#Sebelum tulisan ini dimulai, ngomong-ngomong judulnya cukup provokatif ya? hehehe…
Saat-saat terakhir dalam liburanku ini, kuoptimalkan untuk bersilaturrahim terutama dengan berkunjung ke rumah rekan-rekanku semasa SMA dan bekerja dulu. Mereka adalah sahabat-sahabat terdekat yang kini sudah menjadi para Ibu (#aye doang ni yg masih single, hehe, curcol :p). Khususnya sahabat SMA, tak terasa persahabatan sudah berjalan 12 tahun lamanya. Time run so fast! Dulu kami yang masih imut-imut nan lugu saat masih berumur 17 taon, gak terasa sekarang mostly sudah jadi emak-emak semua (except me, tentunya #berasa tua ).
Nah, dalam kunjunganku ke Jogja 2 pekan lalu, kusempatkan bertandang ke rumah sahabatku di Bantul dan Kulon Progo. Dan baru saja kukunjungi juga ibu-ibu muda lain yang ada di Depok, Bogor dan Salemba. Bersama mereka (dalam kesempatan terpisah), kami berbincang dan banyak bercerita tentang pengalaman-pengalaman selama beberapa tahun terakhir; salah satunya kehidupan setelah menikah dan menjadi seorang ibu.
Memang, beberapa di antara mereka baru sempat kutemui setelah 2-3 tahun lamanya tak bersua. Bahkan, anak-anak merekapun baru kutemui sekarang. Mostly, aku melihat anak-anak mereka ketika masih di dalam kandungan ibunya. Walau terlambat, alhamdulillah finally bisa melihat sosok mereka yang sudah semakin besar, hadir nyata di dunia ini .
Dari diskusi kami, ada satu benang merah yang kudapatkan sebagai pelajaran. Bahwasanya menjadi seorang ibu itu sungguh luar biasa; tanggung jawab di dunia dan akhiratnya. Selama ini, aku yang agak cenderung career oriented sepertinya memang sangat perlu belajar tentang kodrat dan tanggung jawab seorang wanita. Bagaimanapun, mendidik anak-anak adalah yang utama.
Walaupun aku sudah cukup banyak melihat langsung bagaimana “praktik” dan keseharian seorang ibu dari my mom dan my sist, tapi tetap saja ada hal berbeda dan unik yang aku pelajari dari sahabat-sahabatku. Mungkin karena seumuran, sehingga apa yang terjadi terasa nyata dan lebih terbayang suasananya.
Satu pertanyaan yang sama selalu kutanyakan pada mereka; bagaimana rasanya menjadi seorang ibu?
Jawabannya bervariasi, tapi intinya sama. “Sungguh luar biasa dan penuh perjuangan”, kata mereka.
Selama ini, mungkin setiap kali melihat ada bayi yang lucu, kita merasa senang dan gemas melihatnya. Tapi pernahkah terpikir, bagaimana caranya merawat dan mendidik mereka, dan senantiasa mendampingi mereka setiap waktunya?
Jujur, sebelum kakak perempuanku menjadi ibu, aku tak punya gambaran langsung tentang bagaimana dan luar biasanya perjuangan fisik dan batin seorang ibu. Should be aware and available 24 hours in 7 days for their lovely child. Tantangan terbesar, menurut temanku, adalah ketika sang bayi menangis dan si ibu tak tahu apa penyebab tangisannya dan harus ngapain untuk menenangkan anaknya. Sama halnya dengan bahasa lain di muka bumi, tampaknya untuk memahami bahasa bayi diperlukan jam terbang dan pengalaman yang banyak! Dan itu perlu dipraktikan langsung.
Dinamika kehidupan ibu pun beragam. Beberapa sahabatku itu, dulunya adalah seorang aktivis kampus, namun mereka memilih untuk meninggalkan aktivitas dan pekerjaannya untuk menjadi full time mother dan housewife. Dari mereka, aku belajar untuk berani “mengorbankan” ego dan eksistensi diri demi melihat setiap perubahan dan perkembangan anaknya.
“Sayang sekali, jika saat-saat emas anak kita terlewat begitu saja. Dan tentunya sedih apabila ketika ada suatu perkembangan dari sang anak, si ibu tahu hal tersebut justru dari “mbak” yang bantu atau orang lain. Bukan karena menyaksikan sendiri”, kata salah seorang kawan. “Ada kepuasan tersendiri saat anak yang dibesarkan merupakan hasil didikan yang optimal dari si ibunya langsung”, lanjut mereka.
Ada pula sahabatku yang tetap bekerja sambil mengasuh anaknya. Ini juga luar biasa menurutku. Betapa mereka mengorbankan perasaannya meninggalkan si kecil untuk berkontribusi pada masyarakat. Jangan anggap itu remeh atau menganggap mereka tega. Aku yakin, di dalam hati kecil para ibu yang bekerja itu sungguh tersayat. Mereka harus ekstra keras mengatur waktu. Belum lagi bagi mereka yang sedang menuntut ilmu. Subhannallah.
Tantangan dan rintangan dari masing-masing pilihan; full time housewife atau sambil bekerja atau sambil sekolah, tentulah ada. Namun, semoga saat menjalani tantangan itu, hati para ibu diberi keikhlasan dan kekuatan dalam menjalaninya, sehingga senantiasa berkah dan bernilai ibadah dari setiap hal yang mereka jalani dalam membesarkan anaknya.
Beneran deh, kalau belum menjadi ibu, kita tak pernah tahu seberapa hebat para ibu-ibu kita berjuang saat mengasuh dan membesarkan kita sejak kecil hingga sekarang. Berbeda halnya dengan pekerjaan lain pada umumnya, dimana kita bisa memilih untuk cuti, berhenti atau keluar saat lelah, tapi tidak untuk seorang ibu. “Bekerja” sebagai seorang ibu adalah “kontrak” sepanjang masa di dunia akhirat yang tiada henti. Subhannallah, BRAVO! luar biasa untuk para ibu sedunia, khususnya my mak !
Hm… Semakin belajar dan mencoba untuk mempersiapkan mental; tidak mengedepankan ego. Entah kapan saatnya bagiku untuk mendapatkan kesempatan dan menjalankan amanah ini, semoga di saat itu aku siap untuk mencurahkan waktu dan perhatian secara optimal demi mendidik dan membesarkan generasi masa depan. aamiin…
PS: Special thanks untuk para ibu yang sudah memberi teladan dan berbagi pengalamannya denganku:
- My lovely mom, yang setiap hari memberi contoh nyata untuk para putrinya yang udah gedhe ini
- My big sister and pipi-chan, my dear keponakan yang aktif dengan suara yang mengguncang dunia
- Nina en dek Zahra; untuk games puzzle bertubi-tubi yang diberikan padaku. hahaha… you’re such a kind and smart girl, dear ;D
- Miauw + Harlin en dek Cia; thank you untuk special tripnya
- Jeng Anty en dek Taqiyya; sweet little cute baby girl, ahahay~
- Teh Heggy and Agni-kun; adek baby ganteng yang ramah dan senang memberi
- Neng Ita and dek Nay; si manis yang bener-bener so swiiit ;D
