa S1-S2, adanya asuransi publik sangat membantu dalam menjamin biaya kesehatan. Asuransi publik termasuk yang sangat murah. Tapi kalau terpaksanya menggunakan health insurance dari perusahaan swasta (karena berumur 30+ atau mahasiswa PhD) biaya asuransinya bisa jadi lebih murah atau mahal tergantung perusahaannya.
    • Transportasi: untuk mahasiswa, biayanya gratis karena adanya semester ticket yang dibayar sekaligus pada awal semester. Semester ticket ini berlaku selama 1 semester dan bisa dipakai untuk naik bus, tram, dan kereta regional sepuasnya di satu bundesland (semacam negara bagian klo di Amrik). Kalau bukan mahasiswa, bisa membeli tiket bulanan area dalam kota Bonn seharga 95 euro.
    • Untuk pengeluaran lain, disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing (untuk kebutuhan sekunder dan tersier)

    Intinya, kalau untuk syarat tinggal di Bonn jika dengan biaya sendiri (tanpa beasiswa), paling tidak, perlu membuktikan kemampuan untuk mendapat minimum 720 euro per bulannya selama setahun.

    Kurang lebih begitu. Feel free kalau ada hal lain yang ingin ditanyakan 😀

    [Tips] Mendaftar Bonn Ausweis

    $
    0
    0

    Setelah hampir setahun di sini, saya dan suami merasa bahwa Jerman memang negara yang berusaha menjamin kesejahteraan warganya, even untuk orang asing/ imigran sekalipun. Walau dengan pajak yang tinggi (terutama untuk gaji dan jasa), hal itu digunakan dan dikembalikan untuk kemaslahatan warganya.

    Ada beberapa fasilitas sosial dari pemerintah Jerman yang diberikan untuk warga dan keluarga dengan pendapatan di bawah rata-rata. Khususnya untuk daerah Bonn, ada namanya Bonn Ausweis (Bonn ID Card atau Bonn Badge), sedangkan di daerah Koln, ada Koln-Pass.

    Bonn Ausweis ini ditujukan bagi resident Kota Bonn (dibuktikan dengan kepemilikan kartu resident permit) yang memiliki pendapatan rendah, dan punya izin bekerja penuh (bukan mahasiswa). Bonn Ausweis berlaku juga untuk anggota keluarganya. Untuk konteks saya sekeluarga, yang bisa mendapatkan Bonn Ausweis hanyalah suami dan anak, saya tidak dapat karena saya adalah mahasiswa (benefit untuk mahasiswa sudah banyak XD).

    Bonnausweis-0001
    Ini tampilan Bonn-Ausweis nya (sumber: google)

    Mulanya, kami tidak tahu tentang adanya fasilitas Bonn Ausweis ini. Kami baru mendaftar Bonn Ausweis karena “terpaksa” harus mencari bukti dari pemerintah kota bahwa kami berpendapatan di bawah rata-rata. Standar pendapatan rata-rata di sini yaitu sekitar 22.000 Euro per tahun atau 1.833 euro per bulan untuk pasangan suami istri, dan sekitar 27.000 euro per tahun atau 2.250 euro per bulan untuk keluarga kecil (suami, istri dan 1 anak). Jika jumlah anak bertambah, maka standar pendapatannya juga harus meningkat.

    Saat mengurus resident permit pada Januari 2018 lalu, suami saya diwajibkan oleh imigrasi untuk mengikuti integration course (bahasa dan sospolbud Jerman) selama 7 bulan. Biaya untuk mengikuti kursus integrasi intensif ini sebenarnya sudah didiskon menjadi 195 euro per modulnya (satu modul untuk satu bulan). Tapi, dengan beasiswa yang sangat ngepas untuk hidup, tentu membayar kursus integrasi semakin memberatkan kami.

    Supaya bisa gratis, kami harus menunjukkan semacam “keterangan tidak mampu” dari pemerintah kota. Setelah konsultasi ke berbagai pihak (salah satunya dengan Caritas), dari berbagai jenis bantuan social benefit “tidak mampu” yang disediakan pemkot, kami disarankan untuk mendaftar Bonn Ausweis.

    Bonn Ausweis ini sebenarnya lebih umum digunakan untuk mendapatkan diskon tiket transportasi di Kota Bonn. Selain untuk tiket, bisa juga digunakan untuk diskon berbagai fasilitas umum seperti kolam renang, museum kota, public events, dan juga perpustakaan umum. Untuk yang memiliki anak yang sekolah (daycare/ TK atau sekolah lain milik kota), bisa mendapatkan makan siang gratis plus susu untuk sarapan gratis.

    Berikut proses dan tips pendaftarannya:

    1. Pendaftaran Bonn Ausweis bisa dilakukan dengan mengirimkan formulir syarat dan dokumen yang diperlukan melalui email, fax, submit langsung ke kantornya atau kirim via pos. 

    Alamatnya: Federal City Bonn, Office for Social Affairs and Housing
    Hans-Böckler-Straße 5, 53225 Bonn (Beuel)

    Tel. (0228) 77 57 57
    Fax: (0228) 77 47 35
    E-mail: bonn-ausweis(at)bonn.de

    2. Sebaiknya yang mendaftar adalah pasangan yang bukan mahasiswa (untuk kasus saya, yang mendaftar adalah suami)

    3. Syarat-syarat dokumennya, sbb:

    1. Formulir aplikasi Bonn Ausweis yang sudah diisi lengkap (formulir bisa diunduh di website SINI)
    2. Jika mendapat social benefit lainnya, seperti: unemployment benefit II, social assistance, benefits under the Asylum Seekers Benefits Act, bisa disertakan surat persetujuannya.
    3. Jika tidak punya social benefit lainnya, perlu dokumen untuk membuktikan pendapatan dari seluruh anggota keluarga dan juga pengeluaran rutin bulanan (sewa tempat tinggal dan asuransi kesehatan)
    4. Dokumen lain yang sekiranya dibutuhkan dan diminta oleh pemkot

    Untuk konteks kami, dokumen yang diminta oleh Pemkot dan kami kirimkan adalah sbb:

