Sore tadi, secara tak sengaja aku bertemu dengan seorang kawanku di salah satu tempat perbelanjaan mahasiswa dekat kampus. Dia seorang berkewarganegaraan Rusia. Aku sempet agak surprised, karena kukira dia sudah kembali ke tanah airnya. Studi master bisnisnya baru saja selesai. Yang menarik dari kawanku itu adalah karena ia seorang penganut Yahudi cukup taat, dan ini kali pertama aku punya teman seorang Jewish, yang cukup dekat dan sering berdiskusi terkait organisasi di NCCU International Association. Oya, sebelum pada berpikir yang iya-iya, dalam postingan ini topik yang hendak kubahas bukanlah terkait politik ataupun konflik yang terjadi ya, namun terkait pengalamanku dalam bertemu dan berteman dengan kawanku dari Rusia itu.
Awalnya, aku tak tahu bahwa kawanku itu beragama Yahudi. Karena rasanya agak ndak enak kalau saat diskusi organisasi, tiba-tiba nanyain agama. Terlebih, untuk orang-orang Eropa, pertanyaan macam ini sangat pribadi dan agak sensitif. Kecuali kalau orangnya sendiri yang mau cerita, ya ndak apa-apa . Aku agak lupa kapan tepatnya dia akhirnya bercerita kalau dia seorang Yahudi. Yang aku ingat, memang setiap kali saat kami ada diskusi organisasi dan ada acara makan-makannya, dia selalu menolak untuk makan. Pada awalnya kupikir apakah karena dia dari Russia, mungkin dia seorang penganut Kristen Ortodoks (walaupun aku tak tahu detail tentang Ortodoks). Tapi ternyata tidak.
Waktu itu, kami ada diskusi yang cukup intensif dan berat terkait kelangsungan dan masa depan organisasi. Kemudian, waktu makan siang tiba. Ia yang jarang mau makan itu, kemudian mengajakku untuk mencari sesuap makanan. Akhirnya, pergilah kami menuju sebuah cafe sandwich. Mengingat dia tahu bahwa aku seorang Muslim dan makan makanan halal, dia menyarankanku untuk membeli sandwich tuna. Selain dari bahan makanannya yang aman dimakan, proses pembuatannya juga cukup bersih dan tak tercampur.
Ia memesan makanan yang sama denganku. Sandwich Tuna. Kemudian, aku bertanya padanya, “kamu suka ikan? kukira kamu vegetarian”. Kemudian ia pun bercerita bahwasanya dia adalah seorang Yahudi dan di dalam agamanya ada dietary law bernama KASHRUT atau lebih dikenal “KOSHER“. Sebenarnya, aku sudah pernah dengar dan sekilas membaca tentang “religious diet” ini. Tapi tentunya akan menjadi berbeda antara tahu karena pernah dengar, dan juga tahu karena langsung diberitahu oleh orang/ sumber aslinya. Jadilah makan siang saat itu sebagai ajang “knowledge sharing” tentang KOSHER.
Sebagai bayangan, Kosher ini mirip-mirip dengan prinsip Halal dalam Islam, hanya saja ada beberapa perbedaan yang mendasar di antara keduanya. Bagi para penganut Yahudi, untuk makanan mereka diatur dalam dietary law Kosher, yang menurutku lebih strict daripada prinsip di dalam Halal – Islam. Bagi Muslim, kita bisa memakan produk Kosher (dalam hal ini yang bukan produk hewani ya). Namun buat Yahudi, tidak semua makanan Halal bisa mereka makan.
Misalnya: Islam dan Yahudi sama-sama melarang makan babi dan produk derivatnya. Kedua agama ini juga punya prinsip yang strict dalam menjaga proses penyembelihan hewan (bahan panganan), hingga proses pengolahannya. Yang berbeda, jika Muslim bisa makan semua seafood, tidak begitu untuk Yahudi. Mereka tidak boleh memakan hewan laut/ sungai yang tidak ada sisiknya (untuk jenis ikan seperti hiu, pari), hewan tak bertulang (cumi, udang, dll). Juga tak bisa mengkonsumsi produk hewan dan olahannya dalam satu kesempatan yang sama, misal semacam pizza: tidak boleh memasak daging, susu, dan keju secara bersama. Dan serangkaian peraturan hukum bahan makanan dan pengolahan makanan lainnya.
Dari temanku ini, aku baru menyadari dan belajar, ternyata begini ya rasanya ketika melihat ada orang yang lebih strict dari kita pribadi terkait makanan. Mungkin itu yang dirasakan oleh teman-temanku di Taiwan sini pada umumnya, saat melihat aku dan rekan-rekan Muslim lainnya yang harus sangat “picky” dan berhati-hati saat makan di luar.
Takjub. Ternyata dunia itu benar-benar sungguh beragam dengan segala macam variasi budaya dan orang yang ada di dalamnya. Dari kawanku ini, sungguh aku jadi tersadar bagaimana kehidupan sebagai seorang minoritas (dalam konteks makanan) yang harus berjuang dan struggle dalam mempertahankan prinsip dan nilai yang dipegangnya.
Ini adalah masalah ketaatan dan kepatuhan dalam menjalankan apa yang telah dipilih dan dipercayai dalam hidup. Mungkin saja orang lain berpikir betapa repotnya menjadi seorang yang “picky”, namun sekali lagi dari pengalaman ini aku jadi semakin harus menempa diri untuk semakin taat pada-Nya, dimanapun aku berada. Tak peduli jika itupun hanya kita seorang diri, tak ada orang lain yang melihat. Namun IA Maha Tahu segalanya.
