Barusan tiba-tiba saja aku teringat dengan sepasang anak laki-laki dan perempuan yang kutemui di Masjid Itaewon, Seoul. Mereka sungguh spesial. Dua kali kunjunganku ke sana, selalu kutemui mereka. Dengan tindak tanduk yang sama; mengucapkan salam, dan mencium tanganku sebagai hormat. Sungguh, bagiku yang sempat merasa asing di negeri ginseng saat itu, tiba-tiba saja merasakan kehangatan dan keterbukaan. Kudapatkan itu dari anak-anak sholeh sholehah tersebut.
Wajah mereka sungguh cantik dan ganteng; perpaduan Timur Tengah dan sedikit Eropa. Untuk memenuhi rasa penasaranku, kali kedua pertemuanku dengan mereka, kusapa dan salam mereka. Kutanyakan darimana asal mereka.
“Dongseng, annyeonghaseyo. Odie owassoyo?” (Adik, halo. Kamu berasal dari mana?)
Karena tampaknya mereka tidak fasih berbahasa Inggris, dan aku tidak bisa berbicara bahasa Farsi, kucoba-coba bertanya dalam bahasa Korea yang agak nge-pas.
“Afghanistan”, jawab sang anak laki-laki.
MaasyaAllah. Sungguh takjub hatiku, Subhannallah. Ini kali pertama aku bertemu dengan anak-anak dari Afghanistan.
Tentu kasus dan peristiwa di Afghanistan terekam cukup jelas dalam ingatan kita. Terlebih untukku yang berlatar-belakangkan jurusan ilmu Hubungan Internasional. Namun aku tak pernah tahu bagaimana pastinya, aku hanya bisa menerka-nerka tentang bagaimana kedua anak itu bisa berada di Korea.
***
Mungkin sudah jodoh, saat membongkar-bongkar koleksi data bakaran di DVD, kutemukan sekeping yang berisi file film “The Kite Runner”. Film ini sudah bertahun-tahun yang lalu kuunduh, namun baru sekarang terlaksana untuk menontonnya.
Bagi beberapa di antara kita, mungkin familiar dengan judul film ini. Ya, ini diadaptasi dari sebuah novel agak kontroversial dengan judul yang sama. The Kite Runner berlatarkan kehidupan anak-anak Afghanistan sebelum dan sesudah terjadinya invasi Rusia pada tahun 1970-an akhir, dan kondisi saat Taliban berkuasa di sana.
Adalah 2 anak Afghan; Hassan dan Amir. Hassan, seorang anak “Hazaara” (sebutan untuk anak pembantu) dengan Amir, anak orang kaya dan cukup tersohor di Kabul. Ayah Hassan sudah menjadi pembantu bagi keluarga ayah Amir selama 40 tahun. Dua anak tersebut, tanpa melihat status, sangat akrab dan menikmati masa kecil mereka. Amir yang terdidik, suka sekali menulis cerita fiksi dan membaca. Ia kerap membacakan buku untuk Hassan. Di sisi lain, Hassan sangat pemberani dan loyal dalam melindungi Amir, walau tubuhnya lebih kecil.
Kota Kabul di tahun 1978, amat terkenal dengan kompetisi layang-layang. Tentu saja, kesempatan ini tak dilewatkan oleh Amir dan Hassan. Dengan kecerdasan dan strategi yang diarahkan Hassan, Amir dapat memenangkan kompetisi tersebut.
Namun kemudian Russia datang menginvasi Afghanistan di tahun 1979. Amir dan ayahnya terpaksa melarikan diri ke luar negeri mengingat ayah Amir adalah seorang pengecam Russia dan komunis yang cukup keras. Mereka pergi ke Amerika Serikat, dan hidup di sana. Ini berat bagi Ayah Amir, karena ia sangat mencintai tanah airnya. Sayang, sebelum bisa kembali ke tanah air, ia menghembuskan napas terakhirnya di tanah asing.
California di tahun 2000, Amir akhirnya berhasil meraih mimpinya untuk menulis sebuah buku. Kemudian, ia mendapat telepon yang cukup mengejutkan dari sahabat ayahnya yang kini tinggal di Pakistan. Ia meminta Amir untuk kembali ke tanah air, untuk mengetahui sebuah rahasia yang telah terkubur lebih dari 20 tahun terkait Hassan dan ayahnya.
***
Sungguh, film ini mengharukanku. Tak terbayang, bagaimana kehidupan anak-anak dan orang-orang di Afghanistan dan daerah peperangan lain di dunia. Keceriaan dan kesenangan mereka untuk bermain dengan leluasa terenggut. Kehidupan mereka selalu dibayang-bayangi peluru dan kekejian.
Sisi lain dari the Kite Runner ini, adalah tentang persahabatan, loyalitas dan perjuangan. Tak hanya menyentuh sisi humanis kita, tapi juga menggedor kesadaran kita tentang pentingnya sebuah perdamaian.