    1. Formulir pendaftaran diisi lengkap, yang diajukan oleh pasangan yang bukan mahasiswa
    2. Letter of Guarantee (LoG) dari pemberi beasiswa yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Jerman
    3. Letter of Scholarship (LoS) dari pemberi beasiswa yang berisi rincian komponen apa saja yang ditanggung dalam beasiswa. Diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman
    4. Bukti pendapatan per bulan, seperti slip gaji. Untuk konteks saya, saya kirimkan bukti uang masuk/ transfer dari pemberi beasiswa yang masuk ke rekening bank.
    5. Bukti approval kindergeld (jika memiliki anak). *Info tentang kindergeld akan dibahas di postingan lainnya
    6. Bukti kontrak dan besaran bayaran premi asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga
    7. Bukti kontrak sewa apartemen yang berisi informasi besaran sewa apartemen per bulannya (termasuk untuk nebenkosten/ biaya lain-lain)

    4. Proses pengurusan Bonn Ausweis ini gratis/ tidak dipungut biaya, dan lama prosesnya bervariasi

    Untuk konteks kami, formulir pendaftaran dan dokumen dikirimkan melalui email. Kemudian, beberapa waktu kemudian, kami dikirimi surat via pos oleh pemkot karena ada dokumen tambahan yang perlu dikirimkan. Nah, berhubung saat itu banyak dokumen tambahan yang belum ada (approval kindergeld) dan ada dokumen yang belum diterjemahkan ke bahasa Jerman, akhirnya proses pengurusan Bonn Ausweis ini memakan waktu hampir 3 bulan. Kalau lengkap, sepertinya bisa cepat 😀

    5. Setelah dokumen lengkap dan tidak ada permintaan lagi dari pemkot, Bonn Ausweis dikirimkan ke alamat kita

    Alhamdulillah setelah perjuangan panjang (*saya menuliskannya dengan “mudah”, padahal prosesnya berliku XD), aplikasi Bonn Ausweis kami diterima dan aktif per 1 Juni 2018. Suami dan anak saya mendapatkan Bonn Ausweis. Masa berlaku Bonn Ausweis adalah satu tahun sejak diterbitkan, dan bisa diperpanjang. Apabila ada perubahan pendapatan, harus dilaporkan ke pemkot.

    Alhamdulillah, biaya kursus integrasi bulan ke-3 sampai bulan ke-7 digratiskan. Kami hanya perlu membayar kursus 2 bulan pertama (dengan dicicil) karena saat itu belum ada Bonn Ausweis. Biaya transportasi untuk suami saya pergi sekolah integrasi tiap harinya pun juga terbantu dengan adanya Bonn Ausweis ini. Untuk biaya tiket bulanan orang dewasa di daerah zona 1b (dalam kota Bonn), normalnya sekitar 95 euro per bulan. Alhamdulillah, dengan Bonn Ausweis, biaya tiket bulanannya jadi hanya sekitar 34.90 euro per bulan.

    Sebagai gambaran, berikut besaran biaya transportasi dengan Bonn Ausweis (per 1 Januari 2018):

    csm_MobilPassTarife_BonnAusweistarifes_73e4f5b92a

    Yah, kira-kira begitu share dari saya. Kalau ada yang hendak ditanyakan, feel free to contact or simply leave a comment. Semoga lancar dan sukses 🙂

    PS:

    • Special thanks untuk Caritas yang sudah memberi saran terkait Bonn Ausweis
    • Mb Rere + Mas Nur yang sudah membantu proses penerjemahan dokumen ke Bahasa jerman. Jazakumullah khairan katsir :”)

    [Tips] Mendaftar WBS – Wohnberechtigungsschein di Bonn

    $
    0
    0

    Informasi ini khususnya ditujukan bagi teman-teman yang membawa serta keluarga (istri/ suami dan anak) selama di Bonn.

    Beberapa waktu yang lalu, secara tak disangka-sangka, saya diingatkan lagi tentang ikhtiar mendaftar familien wohnung (apartemen keluarga) milik kampus (via STW alias Studentenwerk). Mulanya, saya dan suami sudah hopeless mendaftar STW Bonn, mengingat beberapa kisah dan testimoni dari teman-teman mahasiswa lain yang kurang merekomendasikan fasilitas ini. Penyebabnya adalah panjangnya daftar tunggu (waiting list) dan officer STW yang terkenal kurang ramah alias jutek.

    Tapi, memang rencana Nya memang gak disangka. Pengalaman ini bermula dari sebuah email kolega kampus yang akan pulang habis ke negaranya, dan sedang mencari calon penerus familien wohnung STWnya. Saya ditanya apakah masih mencari apartemen keluarga. Dan saya pun menjawab, “Iya, saya masih mencari wohnung keluarga yang lebih besar, tapi juga lebih murah“. Dia jawab, “Pas, cocok nih.”

    Akhirnya, kolega saya itu mengundang saya dan suami untuk melihat wohnungnya, sekedar sebagai gambaran dan penambah motivasi seperti apa fasilitas familien wohnung STW.

    Familien wohnung kolega saya itu letaknya tidak terlalu jauh dari kampus dan pusat kota, tapi hanya bisa diakses dengan bus dan sedikit jalan kaki. Wohnungnya terdiri dari 3 zimmer dengan 2 kamar tidur dan 1 ruang tamu yang cukup luas. Total luasnya 71 m2, dengan biaya sewa 600 euro per bulan plus biaya listrik sesuai jumlah orang. Tentu ini lebih murah dan lebih luas dari wohnung kami saat ini (luas 47 m2 dengan biaya 710 euro per bulan), dan sesuai dengan yang saya harapkan.

    Mengapa bisa murah? Ini karena wohnung yang dikelola oleh STW merupakan wohnung bersubsidi dari pemerintah. Namun, jumlah wohnung untuk keluarga yang dikelola STW, sangat terbatas. Terlebih dengan permintaan wohnung keluarga yang tinggi dari para mahasiswa berkeluarga seperti saya. Maka, wajar saja jika daftar tunggunya panjang dan kita harus senantiasa bertanya ke STW.

    Nah, untuk bisa mendapatkan familien wohnung STW ini, saya harus mendaftar langsung ke kantornya. Ada dua dokumen yang menjadi syarat pendaftaran, yaitu formulir pendaftaran familien wohnung STW dan Wohnberechtigungsschein (WBS).

    WBS adalah surat izin untuk bisa mendapatkan wohnung bersubsidi dari pemerintah kota. Proses pengurusan surat ini sebenarnya tidak terlalu sulit, mengingat sebelum-sebelumnya, saya dan suami sudah pernah mengurus surat lain yang lebih complicated prosesnya XD.

