Tiap ibu memiliki kisah tersendiri mengenai bagaimana buah hatinya bisa lahir ke dunia. Tulisan ini dibuat dalam rangka mengingat kembali memori setahun yang lalu. Salah satu momen paling berkesan bagi kami. Ini adalah cerita bagaimana proses Zahra hadir di tengah kami.
13 Desember 2016 pukul 14.00 menjadi hari penting bagi saya dan suami karena perjuangan selama 48 jam ke depan di ruang bersalin dimulai. Hal ini bermula dari konsultasi akhir dengan dokter kandungan saat kehamilan saya memasuki minggu ke-37.
Pemeriksaan kandungan semakin intensif dilakukan mengingat Hari Perkiraan Lahir (HPL) semakin dekat. Terlebih saat beberapa pemeriksaan terakhir, kondisi fisik saya semakin mengkhawatirkan karena tekanan darah terus tinggi dan kadar protein dalam urin menunjukkan tanda positif satu. Ini adalah gejala pre-eklamsia.
“Ini berbahaya bagi ibu dan calon bayi”, kata dokter.
Sedari awal kehamilan, saya begitu menginginkan bisa melahirkan dengan proses normal. Oleh karenanya, segala upaya dilakukan mulai dari ikut senam hamil, menjaga makan dan makanan, rutin jalan kaki, dan komunikasi dengan calon debay untuk bantu ibundanya lahiran normal. Tapi saya diingatkan oleh teman, yang terpenting adalah keselamatan ibu dan bayi.
Salah satu kekhawatiran terbesar bagi saya untuk lahiran non-normal (dalam hal ini operasi caesar/ CS) adalah masalah biaya yang sangat besar. Untuk kondisi keuangan kami saat itu, CS bukan jadi opsi. Namun, yang harus kami ingat adalah apapun rencana-Nya, pasti yang terbaik. Rezeki datangnya dari arah yang tak disangka-sangka.
Sampai HPL, saya masih belum merasakan tanda mulas atau kontraksi apapun. Berdasarkan cerita dari teman-teman, salah satu resiko jika kehamilan lebih dari HPL adalah volume ketuban yang semakin sedikit, menghijau dan rentan meracuni bayi.
Agar resiko bagi ibu dan calon bayi bisa diminimalisir, dengan tetap mengikhtiarkan lahiran normal, maka saya disarankan untuk mulai dirawat inap per tanggal 13 Desember 2016 (HPL tanggal 12 Desember 2016) dan proses induksi melalui cairan infus dimulai.
Proses induksi yang membantu merangsang kontraksi bukaan jalan lahir bagi tiap ibu berbeda. Menurut ibu bidan dan dokter, proses induksi bervariasi mulai dari hitungan jam, hingga paling lama adalah 2 x 24 jam.
Saya diinduksi di ruangan bersalin yang terdiri dari 6 bed dengan korden sebagai sekat antar bed-nya. Saya terbaring dengan infus terpasang, sambil mendengar dan melihat segala peristiwa yang terjadi di ruang bersalin. Di satu sisi, saya merasa jadi sangat khawatir dan deg-degan dengan proses persalinan saya sendiri. Tapi di sisi lain saya juga penasaran dengan bagaimana proses seorang ibu melahirkan. Maka, walau saya ditawari untuk pindah ke kamar rawat, saya tetap memilih untuk tinggal di ruang bersalin.
Untuk proses saya, diperlukan waktu 2 x 24 jam induksi infus. It means, saya punya kesempatan melihat dan mendengar langsung beberapa proses melahirkan.
Sebagai seorang yang suka dengan observasi lapangan, maka kesempatan 48 jam tersebut saya gunakan untuk belajar langsung dari proses yang dijalani orang lain.
Entah berapa pastinya jumlah ibu yang keluar masuk ke ruang bersalin untuk proses melahirkan. Yang saya ingat, ada yang melahirkan dengan cepat, anggun dan tenang. Ada yang teriak-teriak dengan menyebutkan segala kata yang harus disensor, ada yang prosesnya perlu dengan vacuum, dsb. Selain itu, saya jadi tahu lewat pengamatan, bagaimana kehidupan para bidan dan para dokter kandungan sehari-harinya membantu perjuangan para ibu.
Nah, kembali ke proses lahirannya Zahra.
Sampai pada hari Rabu, 14 Desember 2016 pukul 21.00. Cairan ketuban saya mulai merembes. Ini jadi salah satu tanda proses melahirkan dimulai. Kontraksi yang rasanya sedap-sedap sakit pun dimulai. Rasa nyeri luar biasa, terutama di bagian punggung, saya rasakan hingga malam itu tidak bisa tidur.
