Waktu-waktu selama off-school day adalah saat yang paling menyenangkan untuk mengoptimalkan diri bersilaturrahim dengan keluarga serta kawan kerabat di tanah air. Banyak hal yang bisa saya dapatkan, terutama hikmah dan pengalaman dari cerita-cerita dan observasi yang saya lakukan selama bertemu dengan mereka.
Salah satu hal yang paling berkesan buat saya di kesempatan liburan kali ini adalah ketika beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan sahabat saya yang “newly-wed” alias baru saja menikah.
Selama ini dalam benak saya, yang menjadi tantangan terbesar bagi orang yang menikah adalah terkait visi, misi dan tujuan ke depan. Namun, ternyata dari percakapan kami, saya menangkap bahwa ada hal yang lebih simple tapi sangat krusial, yaitu proses adaptasi di awal-awal pernikahan, terutama adaptasi dengan kebiasaan dan watak masing-masing.
Mungkin sebelum sepasang suami istri menikah, mereka hanya tahu gambaran luar masing-masing pasangan. Tetapi, saat mereka sudah menjadi pasangan yang halal, hal-hal kecil dan mendetail dari masing-masing pun akan kelihatan “aslinya”.
Ibu saya sering kali mengingatkan saya terkait karakter dan kebiasaan ini. “Jangan begini, jangan begitu, kalau ndak nanti suamimu akan begini…”
Namun, karena saya belum paham maksud dan tujuannya, jadilah saya mendengar sambil lewat (hahaha…. *mohon maafkan adinda, mak!). Barulah dari cerita-cerita sahabat saya, saya sedikit paham dengan maksud ibu saya tadi.
Kebiasaan dan karakter kita, walaupun itu hal sepele, tapi bisa menjadi sumber “ketegangan” dalam keluarga. Mulai dari urusan habit meletakkan barang, makan, atau lainnya. Untuk lebih memahaminya, coba pikir-pikir kejadian apa di dalam keluarga inti (dengan bapak, ibu, ato sodara kandung) atau dengan teman sekosan/ sekontrakan. Hal sepele apa yang sering jadi sumber “nggonduk” ato sebal. Nah, itu pula yang nantinya akan kita alami di dalam proses beradaptasi ketika sudah menikah.
Dari buku-buku atau artikel yang pernah saya baca terkait pengetahuan seputar pernikahan (*eh, ketahuan sering baca :”D), hal yang paling mendasar dalam pernikahan adalah proses yang terus menerus dalam beradaptasi dan menyesuaikan diri. Dan bapak ibu saya menambahkan, proses itu periodenya adalah seumur hidup. Bukan hanya sebulan dua bulan saja.
Hm… Dan setelah memikirkan dan merenungkan hal ini, ada baiknya kita mendata kebiasaan baik dan buruk (sampai ke tingkat detail dan sepele). Serta melatih diri untuk “legawa” menerima perbedaan karakter dan watak dengan orang-orang yang hidup bersama dengan kita. Juga tak lupa dengan selalu mengingat tujuan serta hakikat dari pernikahan dan juga kebahagiaan/ kesuksesan rumah tangga.
*Ngomong-ngomong soal rumah tangga, saya terpikat dengan postingan nasihat dari Majalah Ummi via Facebook tertanggal 9 September 2014 yang lalu. Walo gak ada hubungannya langsung dengan topik “adaptasi” ini, tapi menurut saya ini jauh tak kalah penting untuk memahami hakikat keberhasilan rumah tangga. Begini bunyinya (saya copaskan):
# Apa sih tolak ukur keberhasilan Rumah Tangga? #
Sebagian besar masyarakat mengatakan, ada 2 hal yang jika terjadi maka Rumah Tangga tersebut terbilang sukses:
1) Punya anak,
2) Banyak harta.
Bukan. Bukan itu.
Pertama, Rumah Tangga ‘Aisyah Radhiallaahu ‘anha tidak dikaruniai anak, lalu apakah kita akan berkata Suami-Isteri tersebut tidak harmonis ? Tidak bahagia ?
Kedua, Rumah Tangga Fatimah Radhiallaahu ‘anha sangat minim harta. Sang Istri pernah menahan laparnya selama beberapa hari hingga kuninglah wajah beliau. Lalu, apakah kita berani mengatakan bahwa Rumah Tangga mereka hancur berantakan diujung tombak ? Tidak. Bahkan Suami beliau adalah salah satu penghuni Surga Allaah. Maa syaa’ Allaah..
Benar, sebagai seorang Isteri jangan bermudah-mudahan untuk menuntut kalimat perpisahan hanya karena kedua sebab diatas. Sebab ummahatul mukminin tidak pernah memberatkan suaminya dengan perkataan tercela.
Juga, sebagai seorang Suami jangan bermudah-mudahan mengatakan “aku tak punya harta, aku tak pantas untukmu.. Duhai Isteriku..” Innalillaahi wa inna ilayhi rooji’un. Tau kah para Suami, kalimat tersebut justru enggan didengar oleh Istri kalian. Sebab para sahabat tidak tercermin dalam diri mereka sifat keputus-asaan.
Tolak ukur keberhasilan Rumah Tangga seorang Muslim ialah,
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah taqwa mereka kepada Allaah..
- Ketika setelah menikah, maka bertambahlah amalan-amalan sunnah mereka..
- Ketika setelah menikah, bertambahlah hapalan-hapalan mereka..
- Ketika setelah menikah, bertambahlah kesabaran mereka dalam setiap taqdir Allaah..
- Ketika setelah menikah, bertambahlah ghiroh mendatangi majelis-majelis ‘ilmu Allaah..
- Pun, ketika setelah menikah, bertambah takutlah mereka sebab mengingat hari dimana mereka akan terpisah dan menghadap sidang Rabb-nya yang paling adil. Bertambah berharaplah mereka kepada Rabb-nya agar bisa dinikahkan lagi dalam Jannah Allaah tanpa hisab..
Maa syaa’Allaah ♡ ♡ ♡
BaarakAllaahu fiikum