    Berikut informasi untuk mengurus WBS:

    1. WBS hanya bisa digunakan untuk mendapatkan wohnung di bundesland tempat diterbitkannya WBS. Untuk kasus ini, WBS saya dikeluarkan pemkot Bonn yang berlaku di seluruh bundesland NRW (North Rhein Westphalia).
    2. Masa berlaku surat WBS adalah 12 bulan. Jadi sebaiknya segera cari wohnung bersubsidinya begitu dapat surat ini.
    3. Ukuran wohnung disesuaikan dengan jumlah anggota keluarga. Ukuran wohnung ideal yang disarankan Pemkot untuk kami adalah 80 m2, untuk saya dan suami + 1 anak. Jika jumlah anak lebih banyak, bisa dapat ukuran yang lebih luas 😀
    4. Ada syarat pendapatan per tahun (sesuai jumlah anggota keluarga) untuk bisa mendapat WBS. Untuk 1 orang, pendapatan maksimalnya adalah 18.430 euro per tahun, untuk 2 orang anggota keluarga sebesar max. 22.210 euro, dan untuk setiap tambahan 1 orang anggota keluarga (dewasa) sebesar 5.100 euro, sedangkan untuk anak-anak sebesar 660 euro. Untuk kasus kami, jumlah pendapatan sekeluarga (2 dewasa + 1 orang anak) totalnya masih di bawah 22.870 euro per tahun, sehingga kami tergolong masyarakat dengan pendapatan di bawah rata-rata dan bisa mendapat WBS.
    5. Pendaftaran WBS bisa secara langsung datang ke City Hall, lewat pos atau email.
    6. Biaya pengurusan WBS sebesar 20 euro dan dibayar secara tunai saat pendaftaran langsung atau ditransfer apabila mendaftar via pos/ email. Apabila salah satu anggota keluarga memiliki Bonn Ausweis, hanya perlu membayar 5 euro (tunjukkan kartunya saat mendaftar). Alhamdulillah, karena suami memiliki Bonn Ausweis, jadi kami hanya perlu membayar 5 euro.
    7. Formulir pendaftaran WBS bisa didapatkan langsung di kantor WBS di City Hall atau website pemkot Bonn.

    Berikut syarat dokumen yang diperlukan:

    1. Formulir aplikasi WBS yang sudah diisi lengkap. Kalau bingung dengan pengisiannya, bisa ditanyakan di city hall.

    2. Isian formulir terkait pendapatan total sekeluarga (gaji, beasiswa, tunjangan-tunjangan, termasuk kindergeld)

    3. Fotokopi resident permit seluruh anggota keluarga yang masih berlaku.

    4. Lampiran lain. Dalam hal ini, saya menunjukkan formulir pendaftaran STW yang merangkum kondisi wohnung kami saat ini, berapa pendapatan dan biaya apartemen, dan alasan kenapa kamu perlu pindah ke STW.

    Nah, jika sudah lengkap, langsung saja ke kantor bagian WBS Bonn di city hall atau kirim dokumen via pos atau email. Berikut infonya:

    • Lokasi di Stadhaus, Berliner Platz 2, 53111 Bonn, Floor 3 B
    • Telephone: 0228 – 77 49 91
    • Fax: 0228 – 77 961 96 18
    • Email: wbs@bonn.de

    Kami memilih untuk datang langsung agar proses lebih cepat dan jelas jika ada pertanyaan. Setelah diserahkan dokumennya, surat keputusan WBS akan dikirimkan via pos ke alamat rumah sekitar 3 hari kerja. Kami memasukkan dokumen hari Kamis sore, alhamdulillah surat persetujuan WBS sampai hari Selasa.

    Nah, surat WBS ini kami serahkan kopiannya bersama formulir pendaftaran family apartment ke STW. Tapi, ternyata kami harus tetap menunggu karena apartemen kolega saya sudah ditawarkan kepada mahasiswa lain yang sudah duluan. Pemberitahuannya paling cepat akhir tahun ini atau tahun depan untuk mengetahui kapan kepastian dapat giliran STW. Mohon doanya teman-teman, semoga rezeki untuk kami sekeluarga.

    Kira-kira begitu gambaran prosesnya. Intinya, WBS sebenarnya gak hanya untuk mendaftar STW kampus aja, tapi bisa juga digunakan untuk mendaftar di tempat lain (agen properti atau langsung via landlord).

    Silakan kontak saya jika ada pertanyaan lebih lanjut yaaa 🙂

    [Share] Refleksi Setahun Merantau

    $
    0
    0

    Alhamdulillah alla kulli hal.

    Tidak terasa, keberadaan saya sekeluarga di tanah rantau Bonn sudah menginjak satu tahun.

    Masih teringat jelas, setahun yang lalu, Sabtu sore 7 Oktober 2017 kami sampai di kota Bonn disambut dengan rintiknya hujan dan dinginnya udara musim gugur. Belum lagi, rasa lapar, lelah karena perjalanan panjang dan rasa kantuk akibat jetlag menerpa.

    Perjuangan dengan segala culture shock dan ekspektasi yang jauh melebihi realita sehingga muncul berbagai kekecewaan, menemani masa-masa awal tinggal di perantauan. Tidak mudah dan perlu proses panjang untuk akhirnya saya dan keluarga bisa beradaptasi, menikmati dan menerima Jerman sebagai tempat tinggal kami selama (paling tidak) tiga tahun ke depan.

    Kehidupan nyata tidak sesederhana dan seindah apa yang saya tampakkan di media sosial (*khususnya instagram). Ada banyak peristiwa yang kami alami, serta berbagai pembelajaran hidup. Segala skenario-Nya yang luar biasa selama setahun ini, mewarnai dan mendewasakan keluarga kecil kami.

    Salah satu hal yang sangat mengena dan diingatkan Allah selalu adalah bahwa Allah itu Maha Mencukupkan. Seringkali keterbatasan finansial di tanah rantau menguji keyakinan saya tentang ini.

    Jika kita melakukan hitung-hitungan dengan logika dan akal manusia saja, tentulah uang yang kami miliki tidak cukup memenuhi kebutuhan dasar untuk sekeluarga. Namun, bentuk rezeki yang diberikan Allah itu tidak melulu berupa uang. Ada kesehatan, keselamatan, kebaikan hati para sahabat dan kerabat di tanah rantau, kemudahan akses fasilitas pemerintah dan sebagainya.

    Skenario Allah dalam mengabulkan doa pun sungguh luar biasa. Mulanya, rencana suami untuk belajar dan menguasai bahasa Jerman hendak dilakukan sampai ada tabungan yang cukup. Tapi, dengan adanya “ultimatum” dari imigrasi (saat perpanjangan izin tinggal) yang mewajibkan suami ikut kursus integrasi, menjadikan rencana belajar bahasa Jerman ini jadi lebih awal.

