Tidak ada yang kebetulan dalam hidup ini. Itu yang selalu saya yakini. Beberapa waktu yang lalu, ban motor saya bocor. Jadilah saya yang hendak berangkat ke kantor harus cari strategi lain untuk bisa sampai. Yang terlintas dari pikiran saya, cara tercepat dan termudah adalah dengan naik bus. Akan sangat lama proses memperbaiki motor dan perlu mendorong cukup jauh ke bengkel. Alhasil, motor saya parkirkan kembali di kos-kosan, dan saya pun ke pinggir jalan raya, menunggu si hijau Kopaja 57.
Mungkin terdengar lebay, tapi keputusan untuk naik bus perlu saya pertimbangkan agak lama. Selama berjuang di Jakarta, saya menggunakan motor untuk setiap mobilitas saya. BIG NO, untuk naik kendaraan umum, apalagi untuk konteks Jakarta. Macet gila, lama ngetem, sopir ugal-ugalan, apek, sumpek, bau, orang merokok, panas, umpek-umpekan, banyak copet, dll. Itu yang ada di benak saya kalau membayangkan bus kota di Jakarta. Namun, ya itu tadi, sudah rencana-Nya saya harus mengalami ban bocor sehingga mau tak mau saya “terpaksa” naik Kopaja.
Di satu sisi, beberapa kekhawatiran saya memang terjadi. Karena sedang peak hour, bus pun penuh sesak dengan para penumpang. Tidak ada space lagi untuk bisa berdiri nyama, apalagi duduk. Jadi, saya pun harus bergantungan di pintu bus yang terbuka. Istilahnya, jadi “kenek” (yeay, malah seneng sakjane. Nostalgia masa kecil, sering ngegantungan di pintu bus :D).

Foto dari: http://bit.ly/1Pf4wS7
Aksi kaki terinjak, kedorong-dorong orang, nyaris jatuh karena sopir ngerem mendadak, dll mewarnai perjalanan saya ke kantor pagi dan petang itu. Namun, saya merasa bahwa apa yang terjadi di dalam bus kota itu penuh dengan interaksi sosial dan “lebih hidup”. Saat berkendara sendiri, tentulah kita lebih fokus mengendarainya. Tapi beda halnya saat menjadi penumpang bus. Ada sisi indah yang bisa kita dapat, jika kita mau menikmatinya.
Terlepas dari segala sisi negatif kendaraan umum Jakarta, ada banyak hal yang saya pelajari dari pengalaman ini. Kebiasaan saya mengamati sekeliling saya, membuat saya menyadari betapa bus kota itu sungguh menarik. Saya lihat begitu banyak orang naik turun bergantian, tidak hanya penumpang tetapi juga pengamen, peminta sedekah, dan lainnya. Saya menerka-nerka, apa profesi dari para penumpang yang saya temui di dalam bus. Bagaimana kehidupan para penjual asongan dan pengamen sehari-hari? Juga analisa amatir tentang apa yang menjadi penyebab supir bus menjadi ugal-ugalan? Mengapa di tengah ketidak-nyamanan berkendaraan umum, tetap saja ada orang yang memilihnya? Waaah, terlalu banyak pertanyaan, diskusi dan tanya jawab di dalam pikiran saya.
Selain itu, saya juga bisa melihat kanan-kiri jalan yang biasa saya lalui ke kantor. Ternyata banyak hal yang terlewat dari pandangan mata.
Aaaah, ada sesuatu yang lain, dan sudah lama tak saya rasakan selama menjadi salah satu penghuni Jakarta. Di tengah segala keruwetannya, jika kita mau berpikir dan menikmati, Jakarta itu tetap memiliki sisi indahnya.
So, Enjoy Jakarta :D!