Keesokan paginya, Kamis, 15 Desember 2016 pukul 08.00, saat dicek ternyata bukaan lahir baru 2. It’s still a long way to go. Untuk menuju bukaan lengkap 10, tak ada yang bisa memperkirakan berapa lama durasi pastinya.
Saat itu, ibu yang menemani, bergantian dengan suami saya yang sudah stand by 36 jam lebih.
MaasyaAllah luar biasa rasanya ketika kontraksi muncul. Saya jadi paham bagaimana perjuangan ibu saat melahirkan saya dulu. Tiap kontraksi datang, saya diingatkan ibu untuk banyak istighfar. Saya merasakan betapa banyak dosa saya pada ibu, sehingga tiap rasa sakit itu muncul saya selalu meminta maaf padanya dan pada Allah.
Pukul 11.30 saat pemeriksaan detak jantung bayi (CTG), saya sudah lemas luar biasa menahan sakit. Dan ternyata, kondisi calon bayi pun semakin melemah. Detak jantungnya melambat tiap kali saya mengalami kontraksi.
Melihat kondisi ini, bidan pun segera melaporkan ke dokter. Pukul 12.30, dokter datang dan mengecek langsung kondisi saya. Saat dicek, ternyata saya masih bukaan 4.
Melihat saya sudah tidak berdaya dan kondisi jantung debay yang melemah, akhirnya diputuskan untuk segera melakukan tindakan darurat. Yup, akhirnya saya akan di CS.
Dengan kesadaran yang tinggal setengah, saya menyerahkan segala keputusan kepada ibu saya yang menemani. Saat itu, suami sedang dalam perjalanan kembali ke RS. Tapi keputusan harus segera diambil. Maka, Ibu menelpon bapak dan suami saya untuk meminta penguatan keputusan. Akhirnya persetujuan untuk CS ditandatangani ibu.
Pukul 14.00. Saya dibawa ke ruangan operasi untuk tindakan darurat. Karena sudah lemas bercampur khawatir dengan kondisi calon bayi, saya sudah tidak lagi memikirkan masalah biaya, resiko, atau membayangkan betapa ngerinya operasi CS. Allah pasti memberikan jalan terbaik bagi kami.
“Bismillah… Yang penting anak saya selamat”, pikir saya saat itu.
Pukul 14.45, saya mulai dibius setengah badan. Ternyata begitu ya rasanya dibius. Mulai dari pinggang hingga ujung kaki mati rasa. Dingin. Tapi saya tetap sadar, bisa mendengar dan melihat, namun sudah terlalu lemah untuk bisa berkata-kata. Saya merasakan bagaimana tim dokter dan bidan menangani proses operasi saya. Alhamdulillah bu dokter sudah sangat berpengalaman, dan sambil proses operasi, beliau selalu berbicara dan menenangkan saya.
Akhirnya, setelah pisau dan alat bedah lain memainkan perannya, bu dokter pun berhasil menarik keluar sang bayi. Alhamdulillah. Zahra lahir ke dunia. Pukul 15.03, Kamis 15 Desember 2016.
Saya yang setengah sadar tadi langsung menangis saat mendengar tangisan pertama Zahra. Segala puji bagi Allah…. Zahra pun didekatkan ke saya, sambil proses penutupan kembali bekas bedah dilakukan. Kemudian, Zahra diperiksa oleh dokter anak untuk pengecekan pasca lahir.
Alhamdulillah, proses operasi selesai pukul 15.30. Sambil menunggu efek bius habis, kaki saya dihangatkan agar tidak kedinginan.
Di saat yang sama, Zahra kemudian dibawa ke ruang rawat bayi. Di sana, suami saya mengumandangkan adzan di telinganya. Bapak dan ibu saya pun tak henti-hentinya mengucap syukur dan menangis.
Saya baru kembali dari ruang operasi sekitar pukul 17.00. Dan baru bisa bertemu lagi dengan Zahra keesokan paginya mengingat saya harus memulihkan kondisi pasca operasi.
Yaaa, begitulah cerita singkat proses lahirnya Zahra. 48 jam di ruang bersalin plus beberapa jam di ruang operasi sungguh jadi pengalaman luar biasa buat saya.
Besok, 15 Desember 2017, genap satu tahun keberadaanmu di tengah kami, Nak.
Amalia Azzahra Raditya Sunu. Semoga senantiasa menjadi anak yang sholehah, sehat, cerdas, menyejukkan hati, serta bermanfaat dunia akhirat. aamiin yaa Allah.