    Yang juga mengagetkan, biaya kursus integrasi tidaklah murah, namun Allah menunjukkan bahwa rezeki tak disangka-sangka itu nyata. Kami mendapat informasi tentang Bonn Ausweis, yang walaupun pengurusannya tidaklah mudah, tapi sangat membantu untuk diskon transportasi bulanan dan biaya kursus bagi suami saya selama 7 bulan terakhir. Manfaat ilmu dari kursus ini pun banyak. Salah satunya kami jadi bisa lebih mudah berkomunikasi dan tahu Jerman lebih jauh, dan ada kesempatan untuk bisa membantu orang lain.

    Pembelajaran tentang birokrasi serta fasilitas dari Pemerintah Jerman pun kami dapat. Beberapa surat dan urusan birokrasi kami lalui. Mulanya saya sempat kesal karena ternyata keribetan birokrasinya 11-12 dengan di tanah air 😅. Apalagi PNS Jerman dikenal masyarakat umum sebagai “jutek-jutek”. Namun, saya jadi belajar juga tentang usaha pemerintah Jerman memberikan fasilitas yang “baik dan adil” bagi warganya (terutama soal subsidi dan segala macam “geld“nya).

    Terkait dengan ekspektasi, intinya jangan terlalu tinggi menilai Jerman. Hahaha… Saya sempat shock melihat bahwa dalam beberapa aspek, Taipei jauh lebih bagus dan baik daripada Jerman (khususnya Bonn). Misalnya soal kerapihan dan kebersihan fasilitas umum, minimnya jaringan internet gratis, serta kurangnya pelayanan transportasi umum, khususnya ketepatan jadwal.

    Entah sudah berapa kali saya dengar dari kawan native Jerman, mereka berkata “Don’t expect too much. Germans are usually punctual, except Deutsche Bahn” 😂. Beberapa kali, saya dan keluarga mengalami kekecewaan terhadap layanan perusahaan kereta api plat merah Jerman ini. Tidak hanya keterlambatan, tapi perubahan mendadak dan pembatalan tiba-tiba pun cukup sering terjadi. Tapi, kami sekarang sudah lebih terbiasa.

    Yeah, kurang lebih seperti itu beberapa refleksi saya dalam setahun terakhir ini. Semoga perjalanan dan pengalaman berikutnya juga sarat hikmah dan pembelajaran bagi kami sekeluarga. Aamiin…

    [Tips] Mengurus Surat Izin Penelitian – Kemendagri RI

    $
    0
    0

    Ini pertama kalinya saya mengurus birokrasi izin penelitian di tanah air. Sebelumnya saya belum tahu kalau ada prosedur ini. Tahunya, udah, langsung terjun aja ke lapangan gitu. Hehehe

    Barulah setelah saya melihat postingan salah seorang peneliti senior di pusat studi di UGM, saya jadi ngeh tentang pentingnya mengurus birokrasi ini.

    Awalnya, saya pikir urusan administrasi en birokrasi tu ribet. Belum lagi kalau harus dioper ke sana sini, juga bayangan dan image tentang staf yang tidak bersahabat, mempersulit dan minta pelicin. Duh.

    Tapi alhamdulillah, sekarang ini sudah banyak reformasi birokrasi dan layanan publik yang mempersingkat proses administrasi, walau tetep agak merepotkan dan gak semuanya juga yang berubah. Hahaha…

    Intinya sih, dijalani aja proses birokrasinya. Yang penting kita tahu persyaratan dokumen yang harus dibawa dan lengkap sesuai ketentuan. InsyaAllah, gak akan dioper-oper dan dipersulit.

    Nah, untuk pengurusan surat rekomendasi (izin) penelitian di Kemendagri RI, hanya dilakukan jika daerah tujuan penelitian kita dilakukan di lebih dari satu provinsi. Pengajuannya dilakukan secara online. Sebelumnya, permohonan harus diajukan manual secara langsung ke kantor Unit Layanan Administrasi (ULA) Kemendagri RI di Jakarta. Saya sempet kecewa karena baru tahu info ini, padahal sudah terlanjur datang jauh-jauh dari planet Bekasi ke Jakarta Pusat. Haha… tapi gak apa-apa, jadi pengalaman main ke Kemendagri.

    Menurut info yang saya dapat dari petugas di Kemendagri, sistem online ini baru dimulai Februari 2018, namun memang belum di-launching ke publik karena masih dalam proses penyempurnaan. Tapi, sudah bisa digunakan.

    Proses pengajuannya, sbb:

    1. Buat akun di website ULA Kemendagri RI di: https://ula.kemendagri.go.id/daftar

    2. Siapkan softfile berkas-berkas atau scan dokumen, seperti:

    1. File Scan KTP elektronik (format jpeg);

    2. File Foto Peneliti Utama (format jpeg);

    3. File Scan Formulir Permohonan yang sudah ditandatangani (Download Template Dokumen);

    4. File Scan Surat permohonan/keterangan dari lurah/kades/perguruan tinggi/lembaga pendidikan/kementerian/badan usaha/lembaga/organisasi nirlaba lainnya; –> berhubung penelitian dalam rangka pengumpulan data untuk disertasi, maka surat permohonan saya didapat dari Institut (berkop). Berbahasa Inggris tidak apa-apa. Yang penting mencakup data mahasiswa, judul penelitian dan periode waktu/ lama penelitian

    5. File Scan Proposal penelitian; –> usahakan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia (bagi yang studi di LN)

    6. File Scan Salinan/fotocopy kartu tanda penduduk peneliti/penanggungjawab/ketua/koordinator peneliti;

    7. File Scan Surat pernyataan untuk mentaati dan tidak melanggar ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku; (format ada di template nomor 3, bermaterai dan ditandatangani)

    8. File Scan Untuk penelitian badan usaha, organisasi kemasyarakatan atau lembaga nirlaba lainnya harus disertai berkas salinan/fotocopy akta notaris pendirian, Surat Keterangan Terdaftar (SKT) serta Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

    3. Nah, setelah semua file syarat diunggah ke sistem ULA Kemendagri, akan ada lembar tanda terima permohonan yang perlu kita unduh, cetak dan serahkan saat pengambilan surat nanti.

    4. Kita tunggu saja sekitar 5 hari kerja. Untuk memastikan surat rekomendasi sudah jadi atau belum, bisa menelepon ke +62 21 3521468.

    5. Untuk pengambilan surat rekomendasi harus dilakukan secara langsung ke Kemendagri RI Gedung B bagian ULA, dengan menyerahkan surat permohonan asli dari instansi (poin syarat 4) dan lembar tanda terima. Pengambilan surat ini boleh diwakili, dengan menyerahkan dua dokumen tersebut.

    Saya meminta tolong kakak ipar untuk mengambil suratnya dan meminta kakak untuk mengirimkannya ke Jogja, karena saya sudah terlanjur ke daerah penelitian saat surat rekomendasinya jadi.

    • Oya, ada tips dari Bakesbangpol Provinsi. Bagi yang penelitiannya dilakukan lebih dari 1 provinsi, ada baiknya surat rekomendasi dari Kemendagri difotokopi beberapa (sesuai jumlah Provinsi tujuan), dan meminta legalisir/ cap basah dari Kemendagri.

    Nah, tahap selanjutnya yaitu mengajukan surat pengantar penelitian dari Bakesbangpol (Badan Kesatuan Bangsa dan Politik) tingkat Provinsi, untuk selanjutnya dibawa ke Bakesbangpol tingkat kabupaten. Cerita lengkapnya menyusul yaaa….

    Selamat menikmati birokrasi dan segala prosesnya 😆

    *Tulisan ini ditulis dan disempurnakan saat menunggu petugas di bakesbangpol daerah yang baru ada jam 9 (*padahal saya sudah datang dari jam 07.30. Hahaha)


    [Tips] Surat Izin Penelitian di Provinsi Jawa Tengah (Online)

    $
    0
    0

    Pertengahan Desember lalu, sehabis subuh saya nglaju dari Jogja ke Semarang demi mengurus surat izin penelitian di Kesbangpol Provinsi Jawa Tengah. Sesampainya di Semarang, saya sempat kaget karena ternyata pengurusan surat ini tidak diurus di Bakesbangpol Provinsi Jawa Tengah, tetapi sudah satu atap di Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP). Lebih kagetnya lagi, ternyata pengurusan surat ini diajukan secara online 😂😅. Jadi sebenarnya saya gak perlu berpeluh jauh-jauh nglaju ke Semarang. Hahaha… Tapi diambil hikmahnya saja, saya jadi dapat rezeki bisa makan tahu bakso, lumpia basah, belanja oleh-oleh, dan berjumpa kawan lama di Semarang 😆.

    Ini kantor DPMPTSP Provinsi Jawa Tengah

    Nah, mulanya saya mau mengerjakan pengajuan online di rumah, tapi daripada tertunda lagi, sekalian saja saya ajukan permohonan onlinenya di kantor DPMPTSP. Alhamdulillah petugasnya sangat membantu emak-emak yang kadung panik ini 😅. Di sana ada fasilitas komputer yang terhubung internet, yang memang disediakan bagi masyarakat yang mau mengajukan permohonannya. Yang terpenting, kita harus sudah siap segala dokumen persyaratan dalam bentuk softfile. Alhamdulillah saya sudah menyiapkannya di dropbox, jadi walau gak ada flashdisk (asal ada internet), dokumen sudah standby di awan-awan sana dan tinggal dipanggil (unduh) 😆.

    Berikut syarat-syarat yang harus dipenuhi:

    • Surat Pernyataan bermaterai Rp. 6.000,00, kecuali dari Universitas tidak perlu materai (form dapat didownload pada Tab Formulir). Surat pernyataan ini harus di-scan (pdf, bisa minta bantuan petugas di kantor DPMPTSP)
    • KTP asli (scan, pdf)
    • Proposal lengkap dengan cover (softcopy, pdf)
    • Surat Pengantar/Rekomendasi asli (scan, pdf) dari Lembaga/PT (Bagi pemohon yang lembaga/ PT nya berasal dari wilayah Jawa Tengah)
    • Surat Pengantar/Rekomendasi asli (scan, pdf) dari lembaga/institusi yang berwenang mengeluarkan rekomendasi perizinan tingkat provinsi bagi pemohon yang lembaga/PT nya berasal dari luar Wilayah Jawa Tengah;
    • Surat Pengantar/Rekomendasi asli (scan, pdf) dari Dirjen Kesbangpol Kementrian Dalam Negeri RI bagi pemohon izin yang wilayah jangkauan penelitiannya meliputi 2 provinsi/ lebih.
    • Akte Pendirian Perusahaan (untuk Badan Lembaga/Instansi berbadan hukum kecuali Unversitas)

    MEKANISME PELAYANAN REKOMENDASI PENELITIAN ON-LINE

    1. Pemohon melakukan input data melalui Website BPMD Prov. Jateng yaitu http://dmptsp.jatengprov.go.id pada Penelitian Mahasiswa : REKOMLIT ONLINE atau langsung ke url
    2. Melakukan Register dengan mengisi Username, E-mail, dan Isi Kode. Setelah itu cek email dan klik link yang masuk di email dari UPT.PTSP. Selanjutnya lakukan Registrasi kemudian Log In.
    3. Masuk ke Pengajuan Permohonan Baru kemudian pilih Rekomendasi sesuai yang diperlukan, setelah itu klik Detail, kemudian klik Pendaftaran:
    4. Form Pendaftaran (wajib diisi semua secara lengkap)
    5. Lokasi Penelitian (ditulis lengkap secara jelas/tidak berupa singkatan)
    6. Upload Kelengkapan Permohonan (KTP, Surat Pengantar, Surat Pernyataan, dan Proposal)
    7. Setelah meng-upload klik ajukan permohonan sampai muncul Tanda terima
    • Selanjutnya, pemohon menunggu konfirmasi dengan selalu memeriksa status izin yang diajukan di dalam system user masing-masing.
    • Apabila ada persyaratan yang kurang lengkap akan dikonfirmasi melalui system.
    • Dokumen Rekomendasi akan dikirimkan melalui email untuk dapat dicetak dan dipergunakan sebagaimana mestinya.

    (Sumber syarat dan mekanisme dari SINI)

    Nah, praktis kan? Surat rekomendasinya saya dapatkan melalui email, 2 hari setelah permohonan. Jadi gak perlu repot jauh-jauh ke Semarang kecuali punya modus lain seperti saya. Hahaha

    Btw, belum semua daerah seperti ini. Jadi perlu perhatikan apakah kita harus datang ke kantornya langsung atau cukup online.

    Semoga pelayanan berbasis online ini semakin menyebar ke berbagai provinsi dan kabupaten di tanah air. Supaya proses penelitian lapangan bisa makin mudah, tanpa menghiraukan urusan dan persyaratan birokrasi.

    Selamat menikmati proses penelitiannya yaaa 🙂

    [Share] Suka Duka Penelitian Lapangan (Part – 1)

    $
    0
    0

    Alhamdulillah, nggak kerasa waktu empat bulan di tanah air saya lalui dengan cepat. Pada pertengahan Oktober 2018 sampai Februari 2019 ini, saya melakukan fieldwork/ penelitian lapangan di tanah air dalam rangka pengumpulan data disertasi.

    Gimana rasanya? Nano-nano, rame rasanya 😆

    Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya melakukan penelitian lapangan. Saat mengerjakan tesis di UI maupun di Taiwan dulu, saya juga sempat “keliling lapangan” ke berbagai kota di Jepang dan Taiwan. Namun, untuk penelitian kali ini, rasanya tetap beda. Karena, baru kali ini, saya menjalani penelitian lapangan dalam jangka waktu panjang dan maraton ke berbagai kota di tanah air, sendirian, terlebih meninggalkan anak dan suami. Jadi banyak bapernya XD.

    Nah, berikut ini adalah beberapa aspek perbedaan yang saya rasakan dari penelitian lapangan sebelumnya.

    BIROKRASI

    Tantangan pertama yang saya jalani adalah birokrasi tanah air. Berbeda dengan pengalaman di Taiwan maupun Jepang, saya tidak perlu surat khusus untuk meminta akses data maupun wawancara. Tapi (mungkin) bisa jadi saat itu memang tidak perlu surat izin karena saya tidak mewawancarai instansi pemerintah, ya? Mungkin ada yang punya pengalaman penelitian dengan instansi pemerintah di luar tanah air?

    Nah, kalau di Indonesia, untuk melakukan penelitian, dan juga supaya memudahkan akses permohonan data/ wawancara di instansi pemerintah pusat/ daerah, maka surat izin/ rekomendasi penelitian perlu diurus. Sebelum ke lapangan, saya mencari info tentang prosedur birokrasinya. Sempet agak pesimis, mengingat bayangan akan keribetan dan proses yang panjang + berliku.

    Namun, Alhamdulillah saya mendapat pencerahan dan inspirasi dari seorang peneliti senior di Pusat Studi Asia Pasifik UGM, Ibu Ratih Pratiwi Anwar. Dari postingan beliau di facebook seputar birokrasi penelitian, saya jadi lebih optimis. Beliau berpesan, intinya adalah nikmati saja proses birokrasi yang ada. Karena justru dari adanya surat izin/ rekomendasi itulah, kita punya legitimasi untuk akses informasi dan data 🙂

    Setelah saya jalani, proses birokrasi persuratan ternyata ‘memang’ panjang dan berliku XD (*what do you expect XD?). Bahkan, di rangkaian penelitian lapangan saya yang padat dan mepet dari sisi waktu itu, diperlukan paling tidak 2-3 hari untuk mengurus birokrasi. Tapi, saya jadi banyak belajar terutama hikmah dengan adanya surat perizinan tersebut.

    Pertama, setelah mendapatkan surat rekomendasi penelitian, saya memang punya kekuatan untuk meminta izin wawancara maupun data-data yang saya butuhkan untuk penelitian dari dinas/ instansi pemerintah, tanpa ada penolakan atau hambatan berarti.

    Kedua, saya jadi tahu dan mengalami langsung bagaimana mengurus proses birokrasi di pemerintah, mulai dari tingkat pusat sampai ke desa. Bayangkan, saya mengurus dari tingkat Kementerian (pusat), kemudian ke Provinsi, Kabupaten, Kecamatan hingga pemerintah desa. Tapi ini memang wajar, karena penelitian saya memang dilakukan di tingkat desa :D.

    kesbangpol ntb
    Ini syarat permohonan rekomendasi penelitian di Kesbangpol Prov NTB

    Ketiga, saya bisa melihat langsung bagaimana kinerja, layanan dan inovasi yang dilakukan masing-masing level pemerintah. Ada yang masih manual, alias datang langsung ke kantornya dan membuat permohonan langsung. Untuk proses pengerjaannya, tergantung masing-masing petugas dan kantor. Ada beberapa yang fast response, 30 menit surat jadi, ada juga yang lama (perlu seharian atau 2 hari kerja. Kadang harus nunggu petugas yang membuat suratnya datang ke kantor, atau ditunggui dulu baru dikerjain suratnya XD). Tapi, ada juga yang sudah memiliki layanan berbasis daring (online) dengan prosedur yang lebih memudahkan (tidak harus datang ke kantornya). Namun, memang perlu publikasi lebih terkait layanan onlinenya, supaya gak kecele sudah jauh-jauh datang ke kantornya, eh malah ternyata online.

    Begitu dulu deh, sekilas pengalaman saya (bagian pertama). InsyaAllah akan lanjut ke bagian berikutnya 🙂

    [Story] Birokrasi di Jerman

    $
    0
    0

    Salah satu hal yang paling membuat saya gegar budaya (alias culture shock) sesampainya di Jerman adalah birokrasi. Wajar, jika seseorang memiliki ekspektasi tertentu sebelum mengalaminya langsung. Itu yang terjadi pada saya sebelum berangkat ke Jerman untuk menimba ilmu.

    Sebelumnya, saya membayangkan bahwa Jerman – sebagai negara maju – memiliki berbagai kecanggihan dan kemajuan-kemajuan dalam berbagai bidang, termasuk layanan publik dan birokrasi. Apa yang saya dambakan, minimal seperti layanan publik dan birokrasi yang saya alami saat tinggal di Taipei – Taiwan beberapa tahun yang lalu. Layanan yang cukup ramah, mudah dan cepat.

    Nah, inilah yang membuat saya gegar budaya. Bayangan saya tentang birokrasi di Jerman semuanya runtuh saat beberapa minggu pertama tinggal di sana. Ternyata, proses birokrasi tak jauh beda dengan di tanah air; banyak berkas, berbelit, panjang dan lama. Apalagi orang Jerman terkenal dingin, kaku, jutek dan galak 😆😅

    *eh, tapi beberapa layanan birokrasi di tanah air sudah mulai oke, sejak adanya layanan berbasis e-government system, apalagi orang Indonesia terkenal ramah dan murah senyum*

    Sebagai gambaran pengalaman, untuk bisa mengurus registrasi diri di city hall, saya dan keluarga perlu waktu menunggu 3 minggu sejak kedatangan, dan hampir semua urusan di Jerman perlu bukti registrasi diri tersebut.

    Maka otomatis 3 minggu pertama kami di sini, terkatung-katung tanpa bisa akses beberapa layanan (misal: aktivasi simcard HP, buka rekening bank –> penting untuk turunnya uang beasiswa, langganan internet –> akses informasi, registrasi kampus, dll).

    Belum lagi saat hendak memperpanjang izin tinggal (resident permit). Saat itu visa kami habis masa berlakunya, sementara masih harus menunggu hampir 2 bulan untuk mendapat kartu resident permitnya. Ini bukan karena kami terlambat mendaftar atau mengurus perpanjangan, tapi memang kami harus menunggu agak lama sampai kartunya jadi.

    Selain pengalaman di atas, saat mengurus surat keterangan untuk keringanan biaya kursus integrasi suami, itu perlu waktu hampir 3 bulan dengan tektok surat berkali-kali, dan menambah kelengkapan berkas yang tidak kunjung lengkap dan perlu ditambah ini itu. Hampir saja kami menyerah, tapi Alhamdulillah, pengalaman riweuh dan panjang itu menjadikan kami jadi punya segala macam berkas/ dokumen untuk segala urusan (*kurang lengkap apa coba, sampai bukti transaksi akun paypal pun saya punya XD).

    Beberapa waktu lalu, saya melihat sebuah video singkat tentang apa yang menjadi khas/ tipikalnya orang Jerman. Kemudian, ada satu scene yang membuat saya jadi terinspirasi untuk menulis tentang ini. Bahwa, Birokrasi di Jerman memang dikenal riweuh dan lama. Sampai-sampai ada satire, “I Love German Bureaucracy“.

    Ini videonya (dari DW)

    *Oot: yang bagian tes fisik pas masukin belanjaan di supermarket, memang bener-bener terjadi. Pun sampai sekarang saya masih selalu deg-degan kalau harus masukin belanjaan 😆

    Kemudian, saya browsing dan menemukan tips “Tujuh Cara untuk Atasi Birokrasi Jerman” yang dikutip dari The Local.de:

    Seven ways to beat German bureaucracy

    1. Bring a good dose of patience. Do not expect to conquer German bureaucracy with a quick hit.
    2. Follow the rules. If you can’t beat them, join them. It is no good arguing with a bureaucrat. You have to jump through their hoops and follow their rules to get anywhere.
    3. Don’t be a comedian. German bureaucrats do not often appreciate jokes when processing your paperwork. If you want to try to break the ice, do it very, very carefully – there is always the danger of falling into extremely cold waters.
    4. If you don’t speak German, bring a letter from your employers or a friend who does. Officialese is often a different language and that is no exception in German.
    5. Take small steps. Government forms are normally excessively long requiring lots of detail about you. Don’t be overwhelmed by the number of forms you need to fill in or offices you need to visit. Tick them off one by one.
    6. Don’t expect to be able to pay with a card. Germans still like to pay for goods in cash and this often applies to officialdom too. Bring enough money to cover your back.
    7. Bring every possibly relevant bit of paper you can find. You may lose your temper if a carefully planned trip to a government office has to be repeated if you are missing one last piece of paperwork.

    Walaupun begitu menantang, bedanya, birokrasi di Jerman itu adil dan pasti. Maksudnya, walaupun banyak berkas, panjang dan lama, saat kita memenuhi semua persyaratan dan sesuai prosedur, pasti terlayani. Tidak ada namanya pilih kasih, KKN, jalan belakang, suap menyuap, atau semacamnya.

    Yang terpenting kata kuncinya dua, sabar dan nikmati saja proses birokrasinya 😁.

    Jaa, selamat bersiap-siap bagi Anda yang akan tinggal dalam waktu agak panjang di Jerman. Enjoy Germany!

    [Story] Menikmati Layanan Kesehatan Jerman – Part 1

    $
    0
    0

    Alhamdulillah ‘ala kulli haal.

    Qodarullah, pekan lalu saya kena kecelakaan kecil, jatuh dari tangga di gedung apartemen. Saat itu, saya sedang menggendong si nona dan memang agak tergesa-gesa karena mengejar jadwal tram & bus menuju lokasi playgroup pekanan.

    Mungkin karena gak fokus, di anak tangga ketiga dari bawah, saya kehilangan pijakan. Dan sepersekian detik sebelum jatuh, saya refleks berpegangan ke tiang tangga agar si nona gak kegencet atau terluka.

    Saya mendarat di lantai dengan posisi dengkul di bawah, dan pergelangan kaki masih tertinggal di anak tangga kedua (kaki ketekuk gitu), dan kedua tangan berpegangan di sisi tangga menahan badan agar tidak jatuh (*kalau jatuh, nona yang ada di badan depan saya bisa kegencet/ terbentur kepalanya XD)

    Alhamdulillah si nona baik-baik saja di gendongan, malah ketawa senang (*dikira diajak emaknya main perosotan kali ya XD). Tapi, subhannallah, pergelangan kaki kanan saya sakit luar biasa. Saya kira ini wajar, layaknya orang keseleo. Tapi ada rasa yang berbeda dari keseleo umumnya.

    Akhirnya saya memilih untuk istirahat dulu di rumah, gak langsung ke dokter karena anggapan “keseleo itu biasa” dan saya dengar urusan bikin appointment di praktik dokter/ klinik di Jerman agak panjang, terlebih saya baru saja pindah asuransi ke publik (sebelumnya privat). Saat telpon klinik ortopedi dekat rumah, jadwal yg available (dengan asuransi publik) baru lowong bulan Juni (^^”). Ya, wis selak mari larane XD. Akhirnya saya memilih home rest sampai lumayan bisa jalan. Berharap kondisi kaki membaik.

    Nah, seminggu setelah kejadian, kaki saya takkunjung membaik, bahkan bengkak lumayan besar dan ada semacam gumpalan darah di sisi pergelangan kaki dan punggung kaki. Ini membuat warna kulit jadi kebiruan/ ungu.

    Dengan dorongan suami dan tips dari temen-teman, akhirnya saya disarankan untuk langsung datang ke klinik ortopedinya. Biasanya, kalau datang langsung, dokternya bisa nerima pasien dadakan walau tidak membuat perjanjian sebelumnya. Saya dan suami pas ada termin untuk tanda tangan kontrak apartemen yang baru di kantor STW. Jadi setelah dari sana, kami memutuskan sekalian ke klinik dokter ortopedi dekat kantor, sekitar 400 meter.

    Alhamdulillah, petugas kliniknya langsung mau menerima saya walau dengan asuransi publik dan dokternya mau memeriksa tanpa perjanjian. Sang dokter melihat bengkak di kaki, dan meminta untuk rontgen. Hasilnya, ternyata ada retak di pergelangan kaki saya.

    It’s bad. Your ankle is broken“, kata dokternya. Saya yang mendengar kenyataan ini langsung shock, karena gak mengira kalau tulang saya sampai retak. Takkira cuma keseleo biasa 😭

    Warna biru di kaki menunjukkan adanya gumpalan pendarahan akibat adanya retakan di tulang tadi. Begitu penjelasan dokter. Untuk opsi penanganannya, di gips atau operasi.

    Mendengar kata operasi, saya langsung ngilu. Jadi saya meminta untuk di gips saja. Tapi berhubung klinik tidak bisa menangani tindakan medis yang agak parah, maka saya dirujuk untuk berobat di RS dekat klinik. Ini RS memang spesialisasi untuk ortopedi. Alhamdulillah, lokasinya dekat, hanya 200 meter dari klinik.

    Sesampainya di RS, saya dan suami langsung menyerahkan surat rujukan. Dan kami diminta untuk antri menunggu panggilan pemeriksaan. Nah, ini lumayan lama. Saya menunggu giliran hampir 4 jam, karena memang banyak antrian pasien lainnya.

    Sembari menunggu antrian, saya mencoba menelaah apa hikmah dari kejadian ini. Sambil membunuh waktu, saya juga mencoba mengobservasi dan menelaah bagaimana sistem layanan kesehatan di Jerman. Mulai dari klinik dokter (praxis), asuransi kesehatan privat vs asuransi publik, administrasi/ birokrasi rumah sakit, alur pengobatan dan layanan kesehatan di Jerman, dsb. Intinya, saya jadi bersyukur mendapat pengalaman ini, karena bisa mengamati dan mengalami secara langsung seperti apa dan bagaimana layanan kesehatan di Jerman :D.

    Nah, setelah diperiksa dokter RS, saya diminta untuk rontgen kaki lagi karena hasil rontgen di klinik kurang menyeluruh. Di RS, mereka punya CT scanner/ MRI.

    Saya pun kagum, wow, pertama kali lihat en nyoba alat CT scanner langsung XD. Biasanya cuma lihat di film-film aja. Perawat dan petugasnya ramah en mostly bisa bahasa Inggris, juga mengajak saya becanda agar gak stres.

    Beberapa saat kemudian, dokter melihat hasil CT scan dan kemudian beliau memutuskan: “It’s better to do an operation for your broken ankle”

    Whaaaat 😨😖😫😰

    To be continued….

    [Tips] Surat Izin Penelitian di Provinsi Jawa Timur (on the spot)

    $
    0
    0

    Akhir November 2018 lalu, saya mengurus surat rekomendasi penelitian di Badan Kesatuan Bangsa Dan Politik Provinsi Jawa Timur (Bakesbangpol Prov. Jatim) di Surabaya. Hal ini saya lakukan karena salah satu daerah penelitian saya adalah di Kabupaten Jember. Nah, untuk bisa penelitian di daerah, kita perlu surat rekomendasi dari Bakesbangpol Provinsi, terutama jika KTP domisili berbeda dengan provinsi tujuan penelitian luar Provinsi).

    Saat November 2018 itu, surat rekomendasi penelitian di Bakesbangpol Jawa Timur ini, masih harus diurus secara langsung di kantor Bakesbangpol Jawa Timur, yang beralamat di: Jl. Putat Indah No.1, Putat Gede, Suko Manunggal, Kota SBY, Jawa Timur 60189 (Peta: https://maps.app.goo.gl/U5H5SPTp2sJ4Fef98).

    Beda daerah, bisa beda kebijakan. Jadi pastikan apakah saat urus surat rekomendasi penelitian, harus datang langsung atau lewat online (seperti di Prov. Jawa Tengah).

    Saya mengurus surat rekomendasi ini di pagi hari. Pukul 07.30, saya berangkat dari rumah teman saya di daerah perbatasan kota Surabaya dengan Sidoarjo. Moda transportasi yang saya gunakan adalah Go-Jek, praktis, tinggal duduk manis dan harga terjangkau. Terlebih kota Surabaya gak kalah macet dengan Jakarta saat pagi hari. Perjalanannya lumayan panjang, selain karena memang jauh (12 km) juga karena macet.

    Oya, Bakesbangpol Jawa Timur ini lokasinya agak tricky, soalnya tidak kelihatan dari pinggir jalan raya. Jadi sama mas ojeknya, sempat kesasar walaupun pakai google maps. Sesampainya di lokasi sekitar pukul 08.30, saya langsung tanya pak satpam yang berjaga di gerbang kantor, dimana gedung untuk mengurus surat izin penelitian. Saya diarahkah ke gedung tengah, lantai 2. Saat itu, tidak banyak orang yang mengantri pengurusan surat rekomendasi. Hanya seorang mahasiswi dari Surabaya.

    Di lobi bagian rekomendasi penelitian, saya membaca pengumuman tentang persyaratan dokumen yang harus disiapkan:

    Tak lama kemudian, seorang ibu petugas bertanya keperluan saya, dan meminta saya untuk mengisi formulir permohonan (jangan lupa bawa bolpoin sendiri) dan buku tamu. Di formulir tersebut, kita perlu menuliskan ke daerah mana saja di Jawa Timur tempat kita melakukan penelitian dan berapa lama.

    Syarat dokumen yang diminta untuk saya, antara lain:

    • Rekomendasi dari Polpum Kemendagri (Asli)
    • Surat pengantar dari universitas
    • Proposal
    • Fotokopi KTP

    Saya sempat panik karena surat rekomendasi dari Kemendagri diminta yang asli, padahal saya memerlukan surat ini untuk 2 provinsi lain yang jadi daerah penelitian saya. Ibu petugas memberi saran, lain kali saat urus rekomendasi penelitian di Kemendagri, jangan lupa untuk fotokopi dan legalisir cap basah.

    Sebagai solusi untuk saya, Ibu petugas memfotokopi berwarna surat Kemendagrinya, dan mengambil surat yang asli sebagai syarat permohonan.

    Setelah itu, dokumen syarat lain saya serahkan kepada beliau, kemudian saya diminta untuk menunggu. Prosesnya lumayan cepat, 30 menit selesai.

    Alhamdulillah, pukul 09.15 saya sudah bisa pulang dan persiapan untuk melanjutkan perjalanan ke Kota Banyuwangi untuk acara Desbumi Summit 2018.

    Begitu kurang lebih pengalaman saya mengurus rekomendasi penelitian di Bakesbangpol Jawa Timur. Semoga bisa memberikan gambaran teman-teman yang juga melakukan penelitian. Semoga lancar dan sukses 🙂

    Viewing all 257 articles
    Browse latest View live